Breaking News
light_mode
Beranda » Headline » Anak Muda Pulau Bacan Dorong Literasi, Konservasi dan Ekonomi

Anak Muda Pulau Bacan Dorong Literasi, Konservasi dan Ekonomi

  • account_circle
  • calendar_month Ming, 5 Okt 2025
  • visibility 138

Bentuk Komunitas, Kampanye Lindungi  Satwa, Buat Perdes dan  Kelompok Tani

Suasana di kawasan zero point pusat Kota Labuha Halmahera Selatan terlihat sibuk. Jumat (11/7/2025) siang  itu  sejumlah anak muda tengah menyiapkan acara pendukung kegiatan Merayakan Hari Keragaman Burung Indonesia  (MKBI) yang dilaksanakan  LSM Burung Indonesia.  Kegiatan ini  adalah bagian dari Festival Konservasi Satwa  Liar Maluku Utara yang digelar,  bersama sejumlah komunitas yang  berfokus pada isyu konservasi dan perlindungan alam.

Ini adalah  adalah  upaya meningkatkan kesadaran akan kekayaan jenis burung di Indonesia  serta pentingnya pelestarian habitatnya. Ada beberapa  kegiatan yang dilaksanakan. Mulai dari pameran foto keanekaragaman hayati burung Maluku Utara,  pameran organisasi  pemerhati lingkungan, pekan kreasi mewarnai  kehati  untuk anak,  cerdas cermat konservasi  satwa liar untuk SMA   dan bebarapa agenda lain.

“Tujuannya memperkenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan jenis burung di Indonesia. Selain itu mempromosikan konservasi  yakni  menyampaikan pesan penting pelestarian burung dan habitatnya. Termasuk menumbuhkan rasa cinta dan apresiasi terhadap burung dan lingkungan,” kata Beny Aladin Koordinator  LSM Burung Wilayah Maluku.

Dalam pelibatan komunitas, ada Komunitas Pelestarian Satwa Sibela (Kompas), yang membantu  kegiatan tersebut.  Kompas  ini sebenarnya telah bekerja mendorong upaya penyelamatan satwa liar terutama paruh bengkok di wilayah Kawasan Cagar Alam Gunung  Sibela Pulau Bacan Halmahera Selatan.

Ketua Kompas  Dela  Safita Subarno (24)  bercerita, upaya  yang telah mereka lakukan untuk  penyelamatan  satwa liar dan  habitatnya sudah  6 tahun ini. Gadis asal  Desa Gandasuli Pulau Bacan Halmahera itu bilang,   Kompas merupakan komunitas anak muda di ibukota Kabupaten Halmahera Selatan  yang berdiri sejak 2019 lalu.  Bergerak di bidang konservasi  yang  awalnya diinisasi  anak -anak muda Desa Gandasuli Kecamatan Bacan Selatan Kabupaten Halmahera Selatan. Tentu katanya ada peran Burung Indonesia.

“Pendirian awal komunitas ini adalah  dari anak-anak muda desa Gandusuli. Namun  kini setelah 6 tahun beraktivitas anggota komunitas datang dari  berbagai desa ikut bergabung. Komunitas  ini awal pendiriannya hanya 7 orang. Saat ini sudah di atas 30 anggota   bergerak jika ada kampanye maupun aksi aksi lainnya,” cerita Dela.

Hal yang mendorong  anak muda desa Gandasuli  bergerak  hingga sekarang,  karena melihat praktek perburuan  satwa liar terutama paruh bengkok yang marak sejak lama.  Gerakan ini juga dilakukan karena ada kekuatiran jika tidak cepat dicegah  suatu saat satwa-satwa liar ini tinggal cerita. Saat ini setelah 6 tahun, isyu yang dikampanyekan juga tidak sebatas  perlindungan satwa liar. Tetapi  ikut mendorong usaha ekonomi produktif warga. Sebab jika hanya berkampanye soal perlindungan tanpa  mendorong ekonomi  akan sia- sia kampanye yang dilakukan. Pasalnya   perburuan akan tetap  terjadi

“Tujuan  mendorong anak muda melibatkan masyarakat lakukan kampanye dan edukasi lingkungan. Terutama terkait eksploitasi dan penangkapan satwa liar burung.  Paling penting juga melakukan monitoring perburuan burung serta perusakan habitat,” ujar Dela.

Dia bilang penangkapan dan perburuan burung ini tidak sekadar kesenangan tetapi sudah menjadi mata pencarian.  “Hal ini sangat mengancam   burung  paruh bengkok  di Kawasan Cagar  Alam Gunung Sibela Bacan.

Karena itu sosialisasi dan kampanye tidak sebatas pelarangan penangkapan satwa burung, tetapi juga  perlu ada  penyadaran bahwa   ada usaha lain  menjadi solusi,” katanya.

Diakui komunitas ini turut dibantu LSM Burung Indonesia yang melakukan pendampingan masyarakat desa di sekitar hutan cagar alam Gunung Sibela. Ketika  mereka masuk mendampingi warga di bidang pertanian, komunitas juga  ikut mensosialisasikan bahwa burung  paruh bengkok dilindungi.  Cara ini dilakukan agar  masyarakat  bisa  mengalihkan mata pencarian  bertani  dari  tanaman tahunan seperti kelapa pala, coklat dan cengkih, juga bisa  bertanam  hortikutura. Cara ini dilakukan lebih awal untuk memberikan pemahaman bahwa satwa yang diburu dan perjualbelikan  sebenarnya  dilindungi. Tidak itu saja,  diberikan penyadaran bahwa jika satwa terus diburu maka akan mengalami kepunahan.

Selain mensosialisasikan larangan penangkapan  dengan berbagai regulasi pendukungnya, komunitas  juga turut mendorong pembuatan Peraturan Desa (Perdes). Perdes ini diinisiasi  pada tahun 2020.  Perdes  tersebut menjadikan Desa Gandasuli  satu-satunya desa di Halmahera Selatan  bahkan Maluku Utara, memiliki Perdes khusus Perlindungan  Satwa Paruh Bengkok.

Perdes Nomor 2/2020 itu, mengatur secara  spesifik  perlindungan satwa liar maupun habitatnya.  Tidak itu saja jika ada warga yang melanggar ada sanksinya bahkan secara hukum. Tujuan Perdes itu adalah menjaga kelestarian satwa liar yang dilindungi, sebagai upaya turut menjaga keseimbangan alam, sehingga mendukung kelangsungan hidup dan meningkatkan mutu hidup masyarakat  Desa Gandasuli.

Kata Dela, awalnya masyarakat berat menerima  Perdes itu. Terutama   pemburu burung paruh bengkok. Hanya saja  terus  didorong  dengan melibatkan berbagai pihak di desa, akhirnya  warga menerima  hingga  bisa diimplemetasikan.

Komunitas KOMPAS memberi edukasi konservasi dan lingkungan kepada anak-anak SD di Bacan foto KOMPAS

“Di kampung itu ada  banyak pemburu burung paruh bengkok. Mereka tidak hanya penangkap burung tetapi juga menjadi penampung sebelum dijual ke agen. Patut bersyukur karena upaya membuat Perdes itu bisa berdampak. Warga  tidak lagi menangkap burung dan  focus aktivitas berkebun ikut menanam tanaman hortikltura   dan usaha produktif lainnya,” katanya.

Di komunitas sendiri  ada  tiga hal ikut  didorong  yakni,  Literasi, Konservasi dan Ekonomi.  Untuk gerakan literasi  ikut membangun  perpustakaan desa. Gerakan literasi  ini   tidak hanya di desa Gandasuli di mana komunitas berada tetapi juga ke desa  desa tetangga.

Untuk konservasi, ikut lakukan monitoring hutan di sekitar cagar alam termasuk penangkapan burung  maupun satwa liar lain yang dilindungi.   Untuk bidang ekonomi  salah satu   didorong  pembentukan  kelompok tani  dan kelompok usaha produktif. Ada beberapa olahan hasil perkebunan telah dibuat misalnya sirup dan manisan pala.

Pendampingan oleh LSM Burung ikut mendorong Komunitas Kompas massive kampanye  “Kami juga sudah dorong masyarakat bentuk kelompok tani. Saat ini kelompok tani sudah bergerak dengan  menanam  tanam hortikultura,” kata Dela.

Sementara   mereka yang memiliki satwa burung  yang dipelihara,  ada yang secara sukarela melepasnya.  Ini dilakukan  melalui  pendekatan dan  pemberian pemahaman   soal kondisi  paruh bengkok  yang  makin terancam di alam liar saat ini.   “Kita buat pendekatan dan bicara soal  burung  dilindungi ini. Kita juga cerita perlunya  pekerjaan alternatif agar  kebiasaan  menangkap  burung  tidak dilakukan lagi,”tutupnya.

Hasil produksi olahan pala dalam bentuk sirup dan manisan yang dibuat warg Desa Gandasuli Bacan Selatan yang diinisiasi oleh KOMPAS, foto Kompas

Saiful MS salah satu anggota dan pendiri Komunitas Kompas  bercerita dia bersama kawan-kawannya mendirikan komunitas ini   awal dari  rasa peduli  kelompok pemuda  desa  karena kondisi cagar alam yang banyak dijamah. Berbagai aktivitas dilakukan  di   cagar alam Gunung Sibela. Terutama perburuan satwa, pembalakan dan perkebunan.  Awalnya ikut membantu LSM Burung dalam pengamatan dan identifikasi satwa burung di Kawasan cagar alam.

“Ketika ikut bergabung dan melihat banyak aktivitas warga mengancam keberadaan cagar alam, kemudian diajak  kelompok pemuda yang lain membuat perkumpulan pemuda. Dari situ  muncul   ide mendirikan  komunitas ini,” kisahnya.

Tujuannya tentu meminimasir perburuan burung paruh bengkok yang makin massive. Termasuk  pembalakan dan perkebunan yang  masuk dalam kawasan. Upaya ini perlu dilakukan karena  secara aturan dilarang  menjamah kawasan cagar alam. Ketika aktivitas itu terjadi, habitat  satwa  ikut terancam. Apalagi di Cagar Alam Sibela  banyak satwa tidak hanya burung paruh bengkok. Ada monyet atau macaca dan jenis serangga yang endemic.

Dia bilang,  penangkapan burung paruh bengkok di Desa Gandasuli, di bawah tahun 2018  sesuai hasil survei dan identifikasi yang dilakukan, per hari untuk penangkap aktif bisa mendapatkan puluhan ekor. Kala itu ada 4 penangkap  beraktivitas  tiap hari.  Selain itu ada banyak  penangkap musiman  yang  hanya sekadar hobi.  “Perburuan yang begitu massive sudah pasti mengancam keberaadaan populasi paruh bengkok. Paling banyak ditangkap adalah nuri ternate,  kaktua putih dan nuri bayan,” katanya.

Berdasarkan hasil identifikasi  ada 100 lebih jenis burung di Cagar alam ini. Belum lagi  serangga seperti kupu-kupu  Bacan dan lebah raksasa. Burung paruh bengkok   ada spesies kasturi Ternate  dan Nuri pipi merah, selain itu ada juga  bidadari Halamahera (semioptera wallaci),   kupu kupu  dan jenis burung lain  seperti  belibis, kuntul belang  dan berbagai  jenis  burung migran.  Bidadari Halmahera  misalnya  burung endemic  yang pertama kali  ditemukan  Alfred Russle  Wallace di Pulau  Bacan. Begitu juga lebah raksasa (Megachile pluto) lebah terbesar di dunia itu pertama kali ditemukan AR Wallace juga di Pulau Bacan.

“Cagar alam ini sebenarnya sangat kaya keanekaragaman hayati seperti pernah dicatat AR Wallace. Karena itu  komunitas merasa penting mengampanyekan perlindungannya,” jelasnya.

Selain burung, keberadaan jenis satwa lain terutama reptile dan serangga seperti kupu kupu juga akan terancam. Apalagi Kupu- kupu  Bacan juga jadi sasaran perburuan. Habitatnya juga terancam  karena perkebunan dalam kawasan.  Hal ini katanya, yang mendorong komunitas  ikut mengampanyekan perlindungan satwa dan habitatnya.  “Sejak 2019 saat komunitas ini ada dan ikut mengampanyekan perlindungan satwa dan habitatnya,  aktivitas perburuan  mulai berkurang  hingga  2025 ini,” ujarnya.

Bersama berbagai kelompok masyarakat melakukan pembersihan lingkungan foto KOMPAS

Beny Aladin Siregar Koordinator Burung Indonesia Wilayah Kepulauan Maluku  Senin (28/7/2025) mengakui,  keterancaman karena aktivitas di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela. Yang  serius itu  adanya  perburuan dan  alih fungsi untuk perkebunan  warga terutama yang menanam kelapa, pala dan cengkih.  “Pembukaan   lahan perkebunan  dan  juga penambangan emas tanpa izin di Desa Kubung Bacan Selatan itu gangguan yang terjadi di dalam kawasan,” katanya.

Terkait perburuan satwa liar terutama burung paruh bengkok  di Pulau Bacan  masih terjadi di dua desa. Pertama  desa Gandasuli Bacan Selatan dan Amasing di Kecamatan Bacan. Perburuan itu dampaknya sangat terasa terutama ancaman  populasi  satwa paruh bengkok. Hasil survei    Burung Indonesia  2019 menunjukkan adanya penurunan populasi  sama seperti di pulau Halmahera dan Obi.

“Sejarahnya dari dulu  di Pulau Bacan itu  ada dua desa yakni  Gandasuli  dan Amasing   warga  menjadi penangkap burung. Burung- burung itu  diperjualbelikan. Desa  Gandasuli   beririsan langsung Cagar Alam  Gunung Sibela karena itu berdampak langsung dengan satwa  burung di cagar alam tersebut.  “Data data ini juga terkonfirmasi  dalam laporan sebelumnya   oleh  lembaga Pro Fauna yang melakukan riset. Penyebab utamanya adalah  perburuan  untuk diperdangakan,”jelas Beny.

Komunitas Kompas, menurut Beny kehadirannya memberi pengaruh. Ini  upaya mengarustamakan pesan konservasi  dan strategi  kampanye. Tidak itu saja mereka menjadi  konstituen konservasi di Desa.  Komunitas ini adalah salah  satu kakuatan potensial. Terutama  mendampingi dan memberi pemahaman tentang biodeversitas. Adanya komunitas ini mereka bergerak mengampanyekan dan mau mengawasi perburuan dan perdagangan yang mengancam.(*)

 

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

expand_less