Tumbuhnya Tambang, Tumbangnya Pulau
- account_circle
- calendar_month Jum, 30 Mei 2025
- visibility 396

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Pulau-pulau kecil di Indonesia telah lama menjadi ruang hidup masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupan pada laut, hutan, dan tanah. Namun, dalam dua dekade terakhir, pesona kandungan mineral yang terkubur di dalam perut bumi pulau-pulau itu menjelma menjadi kutukan.
Ekspansi tambang besar-besaran yang didorong oleh kepentingan ekonomi nasional justru mengancam keberlanjutan ekologis dan kultural masyarakat pulau. Fenomena ini menimbulkan ironi yang menyakitkan : tambang tumbuh, pulau tumbang dan mati.
Pemerintah Indonesia, dalam semangat pembangunan ekonomi, terus mendorong investasi sektor pertambangan sebagai tumpuan pertumbuhan daerah. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi landasan regulatif yang memungkinkan perusahaan besar masuk hingga ke pelosok pulau, termasuk pulau-pulau kecil di kawasan timur Indonesia.
Sejak saat itu, pulau-pulau di Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara mulai berubah wajah menjadi lahan-lahan tambang yang rakus sumber daya.
Dalam konteks Pulau Obi dan Halmahera di Maluku Utara, misalnya, ekspansi industri nikel menjadi titik balik ekologi pulau. Proyek-proyek nikel seperti di Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah yang telah menyerap ribuan tenaga kerja dan menarik investasi triliunan rupiah. Namun, di balik geliat ekonomi tersebut, terjadi degradasi lingkungan yang signifikan : hutan-hutan tropis dibabat, sungai-sungai tercemar limbah, dan wilayah tangkapan air laut menjadi rusak karena sedimentasi.
Data WALHI menunjukkan bahwa pada 2022 lebih dari 60% wilayah Halmahera Tengah telah dikapling izin tambang dan industri (WALHI, 2022: 18). Bagi masyarakat lokal, terutama masyarakat adat dan nelayan, hadirnya tambang bukanlah berkah. Justru, mereka kehilangan akses terhadap ruang hidup, mata pencaharian, dan identitas kultural. Dalam studi yang dilakukan oleh Vel and Zakaria, masyarakat Sawai di Pulau Seram dan warga Gane di Halmahera Selatan menunjukkan ekspresi kehilangan yang mendalam terhadap tanah dan laut mereka yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Mereka tidak hanya kehilangan ladang dan sungai, tetapi juga hubungan spiritual dengan alam yang telah membentuk identitas mereka selama berabad-abad (Vel & Zakaria, 2021: 44).
Lebih jauh, pembangunan industri tambang di pulau-pulau kecil melanggar prinsip keadilan ekologis. Menurut Vandana Shiva (2005), keadilan ekologis menuntut pengakuan atas hak komunitas lokal atas alam, dan penghentian eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang merusak kehidupan. Namun, logika ekonomi ekstraktif yang dominan justru menempatkan alam sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai entitas yang hidup dan memiliki hak. Pulau-pulau yang dulunya hijau dan lestari berubah menjadi lahan industri kotor yang hanya menyisakan debu dan luka ekologis.
Salah satu aspek paling menyedihkan adalah dampak terhadap air bersih. Di Pulau Gebe, misalnya, aktivitas pertambangan telah menyebabkan kontaminasi sumber air tawar yang menjadi andalan masyarakat pulau. Dalam laporan JATAM (2020), disebutkan bahwa air di beberapa desa menjadi keruh, berwarna kemerahan, dan tidak layak dikonsumsi (JATAM, 2020: 12). Ketika air, elemen paling mendasar bagi kehidupan, menjadi korban eksploitasi tambang, maka sebenarnya yang mati bukan hanya pulau, melainkan juga masa depan generasi yang tinggal di sana.
Selain itu, kerusakan lingkungan akibat tambang juga memperparah kerentanan terhadap bencana. Di banyak pulau kecil, deforestasi karena tambang menyebabkan longsor, banjir, dan erosi pantai yang membahayakan keselamatan penduduk. Dalam konteks perubahan iklim global, kondisi ini semakin mengancam eksistensi pulau-pulau kecil yang rentan tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Maka, tambang tidak hanya membunuh pulau dari dalam, tetapi juga mempercepat kehancurannya dari luar.
Solusi terhadap persoalan ini tidak cukup hanya dengan pengawasan atau regulasi ketat. Yang dibutuhkan adalah pergeseran paradigma pembangunan dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berbasis keberlanjutan dan keadilan ekologis. Masyarakat lokal harus dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan keputusan, dan hak-hak mereka atas tanah, laut, dan air harus dijamin secara hukum. Sebagaimana ditegaskan oleh Arturo Escobar (2008), pembangunan sejati adalah pembangunan yang berpihak pada kehidupan, bukan pada akumulasi kapital.
Pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia, khususnya Maluku Utara, bukanlah ruang kosong yang menunggu dieksploitasi, melainkan rumah bagi komunitas yang memiliki pengetahuan lokal, spiritualitas, dan sejarah yang panjang. Ketika tambang merampas semua itu, maka yang mati bukan hanya pulau, tapi juga kebudayaan dan kemanusiaan.[]
- Penulis:
