Breaking News
light_mode
Beranda » Headline » Birokrasi Tahan Dana Iklim, Masyarakat Adat dan Kampong Hanya Terima Sekira 10 Persen

Birokrasi Tahan Dana Iklim, Masyarakat Adat dan Kampong Hanya Terima Sekira 10 Persen

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Sen, 1 Des 2025
  • visibility 50

Ironi pendanaan iklim kembali mengemuka bersamaan dengan Konferensi Iklim COP 30 di Brasil. Penelitian International Institute for Environment and Development (IIED) menemukan hanya kurang dari 10 persen dana iklim global yang benar-benar sampai ke kampung-kampung dan Masyarakat Adat.

Dikutip dari   Berita | SIEJ – COP30 – BELEM, BRAZIL dari total US$17,4 miliar yang disetujui untuk proyek iklim sepanjang 2003–2016, hanya sekitar US$1,5 miliar yang menyentuh tingkat lokal. Sisanya tersumbat di meja birokrasi.

Padahal, komunitas yang hidup di wilayah adat itu adalah garda terdepan penjaga hutan, laut, dan sungai, sekaligus pihak yang paling terdampak krisis iklim. CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengkritik sistem pendanaan yang justru menyulitkan pihak yang paling berhak menerima manfaat.

“Kami mempercayakan pengelolaan dana kepada masyarakat adat dan membantu prosesnya, mulai dari penulisan proposal sampai menjaga bukti pembayaran. Jadi bukan mempersulit, tapi mempermudah,” kata Bustar dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet di Jakarta, 18 November 2025.

Ia mencontohkan situasi di Raja Ampat, Papua, ketika pemilik homestay adat tak mampu bangkit kembali pascapandemi Covid-19 karena akses pendanaan yang macet. “Padahal kalau mendapat pendanaan dan bisnisnya berjalan kembali, masyarakat mau mengembalikan dana tersebut. Jadi bukan minta. Dan merekalah yang selama ini menjaga terumbu karang, menjaga hutan di sana,” ujarnya.

Bustar juga menyinggung rencana percepatan pengakuan hutan adat seluas 1,4 juta hektare hingga 2029 yang sebelumnya disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni saat pembukaan COP 30 di Brasil. Proses verifikasi hukum itu, katanya, tak mungkin terlaksana tanpa dukungan finansial nyata. “Kalau misalnya komitmen dana yang disampaikan negara-negara maju bisa jalan, proses pengakuan ini bisa lebih cepat,” katanya.

Di sisi lain, Program Manager Dana Nusantara, Tanti Budi Suryani menyatakan lembaganya telah mendukung 450 inisiatif masyarakat selama dua tahun terakhir, dengan pola akses yang sederhana dan berbasis saling percaya. “Cara aksesnya mudah, dilandasi saling percaya, dan bentuknya hibah,” ujarnya.

Dana Nusantara dibentuk oleh AMAN, KPA, dan WALHI untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan, dan generasi muda dalam mempertahankan wilayah hidup mereka. Namun panjangnya alur birokrasi tetap menghantui, seperti dialami komunitas di Kalimantan Timur yang dijanjikan pendanaan karbon Rp40 juta tetapi tak kunjung menerima dana meski telah menjaga hutan selama lima tahun. “Persoalannya adalah birokrasi yang panjang,” kata Tanti.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat adat di Asia mengelola 40 persen lahan yang ada, tetapi baru sekitar 10 persen wilayah adat yang diakui secara hukum.

Utang Ekologis Negara Maju

Seruan menagih tanggung jawab negara-negara maju kembali bergema di COP 30. Sekjen PBB Antonio Guterres dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell menuntut negara-negara kaya menepati komitmen pendanaan iklim. Namun realitas di lapangan jauh dari janji: alih-alih hibah, bantuan iklim banyak diberikan dalam bentuk pinjaman.

“Dalam kesepakatan Paris, disebutkan bahwa negara maju juga memiliki mandat untuk membantu negara berkembang. Jadi bukan hanya memberikan akses, tapi bahkan pendanaannya,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.

Ia menilai skema pendanaan iklim selama ini justru memperkaya negara kaya, memperberat utang negara miskin, dan gagal memberikan manfaat lingkungan. Bhima mengutip temuan investigasi Reuters mengenai negara-negara maju yang membeli surat utang negara berkembang dengan imbal hasil tinggi 6-10 persen serta mendorong skema transisi energi berbasis pinjaman seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). “Sebenarnya ada yang menikmati krisis iklim. Krisis iklimnya makin parah, profitnya makin tinggi,” katanya.

Bhima menegaskan negara-negara maju menanggung utang ekologis historis sejak revolusi industri, ketika mereka mengekstraksi sumber daya dan membangun ekonomi berbasis emisi tinggi. Namun hibah yang diberikan pun sering bersyarat, termasuk mewajibkan penggunaan teknologi dan konsultan dari negara pemberi sehingga tetap menguntungkan mereka.

Pemerintah Indonesia, menurut Bhima, mesti mengubah paradigma pendanaan iklim yang selama ini bergantung pada utang dan penjualan kredit karbon. “Pemerintah seharusnya juga berkomitmen untuk menagih utang pendanaan iklim kepada negara-negara maju tersebut. Ini bisa menjawab keadilan dalam sistem pendanaan iklim,” ujarnya.

Ia merujuk pandangan International Court of Justice bahwa negara yang mensponsori kerusakan ekologis wajib memberikan reparasi dan memulihkan kerusakan lingkungan. “Jika mereka terus melakukan perusakan lingkungan, mereka bisa dibawa ke mahkamah internasional,” katanya.

Sampai birokrasi pendanaan iklim diperbaiki dan utang ekologis dibayar, masyarakat adat dan kampung-kampung di garis depan krisis iklim tetap menanggung beban terbesar. Mereka menjaga alam, tetapi hanya menerima sisa dana yang seharusnya menjadi hak mereka.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pendanaan iklim ada, melainkan: sampai kapan masyarakat adat hanya menerima receh dari janji besar penyelamatan bumi? (*)

  • Penulis: Redaksi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Malut Kaya Kehati Rawan Perburuan, Butuh BKSDA

    • calendar_month Sab, 6 Nov 2021
    • account_circle
    • visibility 128
    • 0Komentar

    Lebah Raja salah satu keaneragaman hayati yang pernah menghebohkan ketika ada peneliti barat mempublikasikannya

  • Pemerintah Tetapkan Kawasan Konservasi Perairan PABISAY Halteng-Haltim

    • calendar_month Jum, 11 Jul 2025
    • account_circle
    • visibility 417
    • 2Komentar

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia resmi merilis penetapan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Patani – Bicoli – Pulau Sayafi yang disingkat Pabisay  18 Juni 2025 lalu.  Dikutip dari laman KKP. go.id tanggal 11 Juli 2025  keputusan  itu  telah ditandatangani secara elektronik oleh Menteri KKP Sakty Wahyu Trenggono. Di dalam SK itu diputuskan terkait beberapa […]

  • KKP Walidata Informasi Geospasial Lamun dan Terumbu Karang

    • calendar_month Sel, 22 Agu 2023
    • account_circle
    • visibility 176
    • 0Komentar

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerima mandat sebagai penyelenggara atau walidata informasi geospasial tematik (IGT) lamun dan terumbu karang di Indonesia. Sebelumnya mandat tersebut diselenggarakan oleh Pusat Riset Oseanografi, BRIN (LIPI). Terumbu karang dan padang lamun adalah ekosistem yang sangat  berharga bagi kelangsungan hidup laut dan manusia. Kekayaan alam ini memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan […]

  • Ini Hasil Kajian Kebutuhan Air Bersih Warga Kalumata

    • calendar_month Sab, 3 Apr 2021
    • account_circle
    • visibility 164
    • 0Komentar

    keran air. foto pixabay

  • Nelayan Tuna Morotai Terpukul Covid- 19

    • calendar_month Sen, 21 Sep 2020
    • account_circle
    • visibility 184
    • 0Komentar

    Penulis: Indah Indriyani Morotai Pandemi covid-19 menghantam hamper semua lini kehidupan. Tidak terkecuali masyarakat bawah seperti nelayan. Pandemic ini juga mengubah banyak hal dalam kehidupan. Termasuk nasib para nelayan. Di Desa Sangowo Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai,  nelayanikan tuna sangat terpukul akibat jatuhnya harga.  “Dampak pandemic covid-19 yang paling dirasakan nelayan yaitu harga ikan […]

  • Multiusaha Kehutanan, Konsep Berbasis Lanskap

    • calendar_month Jum, 17 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 189
    • 0Komentar

    Sungai dan hutan di Bokimoruru ii tidak bisa menjadi sarana wisata masyarakat Halmahera Tengah foto M Ichi

expand_less