Breaking News
light_mode
Beranda » Ragam » Kampung di Tengah Kaldera, Talaga di Tidore dan Aogashima di Jepang  

Kampung di Tengah Kaldera, Talaga di Tidore dan Aogashima di Jepang  

  • account_circle
  • calendar_month Kam, 14 Nov 2024
  • visibility 469

Mengagumkan jika terdapat kampung atau pemukiman di tengah kaldera gunung berapi.  Baik  yang masih aktif maupun  yang sudah tidak lagi.  Benar saja ternyata kampung di tegah kaldera itu ada.

Di Pulau Tidore Maluku Utara ada kampung bernama Talaga,  berada di tengah kaldera gunung api yang tidak aktif lagi. Sementara  di Negeri Sakura Jepang, terdapat  di tengah gunung berapi aktif, bernama  Aogashima di Pulau Aogashima. Baik Indonesia maupun  Jepang merupakan negara yang berada di kawasan cincin api Pasifik sehingga banyak gunung berapi aktif.

Lalu apa  yang membuat  mereka  bertahan turun temurun bertahan di situ?  Di Talaga misalnya warga beralasan karena memiliki kebun  cengkih dan pala  yang dinikmati turun temurun menjalani kehidupan.

“Orang tua kami, sampai anak-anaknya yang sudah berkeluarga memilih  bertahan hidup di kampung ini  karena  ada lahan pertanian  untuk berkebun menanam pala dan cengkih serta sayur mayur  untuk dijual ke Kota Tidore. Kalau kami turun (Tidore,red)  jangankan lahan kebun,  kapling rumah saja sulit kami  punyai,” kata Madjid Abdullah, Ketua RT Talaga. Itu alasan umum warga Lingkungan Talaga Tidore Timur yang berkampung dalam Kaldera Gunung Kie Matubu  Tidore Kepulauan Maluku Utara.

Kampung ini terisolir,  bahkan, nyaris ditutup  pemerintah  Halmahera Tengah,  sebelum pemekaran 2000 lalu. Meski  ada ancaman  ditutup,  warga bergeming. Mereka bertahan di tengah kesulitan itu. Bagi mereka, pilihan paling bahagia berada di tempat yang jauh dari  kebisingan dan hiruk pikuk kota.

Sesuai namanya, kampung mungil ini terletak dalam cerukan raksasa dan berdekatan dengan sebuah telaga. Selama bertahun-tahun, Talaga jadi salah satu daerah penghasil utama pala dan cengkih serta  pemasok  sayur-mayur di Tidore.

Kampung Talaga memiliki sejarah cukup panjang. Warga yang mendiami  kampung ini sebenarnya gabungan dari dua desa yang ditempatkan kesultanan ke Puncak  Gunung Kie Matubu.

Untuk menjangkau Talaga, harus menjadi “pendaki.” Akses jalan  masuk sampai Talaga cukup sulit.  Naik dari Kelurahan Maftutu. Jalanan  mendaki itu, sudah dibuka tujuh tahun lalu  hanya belum beraspal hingga kini. Kondisi rusak  karena terkikis air maupun longsor. Tersisa seperti jalan  setapak yang setiap hari dilalui warga.

Untuk sampai ke Talaga,  ada dua jalan. Melalui rute Kelurahan Rum, Kecamatan Tidore Utara, atau melalui Mafututu, Kecamatan Tidore Timur. Lewat rute Rum, jarak harus ditempuh sekitar tujuh kilometer, melalui jalan kebun  penuh batuan. Kalau lewat Mafututu, hanya 3,5 kilometer.  Kala itu saya memilih jalur Mafututu.

Meski hanya 3,5 kilometer, pendakian memakan waktu nyaris dua jam. Jalan dengan tanah terjal menanjak-menurun, amat merepotkan pendaki amatir seperti saya. Beruntung, semilir angin sepanjang perjalanan sangat membantu. selama mendaki. Pemandangan pulau-pulau di sekitar Tidore juga terlihat menawan. Dari kejauhan, Ternate, Halmahera, Maitara, dan Hiri seakan berada di bawah saya.
Begitu tiba di tepi kaldera, perjalanan masih harus dilanjutkan menuju Kampung Talaga. Kaldera Talaga sudah lama mengering, menyisakan lahan nan subur. Sumber air di dalam cerukan raksasa itu adalah sebuah rawa yang dipenuhi tanaman sagu.

Tebing- tebing kaldera penuh kebun warga berisi  pala, pinang, hingga sayur-mayur. Meski kebun-kebun itu terletak pada kontur bumi amat terjal, warga tampaknya begitu terbiasa. Kampung begitu sepi, karena sebagian besar penduduk di kebun. Talaga hanya berpenduduk 32 keluarga dengan jiwa berkisar 160 orang. Secara administratif, Talaga, masuk dalam RT/RW 10/03 Kelurahan Rum. ”Banyak warga kami sudah turun kampung. Sebagian masih punya kebun di sini, tapi tidak tinggal di sini lagi,” kata Madjid. Turun kampung berarti meninggalkan Talaga dan berpindah ke kampung lain di pesisir Tidore. Fenomena ini, katanya, marak terjadi pada 1980-an. Kala itu, pemerintah menutup satu-satunya sekolah dasar yang ada.  Padahal dulu warga di sini mencapai 1.000 orang.

Penutupan sekolah membuat sebagian besar warga memilih pergi. Bukan tanpa alasan pula pemerintah menutup sekolah. Menurut cerita, kala itu ada gerakan terstruktur dan masif merelokasi warga Talaga. ”Tapi orangtua kami tetap bertahan hingga kini, kami yang meneruskan,” kata suami Sarifa Salama itu. Upaya penutupan membuat Talaga yang dulu ada dua kampong—Kampung Talaga Gamtufkange dan Talaga Mareku— kehilangan penduduk. Saat ini, hanya Talaga Mareku yang tersisa. ”Orang-orang Talaga Gamtufkange turun ke Lobi, Dowora,”

Mengapa Madjid dan penduduk lain memilih bertahan? Menurut ayah lima anak itu, pemerintah pernah “merayu” mereka pindah dengan iming-iming rumah. Madjid cs menolak lantaran Kaldera Talaga dipandang menyediakan lahan amat subur untuk berkebun.

Tak berlebihan jika lahan menjadi alasan bertahan. Tanah di kaldera amat subur. Tanaman tahunan semacam durian, pala, cengkih, pinang, kayu manis, dan sagu tumbuh subur di sana. Begitu pula sayur-mayur seperti tomat, cabai, pakis, dan sayur lilin. Talaga juga gudang sayur lilin (Setaria palmifolia). Para petani Talaga amat senang bertanam sayur ini, karena harga tergolong mahal di pasaran. Di rawa kaldera, hutan sagu masih terjaga subur. ”Sekarang sudah jarang bahalo (memangkur,red) sagu. Karena sudah ada beras,” kata Madjid terkekeh.

Belasan tahun lalu warga masih intens memangkur sagu sebagai makanan pokok. Beras, dianggap begitu mewah lantaran medan untuk membeli sangat berat, hanya dikonsumsi tiap Jumat.  Seiring akses jalan, meski kondisi masih memprihatinkan, terjadi pergeseran pangan. ”Kini makanan pokok utama kami beras. Tiap hari makan nasi,” katanya.

Dari  hasil bumi inilah warga Talaga menyekolahkan anak-anak mereka. Sebagian eks warga Talaga yang turun gunung juga masih memiliki kebun dalam kaldera. Pada musim panen, mereka kembali ke Talaga untuk memetik hasil. Pada waktu-waktu itu, kampung ramai. ”Mereka (eks warga,red) rata-rata rumah di Rum. Kalau musim panen, bangun rumah kebun di ujung kampung untuk tinggal sementara,” katanya.

Talaga kini telah memiliki SD dan pusat kesehatan. Aliran listrik sudah sampai ke situ sejak beberapa tahun lalu. Rumah-rumah warga rata-rata dari batubata. Untuk membangun rumah perlu perjuangan berat. ”Angkat semen dari bawah (Mafututu,red) berat. Satu sak semen biasa kami curah lalu diangkat empat perempuan, atau tiga laki-laki,” kata Wahab Ibrahim, warga Talaga.

Dalam pengelolaan lahan  atau kebun,  warga Talaga punya lahan berdasarkan   warisan maupun kebun yang baru dibuka. Ada lahan kebun pala,   cengkih    maupun kebun bamboo, tanaman lain ikut menghiasi durian,  kayu  manis,  pinang   dan berbagai jenis tanaman lain.

Selain kebun  perorangan, di kampung ini juga ada lahan milik bersama dikenal dengan kebun kampung. Kebun ini dua hektar ditanami pala dan cengkih. ”Lahan kebun milik bersama ini tanaman utama cengkih dan pala.”

Hasil kebun untuk pembangunan desa setempat. Ada beberapa infrastruktur desa ini,  dibangun pakai uang hasil panen cengkih dan pala dari  kebun kampong.

Impian warga memiliki jalan layak. Jalan bakal lebih memudahkan mereka mengangkut hasil panen ke pasar. ”Tentu saja kami butuh jalan. Tak berani minta (ke pemerintah,red). Kalau dikasih syukur, kalau belum ya tunggu.”

Ruas jalan bernama Tomadou Talaga ini,  dibuka periode kedua kepemimpinan mantan Wali Kota Ahmad Mahifa sekitar 2010. Jalan sepanjang 3.5 kilo meter itu, sempat dilalui truk dan kendaraan roda dua. Lambat laun rusak. Bahkan tak bisa dilalui  karena longsor dan hancur terkikis air. Kini,  jalan sudah jadi jalan kebun, hanya bisa dilalui  dengan jalan kaki.

Dikutip dari (https://www.victorynews.id/dunia/3318391709/mengenal-aogashima-kota-kecil-yang-berada-di-tengah-gunung-berapi-aktif-di-jepang?page=2) di Jepang terdapat salah satu pulau yang penduduknya hidup berdampingan dengan gunung berapi. Pulau tersebut bernama Aogashima yang dapat dikategorikan sebagai salah satu pulau yang paling ekstrem untuk ditinggali.Merupakan salah satu pulau vulkanik  di selatan Jepang yang jaraknya sekitar 358 kilometer dari selatan Tokyo dan merupakan bagian dari kepulauan Izu. Pulau berpenghuni paling selatan dan paling terisolasi itu secara politik dan administratif merupakan bagian dari Jepang. Secara biografis wilayah ini bukan bagian dari kepulauan Jepang. Aogashima berbatasan dengan Filipina Timur Laut dan terletak di utara kepulauan Bonin yang diperintah Jepang. Pulau ini dikelilingi tebing yang membuat bentuknya mirip dengan mangkuk besar. Jika dilihat dari atas bentuk pulau Aogashima mirip sebuah mangkuk besar yang dikelilingi tebing tinggi dan terjal.

Terbentuk oleh empat buah kaldera atau lubang besar seperti kuali yang saling tumpang tindih yang berarti terdapat kaldera di dalam kaldera. Topografi yang unik ini memiliki asal usul tersendiri yaitu pada tahun 1785 gunung ini mengalami letusan hebat yang membentuk kaldera. Akibatnya Aogashima tidak dihuni selama 50 tahun. Aogashima bukanlah pulau dengan gunung merapi akan tetapi, ia merupakan gunung berapi itu sendiri.

Kendati sangat terisolasi, dengan panjang 3,5 kilo meter dan lebar 2,5 kilometer pulau ini ditingal oleh sekitar 206 orang masyarakat yang sangat pemberani. Letusan terakhir  di tahun 1785 menewaskan 140 yang atau setengah populasi pada masa itu tidak membuat mereka takut menjadikan pulau ini sebagai rumah mereka.  Pulau Aogashima mungkin sudah tenang setelah letusan terakhirnya. Namun demikian ia adalah gunung berapi aktif yang hanya menunggu waktu sampai sekali lagi memamerkan letusannya yang sangat berbahaya.

Tetapi untungnya vulkanologi telah mengalami kemajuan sehingga mereka dapat memberikan peringatan dini tentang letusan berikutnya yang membuat masyarakat yang tinggal di Aogashima tidak perlu khawatir akan letusan gunung.

Sejarah pemukiman manusia di pulau Aogashima tidak diketahui secara pasti. Namun, sebagian besar orang di Aogashima adalah orang Jepang. Pulau ini disebutkan dalam catatan periode hedo yang disimpan di hajijojima yang mencatat aktivitas vulkanik pada 1652 dan dari tahun 1670 hingga tahun 1680.

Saat ini, Pulau Aogashima hanya memiliki satu toko  satu kantor pos, dua bar, satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah. Sementara untuk akomodasi, di pulau Aogashima terdapat beberapa penginapan kecil dan sederhana.Sebagian besar penduduk Aogashima tinggal di dinding kawa dan umumnya mereka hidup dari bertani meskipun ada beberapa di antara mereka yang hidup dengan menjadi pegawai pemerintah.(*)

 

 

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Kejar Kualitas Riset, LIPI-Unkhair Jalin Kerjasama

    • calendar_month Rab, 9 Jun 2021
    • account_circle
    • visibility 156
    • 1Komentar

    Untuk mendorong adanya riset yang berkualitas, hal yang utama dibutuhkan adalah adanya kerjasama  atau kolaborasi antarlembaga.  Hal inilah yang saat ini dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan  Indonesia (LIPI)  dengan Universitas Khairun Ternate (Unkhair).  Kedua lembaha ini  menjalin Kerjasama untuk tujuan ke arah tersebut.  Kesepakatan kolaborasi tertuang dalam naskah perjanjian kerja sama antara Deputi Bidang Ilmu Kebumian […]

  • Pulau- pulau di Malut Kaya Sumberdaya Hayati

    • calendar_month Rab, 9 Jun 2021
    • account_circle
    • visibility 189
    • 1Komentar

    LIPI Temukan Empat Spesies Baru Kumbang Hutan dan alam pulau-pulau di Maluku Utara benar benar kaya sumberdaya hayati. Terbaru sesuia hasil publikasi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  ada  temuan  empat speies baru jenis kumbang. Atas  temuan ini semakin mengukuhkan bahwa hutan dan alam  di Maluku Utara kaya dan menjadi laboratorium   riset untuk pengembangan  […]

  • Kawasan Konservasi Laut Bertambah 1 Juta Hektar

    • calendar_month Sab, 25 Okt 2025
    • account_circle
    • visibility 98
    • 0Komentar

    Di  Malut Ada Satu KKP Baru di Halteng dan Haltim Kementerian Kelautan  dan Perikanan (KKP) berhasil menambah 1,079 juta hektare kawasan konservasi laut baru di masa satu tahun pemerintahan Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo. Perluasan kawasan konservasi bagian dari upaya percepatan menuju target 10% wilayah laut terlindungi pada 2030 dan visi jangka panjang 30×45 […]

  • Perjuangkan Sungai Sagea, Aksi Warga Ricuh  

    • calendar_month Ming, 29 Okt 2023
    • account_circle
    • visibility 264
    • 2Komentar

    Warga Desa Sagea dan Kiya yang berada di lingkar tambang  kawasan industry  PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara menggelar aksi  Sabtu (28/10/2023) di Lipe Gate 3 PT IWIP, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah pagi tadi sekitar pukul 09.30 WIT. Aksi yang melibatkan massa yang datang dengan truk […]

  • Ini Hasil Riset Scooping Nikel untuk Electric Vehicle (EV)

    • calendar_month Sen, 11 Des 2023
    • account_circle
    • visibility 224
    • 1Komentar

    Indonesia Belum  Punya Roadmap Hulu-Hilir Maluku Utara adalah salah satu wilayah di Indonesia  yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam melimpah, salah satunya nikel. Hampir seluruh perut bumi  Halmahera dan pulau-pulau kecil lainya menyimpan kekayaan tambang nikel. Karena itu tidak salah terdapat tiga kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijadikan pusat pengolahan nikel, termasuk salah satunya […]

  • Ini Cara Menyiapkan Warga Adaptif Ketika Bencana (1)

    • calendar_month Jum, 14 Agu 2020
    • account_circle
    • visibility 148
    • 0Komentar

    Penyiapan Pangan Warga Sangatlah Penting Bencana baik alam maupun non alam berdampak cukup serius bagi warga.  Pandemi Covid-19 misalnya, membuat hampir semua orang menjadi kurang produktif.  Pemenuhan kebutuhan hidup di masa pandemi pun  jadi tantangan.   Warga menjadi sangat rentan terutama  dalam memenuhi kebutuhan pangan. Karena itu perlu membangun  ketangguhan. Menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan, […]

expand_less