Warga di Pulau Makean Halmahera Selatan memiliki banyak kearifan atau tradisi yang dijalankan turun temurun. Meski perlahan ada di antaranya mulai tergerus zaman, masih ada beberapa yang terus dipertahankan karena memiliki kekuatan perekat dan penyelasai masalah. Salah satunya adalah tradisi Sopik.
Sopik adalah salah satu tradisi masyarakat Makean, khusunya di komunitas Tahane atau dekenal juga dengan Daori. Tradisi ini sebenarnya lahir dan berkembang sebagai akibat dari respons terhadap realitas sosial masyarakatnya. Sopik sejak lama telah menjadi sebuah lembaga peradilan yang menjaga relasi antarindividu dalam masyarakat Tahane/Daori.
Sopik berasal dari kata dasar sop dalam bahasa Makean Dalam (Makean Timur) yang artinya menyelam ke dasar laut. “Bisa juga diartikan mandi. Kata ini secara morfologis (kemudian) menjadi sop(ik) karena secara kontekstual maknanya sudah diubah. Kata sop hanya merujuk pada aktivitas menyelam, sementara sopik menekankan aktivitas menyelam dengan membawa beban,” kata Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) wilayah Maluku Utara Rudy S Tawari MSi pada Kabarpulau.co.id Selasa (14/4).
Dia bilang secara sederhana sop dapat diterjemahkan dengan menyelam. Sementara sopik berarti menyelamkan. Inilah yang melatari penamaan tradisi ini. Di mana orang yang menyelam membawa beban dalam dua makna: Dua orang yang dipilih untuk menyelam memang sedang membawa batu saat menyelam, dan kedua orang yang menyelam sebenarnya juga secara simbolik membawa masalah yang dipersengketakan karena masing- masing mewakili pihak yang bersengketa.
Tradisi ini digunakan sebagai media penyelesaian masalah. Terutama berkaitan dengan persengketaan. batas lahan kebun, lahan kaplingan untuk pembangunan rumah, atau saling klaim kepemilikan hewan ternak atau benda tertentu. Apabila masalah tidak berhasil diselesaikan pemerintah desa atau pemuka adat, atau juga pihak yang bersengketa tidak puas terhadap putusan pemerintah desa atau pemuka adat, maka sopik adalah alternatif terakhir yang ditempuh.
Untuk melakukannya, pihak yang bersengketa harus lebih dulu bersepakat, barulah tradisi ini bisa dilaksanakan dipandu pemuka agama, imam masjid, wakil imam, atau warga lainnya yang diyakini memiliki kemampuan memandu sopik. Setelah sepakat dan menentukan waktu pelaksanaan, pemerintah desa mengumumkan kepada masyarakat atas rencana pelaksanaan sopik. Biasanya waktu yang dipilih adalah hari Jumat karena banyak masyarakat tidak beraktivitas di luar kampung. Sementara pihak yang bersengketa mencari wakil masing-masing untuk menyelam di laut. Biasanya pihak yang bersengketa berlomba memilih orang yang diyakini memiliki kemampuan bertahan dalam waktu lama saat menyelam di dasar laut.
Setelah memilih, wakil yang akan menyelam dihadirkan di lokasi pantai yang sudah ditetapkan. Wakil pihak yang bersengketa berdiri saling membelakangi tepat di hadapan pemandu sopik dan masyarakat umum yang datang menyaksikan. Beberapa menit sebelum para wakil menuju ke laut dan seterusnya menyelam ke dasar laut, orang yang dipercayakan memimpin sopik mengawali dengan membacakan doa tertentu sekaligus menyampaikan bobeto (kata-kata yang berisi permintaan agar kebenaran itu jatuh pada orang yang benar-benar berhak terhadap barang atau sesuatu yang disengketakan). Selanjutnya, pemandu sopik menyerahkan batu kepada masing- masing wakil yang akan menyelam. Batu ini sebenarnya sebagai pemberat agar nanti menyelam bisa mudah tenggelam ke dasar laut. Setelah mengambil batu, para wakil masuk dalam laut hingga air setinggi dada orang dewasa. Dua orang itu tidak langsung menyelam tetapi menunggu aba-aba dari pemandu. Sebelum memberi aba-aba, pemandu dibantu beberapa jajarannya melantunkan salawat Nabi sebanyak tiga kali dan seterusnya memberi aba-aba dengan cara menghitung satu sampai tiga. Pada hitungan ke tiga, dua wakil mereka yang bersengketa, langsung masuk ke dasar laut. Beberapa saat kemudian pemenangnya sudah bisa dipastikan. Pihak yang wakilnya menyelam dan bertahan di dalam laut lebih lama adalah pemenang. Sementara yang lebih dulu muncul di permukaan laut adalah pihak yang kalah dan secara otomatis menerimanya sebagai kekalahan absolut tanpa banding atau pun protes tertentu terhadap masalah yang disengketakan. Kekalahan ini diterima karena selain disaksikan masyarakat umum, juga diyakini kebenaran keputusan tersebut karena intervensi dari Yang Maha Kuasa.
Rudy bilang berdasarkan tuturan beberapa pelaku yang pernah diminta mewakili pihak yang bersengketa, mengaku sering mendapat gangguan selama berada di dalam laut jika pihak yang diwakilinya bersalah. Gangguan-gangguan itu seperti tiba-tiba tidak mampu menahan napas lebih lama di dalam laut, digigit ikan, mendapatkan semburan pasir dari arah yang tidak menentu, dibawa arus laut, dan lain-lain. Sementara pelaku yang berada pada pihak yang benar nyaman selama menyelam.
Di Lautlah Keadilan Dicari
Pada masyarakat Makean Tahane/Daori, sopik adalah hukum adat yang tidak bisa digugat kebenarannya karena diyakini akan mendapatkan musibah tertentu. Bagi mereka, kebenaran yang ditimbulkan dari tradisi sopik bukan berasal dari sikap manusia tetapi atas petunjuk Tuhan. “Bandingkan dengan kondisi peradilan di Indonesia saat ini. Orang yang merasa tidak puas dengan suatu keputusan pengadilan selalu mencari cara untuk membatalkan keputusan tersebut dengan mengajukan kasasi. Jangankan kasasi, sebagian yang bahkan belum menjalani persidangan sudah terlebih dahulu mengajukan praperadilan. Ini dilakukan sebagai akibat dari cara berfikir bahwa keadilan yang diputuskan manusia penuh dengan berbagai kemungkinan salah kaprah dan muslihat,” ujar Rudy.
Selain itu, hukum adat juga merupakan cara masyarakat lokal meneguhkan kejujuran. Melalui sopik, masyarakat Daori mengajarkan bahwa kejujuran yang hakiki hanya milik Tuhan. Untuk itu, kita tidak bisa mengklaim sesuatu yang bukan hak kita. Masyarakat dibiasakan bersikap jujur karena apapun siasatnya, pada akhirnya kebenaran dan keadilan akan berpihak pada yang berhak. Sopik sebagai hukum adat yang digelar di laut, pihak yang bersengketa akan menemukan keadilan dan kebenaran di dasar laut. “Tradisi ini tampak sederhana tetapi memiliki nilai filosofi yang mendalam karena air sebagai salah satu unsur ciptaan Tuhan, selain menjadi sumber kehidupan manusia, juga berfungsi membersihkan segala kotoran, termasuk kotoran batin serakah dan tidak jujur,” tandasnya lagi.
Sampai saat ini tradisi sopik masih digunakan masyarakat setempat karena dipandang berkontribusi terhadap harmoniasi sosial masyarakat. Melalui tradisi ini, relasi sosial dirawat dengan baik karena berbagai persoalan persengketaan dapat diselesaikan dengan cara yang arif. (*)
CEO Kabar Pulau