Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjukan pukul 07.25 WIT. Jumat (19/2) pagi itu, Rin Bodi (49) dan suaminya Lius Popo (57) sudah meninggalkan rumah menuju kebun dan dusun kelapa yang berada kurang lebih 3 kilometer dari desa Podol Kecamatan Tabaru Kabupaten Halmahera Barat. Podol sendiri adalah satu dari 16 desa di kecamatan Tabaru yang didiami masyarakat Tobaru atau warga setempat menyebutnya dengan Tabaru.
Sekadar diketahui, kelompok masyarakat Tobaru adalah salah satu suku asli Halmahera yang mendiami sebagian besar Halmahera Barat, beberapa desa di Halmahera Utara dan Halmahera Selatan. Kehidupan mereka tergantung pada hutan untuk berkebun tanaman pangan dan perkebunan.
Keduanya berangkat sejak pagi karena selain mengumpulkan buah pala yang jatuh jika sudah matang, juga ada kebun yang tak jauh dari dusun kelapa dan pala itu ditanami padi perlu diperiksa tiap pagi. Kebun seluas ¼ hektar yang ditanami padi itu mulai berisi. Warga menyebutnya padi mulai bunting, setelah lima bulan ditanam. Rin dengan saloi (alat angkut barang,red) saat ke kebun, membawa parang dan air putih. Bekal air ini cukup karena siang akan balik lagi ke kampung. “ Pagi pagi kami sudah harus ke kebun karena selain kuatir binatang yang merusak tanaman juga harus bekerja sejak pagi agar sebelum terasa panas di siang hari kerja sudah bisa selesai,” katanya saat ditemui di lahan kebunnya.
Rin menamam padi dari sumber benih lokal yang ditanam turun temurun masyarakat Tobaru. Di kebun itu selain padi juga ada pisang dan jahe.
“Padi ini ada nama lokalnya tapi orang di sini biasa sebutnya dengan padi alus,”kata Rin. Padi jenis ini ditanam sebanyak tiga kulak. Ukuran satu kulak itu sekira 8 cupak atau kaleng susu. Padi yang mulai berisi jika diamati ternyata terlihat ada banyak jenis. Ada juga padi pulut hitam dan merah ikut tercampur,” katanya.
Padi-padi ini bisa dipanen sebulan lagi awal April in.
Di masyarakat Tobaru dan berlaku bagi petani padi ladang Maluku Utara, menganggap ada pantangan ketika padi mulai berisi lalu ada orang menebang pohon atau memanen buah kelapa yang jatuh dan menghasilkan bunyi sangat kuat dekat kebun. Hal ini diyakini dapat menyebabkan padi mengalami puso atau gagal panen karena tidak berisi. “ Keyakinan masyarakat seperti itu jika padi sedang berisi kita tidak bisa menebang pohon atau menimbulkan bunyi yang sangat ,” jelas Rin. Karena itu saat kami datangi kebunnya tak berani masuk sampai ke tengah kebun.
Rini juga bercerita di kebun yang ditanami padi itu, saat pembersihan lahannya dikerjakan sendiri. Menebang pohon dan semak belukar kemudian dibersihkan dan ditanam padi ladang.
Suaminya sibuk mengurus panen dusun kelapa dan pala. Lahan ini sebenarnya bekas kebun yang sebelumnya sudah pernah dibuka dan belum ditanami tanaman tahunan. Di sebelah kebun padinya masih ada lahan yang disisakan lahan berhutan yang belum dibuat menjadi kebun. Nanti musim tanam padi berikutnya akan dibuka lagi untuk ditanami padi. Sementara lahan yang sudah ditanami padi itu akan diganti pisang, serta tanaman tahunan seperti pala dan kelapa.
Padi milik Rin memang tidak seberapa. Tetapi ini adalah bagian dari tradisi orang Tobaru yang setiap tahun menanam padi, tidak hanya untuk dimakan tetapi bagian dari kebutuhan berbagai ritual, syukuran dan acara -acara adat.
Di masyarakat Tobaru kadang hutan dibuka menjadi kebun dan hanya sekali ditanami padi, kemudian dibiarkan menjadi hutan sekunder. Praktek ini sebenarnya, dilakukan juga sebagian besar suku suku asli di Halmahera dan Maluku Utara umumnya. Mereka menyebutnya Jorame. Jorame ini akan dibuka lagi 10 sampai 15 tahun berikutnya untuk dibuat kebun dan ditanami padi lagi atau tanaman pangan lainnya.
Sama seperti kebun yang dikelola Rin, sebelumnya adalah jorame yang dtinggalkan sekira 15 tahun lalu dan dibuka untuk ditanami padi.
Praktek ini sebenarnya biasa dilakukan warga di Halmahera untuk mengembalikan kesuburan tanah kebun.
Rin bilang kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan antara hutan dan berkebun. Kebun menjadi sumber penghidupan tak hanya untuk mendapatkan uang tetapi sebagai tempat menghasilkan pangan.
Pentingnya kebun dan hutan itu, maka orang Tobaru memiliki pegangan hidup yang dikenal dalam bahasa local mereka dengan “Obongana gena mia wawango ma ugulu ka gengino o orasa nena si ado-ado nika o ngoka deo dononguku.
Yang artinya “hutan itu sumber hidup kami dari dulu, sekarang hingga anak cucu. Kalimat bijak ini menjadi dasar masyarakat adat Tobaru di Kabupaten Halmahera Barat melaksanakan aktivitas bertaninya.

Gotong Royong Dalam Berkebun
Bicara tradisi berkebun dan memperlakukan alam terutama hutan, oleh masyarakat adat Tobaru nyaris sama dengan suku- suku asli Halmahera yang lain.
Mereka selalu mempercayai alam punya kekuatan. Karena itu dalam membuka lahan baru, dijalankan dengan prosesi dan ritual. Meski diiakui di kalangan orang muda hal ini sudah mulai ditinggalkan tetapi kalangan orang tua- tua masih memegang teguh dan sering mempraktekkannya.
Dalam usaha saling membantu, orang Tobaru juga punya tradisi yang dijaga turun temurun ketika membuat kebun.
Masyarakat Tobaru punya tradisi gotong royong yang disebutnya dengan Wange Mia Makakaesa atau saling membantu membuat kebun.
Wange Mia Makakaesa ini dilakukan atau berlangsung sejak membuka lahan sampai menanam hingga panen. Semuanya dilakukan secara bergotong royong. Mereka biasanya berkelompok antar warga sekampung atau juga dilakukan di lingkar keluarga inti saja.
“Tradisi ini masih hidup di tengah masyarakat hingga saat ini,”jelas Tawas Tuluino Ketua Adat Tobaru Desa Togoreba Tua. Dia bilang, praktek ini tidak hanya untuk membuka kebun dan menanam hingga panen. Untuk kerja- kerja lain misalnya panen kelapa dan lain lain juga bisa diberlakukan.
Meski ada pergeseran karena sebagian sudah berbayar sebenarnya praktek saling membantu ini masih tetap hidup di tengah masyarakat.
Saat ini saling membantu ini juga sudah berkembang luas dengan membentuk kelompok yang bisa disewa untuk membersihkan atau menanam di kebun.
Biasanya orang yang membentuk kelompok itu ada tiga empat sampai puluhan orang. Mereka melakukan hal ini untuk sekadar mencari pendapatan tambahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain pendapatan utama dari menjual hasil kebun, dengan membentuk kelompok kelompok kecil ini memudahkan para petani dalam berkebun karena bisa disewa untuk pembersihan kebun.

Di kalangan Orang Tobaru sebagai komunitas masyarakat adat, juga sangat menjunjung tinggi nilai- nilai kekeluargaan. Slogan “nou po maka dora” yang artinya Kita semua saling menyangi dan membantu melekat erat dalam keseharian.
Istilah po maka dora sebenarnya dipakai dalam berbagai hal. Dalam hubungannya dengan berkebun lebih ini berhubungan dengan rasa sayang seseorang pada kerabat termasuk anak perempuan yang telah menikah dan keluar dari rumah orang tua. Karena sayang itu ketika lahan kebun yang sudah dibersihkan dan siap ditanam, bisa dibagi untuk ditanam bersama. Jadi ada satu bagian tanah yang sudah dibersihkan dan siap ditanam itu diberikan sebagian kepada orang yang disayang. atau dikasihi. Dalam istilah orang Tobaru dikenal dengan mongangaweka atau perempuan yang sudah kawin dan keluar dari rumah dan balik meminta sesuatu. Jika nanti dikasih maka kebun yang sudah dibersihkan juga diberikan kepada anak perempuan itu.
Biasanya lahan yang sudah bersih itu ditanam padi. Karena itu dora sebenarnya implementasinya dalam banyak hal termasuk dalam hal berkebun.
Membuka Kebun Baru
Dalam tradisi membuka kebun tahapan pertama dimulai dengan sodoaka atau potong tali dan kayu yang kecil-kecil atau o sodoaka. Setelah sodoaka lalu membersihkan rumputnya. Jika sudah selesai dilanjutkan dengan penebangan pohon pohon.
Kayu- kayu kecil itu dipotong potong setelah melewati tahapan penebangan menunggu musim panas untuk dibakar. Karena telah dihitung waktunya, dahan dan ranting yang kering dan siap dibakar itu memasuki musim panas atau kemarau. Dalam membakar lahan yang baru dibuka selalu dibersihkan batas agar api tidak merambat keluar. “Jadi arah membakar mengikuti arah angin dan dibakar dari pinggiran. Setelah melewati tahap bakar jika api terbakar keseluruhan akan bersih tetapi jika tidak bersih maka diangkat batang- batang yang tersisa atau disebut dengan Yokaagomo untuk dibakar ulang dengan ditumpuk di suatu tempat. Setelah melewati tahap tersebut lalu dibersihkan bahkan disapu bersih menggunakan salara atau sapu lidi dari dari daun enau. Jika sudah bersih selanjutnya dilakukan proses menanam padi. Biasanya untuk kebun yang baru dibuka dari hutan itu tanaman utamanya adalah padi.
Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Sastera dan Budaya Universitas Khairun Ternate Syafrudin Abdurahman menjelaskan, dalam beberapa studi terhadap masyarakat adat dan suku-suku asli di Pulau Halmahera menemukan adanya kemiripan di dalam aktivitas membuka dan menyiapakan kebun hingga menanam. Kemiripan itu juga ada pada tradisi masyarakat Tobaru, atau Tobelo Galela atau dikawasan Halmahera yang lain. Hanya menurutnya beda dalam penyebutan. Dia menconotohkan tradisi Tolagumi misalnya menjadi tradisi umum di Maluku Utara. Terutama untuk mereka yang membuka kebun baru. Dia mengakui tradisi tradisi lama yang hidup di tengah masyarakat petani, ketika masuknya agama berbagai ritual dan tradisi itu mulai hilang. Secara umum katanya berbagai ritual sejak membuka hutan membersihkan hingga menanam itu semua ada ritual dan hamper sama di semua daerah di Maluku Utara.
“Saya contohkan paling nyata di kalangan orang Tobelo Dalam, tradisi Gomatere itu sudah perlahan lahan mati karena masuknya agama kepada mereka,” jelas Syafrudin.
Dalam tradisi syukuran yang dilakukan kampung-kampung di Ibu termasuk di kalangan orang Tobaru, sebenarnya dulu adalah bagian dari tradisi atau ritual yang dipersembahkan kepada alam sebagaimana mereka yakini. Tetapi ketika ada keyakinan baru masuk kepada mereka kemudian bentuk ucapan syukur yang dipersembakan kepada alam itu beralih ke gereja misalnya. Karena hasil panen yang didapatkan dari hasil kebun itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Sementara tradisi lama mereka membuat ritual atau makan-makan yang dipersembahkan ke pohon-pohon atau tempat di alam yang dianggap punya kekuatan.
Hasil riset antropologi yang dilakukan, nenek moyang orang Tobaru sebenarnya hidup berpindah pindah atau nomaden seperti suku Tobelo Dalam, Hanya yang membedakan adalah area atau daya jelajah karena wilayah mereka terbatas. Tidak keluar dari zona mereka.
Dalam praktek lama ketika ada keluarga yang meninggal mereka akan berpindah meinggalkan tempat tersebut, termasuk ketika terserang wabah. Mereka percaya roh-roh orang mati masih hidup sehingga meninggalkan lokasi atau wilayah yang ditempati. Saat mereka berpindah selalu di malam hari. Tujuannya agar lalat sebagai sumber penyebar penyakit tidak mengikuti saat pindah. Sebab mereka tahu lalat itu menjadi sumber penyebar penyakit. “Nenek moyang suku suku asli ini sangat tahu lalat itu menjadi sumber penting dari penyebaran penyakit,” jelas Abdurahman yang focus riset antropologi kesehatan di beberapa kelompok masyarakat local di Maluku Utara itu.
Dia bilang lagi, beberapa risetnya di suku suku asli Halmahera menemukan jika ada kemiripan dalam hal praktek membuka hutan untuk berkebun menanam hingga jaga alam.
“Soal tradisi buka kebun baru dari hutan perawan, menanam hingga proses panen sebenarnya memiliki kemiripan untuk beberapa kelompok masyarakat di Halmahera,” tutupnya. (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Mongabay.co.id

CEO Kabar Pulau