Selasa (18/8) Sore itu, Meisar Hi Ngole ngole (60) sedang memishkan ikan ngafi (teri,red) dengan jenis lain yang sudah kering dari tempat penjemuran. Ikan ini adalah hasil tangkapan suaminya yang turun melaut pagi akhir Agustus lalu. Hasil tangkapan hari itu tidak cukup tiga kilogram. Ini setelah dibagi dengan 8 nelayan lainnya yang ikut bersama suaminya. Meisar harus memisahkan ikan jenis lain dan kulit kerang yang ikut dijemur, karena jika dijual harus bersih dan tidak tercampur. Pekerjaan ini dilakoni Meisar setiap sore, setelah ikan ikan itu setelah dijemur.
Dia bercerita, suaminya turun melaut sejak subuh dan nanti pulang pada pukul 09.00 pagi. Saat melaut suaminya ikut melibatkan 8 sampai 10 warga nelayan desa itu. Hasilnya nanti dibagi bersama sesuai tangkapan yang didapat. “Yang ada ini tiga baskom kecil sudah dibagi dengan 8 nelayan yang turut serta melaut pagi tadi. Ini bagian kami,” katanya ditemui di tempat penjemuran ikan kawasan pantai Desa Kao.
Para nelayan ini menggunakan pukat menangkap ikan teri. Warga setempat menyebutnya dengan dengan Kofo. Sementara cara menggunakannya oleh warga menyebutnya dengan sinaro yang artinya menarik.
Diakui hasil tangkapan hari itu memang sedikit. Bagi nelayan setempat dianggapnya tidak dapat hasil meskipun sebenarnya ada. Ini karena hasilnya sangat sedikit. “Tergantung rizki, tidak selalu ada bahkan kadang tidak dapat apa- apa saat turun melaut. Har i ini hasilnya tidak cukup tiga kilogram,” katanya.
Dia mengaku, jika hasil tangkapan lagi melimpah stok ikan cukup banyak. Kalau hasil tangkapan melimpah sehari sampai bisa dapat 80 kilogram atau 7 sampai 8 karung. Bahkan sebulan bisa 1 sampai 2 ton ikan teri. Itu jika musim besar. Hasilnya begitu banyak. Meski begitu dia bilang, saat ini masuk paceklik ikan ngafi. Dia tak tahu kenapa bisa terjadi begitu. Yang jelas katanya, semua tergantung rizki. Kadang memang tidak dapat sama sekali. Jika musim paceklik dia dan suaminya berkebun. “Torang (kami,red) tidak hanya di laut. Jika keadaan ikan kosong balik ke kebun,” katanya. Di kebun mereka menanam tanaman bulanan atau memanen kelapa. Jika musim ikan teri lagi , bahkan berbulan-bulan selalu ada.
Ikan ngafi itu jika sudah kering akan diambil oleh pembeli yang datang ke Kao mereka dating dari berbagai tempat dengan harga Rp60 ribu/kilogram. Kadang jika harga ikan mahal sampai Rp70 ribu/kilogram. Sementara untuk harga di pasar bisa mencapa Rp100 ribu. “Ikan ngafi kami ini, diambil langsung oleh pembeli dari Lelilef Halmahera Tengah,”ujarnya. Pembelinya membawa ikan ikan ini ke perusahaan tambang nikel di daerah itu.
Pembeli juga katanya juga ada dari Tobelo, Malifut hingga dari Ternate.
“Ikan ikan ini tidak perlu kami bawa. Pembeli datang beli langsung di Kao,”imbuhnya.
Lalu bagaimana dengan kondisi hasil tangkapan ikan teri saat ini? Menurutnya, kondisi ikan ngafi sudah sangat jauh berbeda. Dengan semakin banyaknya usaha nelayan ikan ngafi juga semakin sulit di dapat. “Torang tara tau bikiapa ikan ngafi so kurang (kami tak tahu kenapa ikan makin berkurang,red).Yang jelas beda dengan 20 atau 15 tahun lalu. Dulu di dekat dekat kampung saja sudah melimpah. Sekarang mereka menangkap sampai dekat ke Tobelo,” ujarnya. Dia bilang kalau dulu ikan ngafi melimpah tapi seiring waktu hasil tangkapan terus turun. “Jelas beda dengan kondisi sebelumnya,” katanya.
Hal senada diungkapkan warga Kao Lukman Langga. Dia bilang kondisi 20 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang. Dia mencurigai kehilangnya hutan mangrove diduga ikut mengancam kondisi ikan dan udang. “Dulu udang laut dan teri melimpah. Orang hanya pakai jala dapat udang sangat banyak. Tapi sekarang sudah sangat susah. Orang menggunakan berbagai macam alat tangkap tetapi ikan dan udang makin susah, ,” jelas Lukman Langga yang juga Ketua kelompok kebun rakyat bibit mangrove desa Kao Halmahera Utara, Selasa (18/8) lalu.
Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe mengatakan memang kondisi hasil tangkapan nelayan ikan ngafi saat ini sudah sangat jauh berbeda. Nelayan yang mayoritas menggunakan jaring jenis kofo itu, hasil tangkapannya sudah sangat jauh berbeda. Ini fakta yang terjadi dialami nelayan di desanya. Penurunan hasil tangkapan itu sangat nyata. Senada dia juga mencurigai adanya kerusakan hutan mangrove di desa ini menjadi penyebab utamanya. Dulu hasil ikan ngafi dari Kao ini melimpah.
“Dulu banyak ikan karena hutan mangrove yang menghiasi Tanjung Boleu dan kawasan pantai di Kao ini masih banyak. Ikan menjadikan hutan mangrove itu untuk berkembang biak. Sekarang mangrove habis. Ya ikan juga semakin berkurang,” katanya.
Karena itu bagi dia yang perlu dilakukan itu memperbaiki hutan mangrove agar tempat perkembangbiakannya juga kembali ada. Karena itu tak ada alasan lain perlu mengembalikan hutan mangrove di desa ini.
Bagaimana dengan isyu tambang dan limbah yang ikut memengaruhi kondisi ikan teri di kawasan ini? Menurut Rahmat, sebelumnya berkembang isyu seperti itu. Bahwa ada dampak akibat aktivitas pertambangan. Tetapi menurutnya, tidak bisa bicara itu karena butuh riset untuk membuktikannya. Bagi dia, soal ini butuh riset mendalam. Yang ada di depan mata ini menurut dia, perlu ada perbaikan hutan mangrove di desa Kao agar menjadi tempat berkembang biaknya. “Saat ini tidak hanya ikan teri yang berkurang. Udang di teluk Kao juga semakin susah didapat,” ujarnya. Dulu kata dia udang melimpah tetapi sekarang untuk mendapatkannya sudah sulit. Padahal dulu orang hanya menggunakan jala bisa mendapatkan udang puluhan kilo. Sekarang menggunakan jaring besar juga kadang hasilnya nihil.
Rusaknya hutan mangrove di desa ini karena eksploitasi manusia. Sejak dulu warga setempat memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar untuk memasak bahkan untuk dijual. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, Pemerintah Desa Kao didukung berbagai pihak membuat peraturan desa (Perdes) No.03/2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup.Perdes ini melindungi mangrove yang ada di desa ini. (*)
CEO Kabar Pulau