“Saya hanya ingin suatu saat generasi dari Galela, Maluku Utara bahkan dunia, pada 50 atau 100 tahun mendatang masih bisa menyaksikan burung mamua/ bertelur dan berkembang biak di pantai Simau. Ini jadi dasar saya memperjuangkan dengan segala upaya konservasi burung Mamua ini. Konservasi ini saya gagas meski awalnya dicemooh. Akhirnya semua orang di kampong ini bisa menyaksikan semakin bertambahnya burung mamua. Tidak itu saja para ahli dan peneliti dari berbagai belahan dunia datang ke kampong ini meneliti mamua. Orang orang luar juga datang berwisata menyaksikan burung maleo dan indahnya hutan mangrove di sini bisa memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat” Safri Bubu
Ungkapan Safri Bubu lelaki (37) yang menggagas konservasi gosong Maluku atau Bahasa local Maluku Utara menyebutnya dengan mamua ini sangat menyentuh. Safri yang sehari-hari berprofesi sebagai petani di Desa Simau Galela Halmahera Utara Maluku Utara tidak seperti kebanyakan orang hyang hanya mau mengeksploitasi telur mamua. Dia mau berpikir merawat dan melindungi alam serta melestarikan sumber keanekaragaman hayati yang ada di desanya untuk generasi di masa depan. “Saya lakukan ini karena berpikir generasi,” katanya.
Dia bilang keanekeragaman hayati di kampongnya menjadi kekayaan desa yang tidak ternilai harganya. Pasalnya, karena burung ini juga membuat banyak peneliti dan wisatawan datang ke Simau. Mereka selain meneliti juga ingin merasakan sensasi menunggu mamua bertelur di tengah malam di tepi pantai.
Apa yang telah dilakukan Safri ini diceritakan juga pada peserta kunjungan belajar konservasi yang berasal dari puluhan Komunitas Pecinta Alam (KPA) di Maluku Utara Minggu (7/11) lalu. Kegiatan yang diinisiasi oleh LSM Burung Indonesia itu ingin belajar apa yang dirintis Safri bersama komunitasnya yang bernama Salabia.
Kegiatan yang dirangkai dengan camping bersama di pantai Simau Galela ini, dia turut cerita panjang lebar tentang upayanya mendorong konservasi ini.
Sebelumnya, saat ditemui di arena camping lelaki yang biasa disapa OM Gode ini bercerita, jika gerakan konsrvasi mamua yang dilakukannya berawal dari kegiatannya di kampong Simau yang setiap saat mengawal peneliti atau pengunjung yang datang meneliti burung bernama latin Elipoa Wallacea atau Gosong Maluku itu. Pria yang fasih berbicara dalam beberapa bahasa asing itu bercerita jika dia menjalankan tugas dan peran ini, karena memiliki ketertarikan melindungi dan berfikir mengembangkan. Caranya tentu harus dengan melakukan konservasi.
“Awalnya saya sendiri yang menjaga dan melakukan konservasi burung mamua ini. Tidak ada biaya atau bantuan dari orang lain. Karena itu peneliti atau pengunjung yang datang dan ingin mencari tahu burung ini, masyarakat selalu mengarahkan bertemu saya lalu saya kawal mereka. Tugas saya menjadi guide bagi para peneliti melakukan riset atau wisatawan yang mau berwisata menyaksikan burung mamua, terutama saat bertelur,” jelasnya.
Dia bilang lagi, kala itu ada satu peneliti dari Amerika yang dia temani. “Saya menjelaskan banyak hal tentang burung mamua ini. Misalnya waktu bertelur, kebiasaannya hingga bagaimana membedakan telur yang nanti jika menetas jantan dan betina. Ketika mendengar berbagai penjelasan dan pengalaman yang saya sampaikan dia kemudian menyarankan dengan menyampaikan bahwa jika mamua ini dilindungi dan dikembangbiakan, hingga turun temurun dia tidak akan punah. Dari sini menginspirasi saya melakukan konservasi ini,” katanya.
Dia bilang lagi, para peneliti yang datang rata rata memintanya menjaga dan melindungi burung ini. Bahkan menurut mereka jika dilindungi akan menjadi asset bagi desa. Ketika mendapatkan saran dari peneliti tersebut Safri mengaku kembali bertanya caranya. Namun peneliti balik menyarankan ditanyakan kepada orang, yang lebih tahu cara pemeliharaan dan perlindungan burung ini.
Akhirnya Safri memulai gerakan pemeliharaan dan perlindungan terutama di lahan milik orang tuanya di kawasan mangrove dekat pantai tepat di belakang kampong Simau.
“Ternyata setelah saya tanya- tanya ke orang tua tua di kampong juga mereka tidak tahu bagaimana cara mengembangbiakan burung ini,” ujarnya. Akhirnya ketika mendapat pendampingan dari LSM Burung Indonesia dan pihak Universitas Halmahera (UNIERA), barulah bisa diketahu dan dilakukan penangkaran semi alami seperti sekarang,” imbuhnya. Lewat pendampingan dan mencoba ke Haruku Maluku setrta berdasarkan pengalaman sehari hari akhirnya dilakukan penangkaran. Hingga kini anakan mamua sudah lepasliar hamper 1000 ekor ke habitatnya.
Proses penangkaran sendiri sebenarnya dilakukan sejak 2016. Ketika ada pendampingan tersebut 2019 barulah dikembangkan penangkarannya hingga ratusan telur dengan dibentuk komunitas. Setelah dilakukan penangakaran secara mandiri dan ada pendampingan itu barulah dibuat gerakan bersama dengan dibentuknya komunitas Salabia Simau. Tujuannya bersama melakukan penangkaran semi alami selanjutnya lepas liar ke alam atau habtatnya. Disebut semi alami karena telur yang ada ditanam di alat penangkaran alami di sekitar tempat bertelurnya, kemudian dirawat sebentar dikandang pemeliharaan lalu lepas liar.
Kini setelah 5 tahun berlalu didukung dengan pendirian komunitas dan dia sebagai koordinatornya, penangkaran sudah mulai berjalan baik meski belum ada dukungan pemerintah.
Lalu apa suka duka merintis konservasi mamua ini? Soal itu Safri mengaku menghadapi tantangan luar biasa. Pertama ketika melakukan pendekatan kepada mereka yang memiliki lahan dimana mamua bertelur tidak diterima. Kedua memberikan pemahaman soal pentingnnya konservasi yang ujungnya untuk warisan anak cucu di kemudian hari, kadang sulit diterima. Meski demikian katanya, dengan berbagai pendekatan kepada empat pemilik lahan akhirnya semua bersepakat mendukung gerakan menjaga dan melindungi burung ini. Caranya ketika mereka memanen atau menggali telur- telur mamua itu akan disisakan telur atau diantar telur- telur itu ke komunitas Salabia untuk ditetaskan di kandang penangkaran.
“Sangat bersyukur karena ternyata warga Simau juga banyak yang belum tahu bagaimana mengembangbiakan burung ini termasuk melihat anakan burung ini secara langsung. Karena itu ketika kita tanam telur telur itu di pasir dan menetas lalu lepasliar, warga datang beramai ramai menonton dari dekat sekaligus menjadi pengetahuan bagi mereka lebih menjaga dan melindungi kekayaan ini.
Hasilnya juga sudah bisa dirasakan sekarang. Saat ini burung mamua yang bertelur di kawasan pantai Simau sudah semakin banyak. Setahun belakangan, ketika masuk musim bertelur mereka bisa panen telur hingga ratusan butir per hari. Ini berbeda dari sebelumnya yang hanya beberapa puluh telur di saat musim bertelur sehari,” jelasnya. Sekadar diketahui burung mamua ini bertelur selama 6 bulan dalam setahun, 6 bulan berikutnya masa istrahat. Kalaupun dia bertelur hanya satu dua ekor saja.(*)
CEO Kabar Pulau