Breaking News
light_mode
Beranda » Polmas » WALHI: Jangan “Jual” Halmahera dan Pulau Lainnya

WALHI: Jangan “Jual” Halmahera dan Pulau Lainnya

  • account_circle
  • calendar_month Kam, 17 Nov 2022
  • visibility 244

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara, bersama Koalisi Barisan Rakyat (KOBAR), menggelar aksi climate justice (keadilan iklim).   Aksi tersebut sebagai bagian dari respons terhadap pertemuan para pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali dan telah berakhir  pada Rabu (16/11/2022).  

Kampanye itu berlangsung Selasa (14/11/2022) di sejumlah titik, yakni Kediaman Dinas Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba, Land Mark,  dan Taman Nukila Kota Ternate . Aksi yang sebagai bentuk kampanye isyu keadilan iklim itu, turut membentangkan spanduk yang mengingatkan para pemimpin di Maluku Utara dan Indonesia di Jakarta,  agar tidak memberikan ruang seluas-luasnya bagi korporasi menghabiskan hutan dan lahan Maluku Utara. Spanduk besar bertuliskan Maluku Utara Tidak untuk Dijual itu bermaksud mengingatkan pemerintah dan elit politik untuk tidak jor joran memberikan izin tambang, perkebunan monokultur serta logging  yang akhirnya menyengserakan rakyat di Pulau Halmahera dan pulau lainnya.

Dalam aksi itu mereka membawa spanduk dan pamphlet bertuliskan sejumlah pesan agar izin yang diberikan jangan sampai mematikan kehidupan rakyat   di tingkat tapak. “Pemerintah hanya doyan berikan izin tambang tetapi abai kepada rakyat,” demikian tulisan sebuah pamphlet yang dibawa salah satu peserta aksi. Ada juga yang menulis dalam pamphletnya, Hutan Gundul karena Tambang Giliran Banjir Hujannya yang Disalahkan. “Berbagai pesan lingkungan ini disampaikan dengan harapan pemerintah dan elit tidak bebal melihat kenyataan atas kondisi ekologi Maluku Utara yang  makin miris saat ini,” teriak salah satu orator dalam aksinya.    

Sementara koordinator aksi   Justice Climate Julfikar Sangaji melalui rilis yang disampaikan ke media menyatakan bahwa, Maluku Utara sebagai sebuah provinsi kepulauan, daratannya  terbilang  kecil. Persentasenya hanya 21% daratan sedangkan 79% dikelilingi perairan atau lautan. Karena kecilnya daratan tersebut maka  seharusnya  pemerintah tidak membebani dengan mengeluarkan  berbagai jenisk izin  usaha, yang akan melahirkan  bencana alam dan kemanusiaan di masa depan.

Apalagi katanya,, usaha  usaha ekstraktif seperti tambang  menimbulkan daya rusak luar biasa. Kekuatiran itu, ternyata tidak membuat pemerintah daerah dan pusat memberikan perhatian.  Sebab  faktanya sudah lebih dari 2 juta haktare lahan di daratan telah dipetak petak dan  diberikan izinnya kepada  korporasi.  Pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat, Industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik emas, nikel, biji besi  massive hadir di berbagai pulau. Baik pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Kondisi ini membuat rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisakan kubangan.  Pemicu kehilangan hutan terbesar adalah tambang, sawit dan industri kayu,” jelasnya.

Kondisi ini bagi Walhi karena ada izin yang diberikan oleh pemerintah.  “Korporasi itu tidak akan membabat hutan apabila tidak ada “stempel legal” yang diberikan pemerintah,” cecarnya. Artinya kehancuran daratan Maluku Utara itu sebenarnya dalang utamanya    Pemerintah. Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut,   yang terancam limbah tambang.  Hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan. Belum lagi diperparah dengan krisis Iklim  yang membuat desa-desa pesisir terancam  tenggelam.

Fakta hari ini, bisa disaksikan di selatan Maluku Utara, rakyat di Obi terus menyaksikan setiap waktu  tegakan pohon tumbang dan tanahnya dikeruk PT Harita Group,  dan korporasi ekstaktif lainnya yang beroperasi di pulau-pulau tersebut.  Begitu juga di daratan Gane, di semenanjung selatan pulau Halmahera,  hamparan hutan primer termasuk  wilayah Kelola Rakyat dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman yakni sawit oleh PT Gelora Mandiri Membangun  anak Usaha PT Korea Indonesia (Korindo) Group.

Kawasan tambang PT IWIP Weda Halmahera Tengah foto M Ichi

Tidak luput, di Tengah hingga Timur pulau Halmahera pohon tumbang tanpa jedah mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif digali  oleh puluhan korporasi Nikel. Puluhan perusahaan tambang nikel itu kemudian menyuplay material  tanahnya ke PT IWIP (perusahaan asal RRT). Meski menimbulkan dampak lingkungan dan kemanusiaan yang begitu nyata,  kehadiran korporasi  disebut Pemerintah sebagai solusi kesejateraan. Alih-alih mendatangkan kesejahteran   dia menjadi nestapa bagi rakyat  dan lingkungan hidup. “Fakta di lapangan memperlihatkan, sungai mengalami pendangkalan  karena  adanya sedimentasi. Hasil kerukan tambang dengan jumlah   banyak masuk ke sungai membuat air  berubah warna  sepanjang waktu.  Burung-burung juga kehilangan rumahnya. Bahkan  banjir menjadi langganan. Di sisi lain angka kemiskinan terus tumbuh,” cecarnya.

Data Badan Pusat statistik (BPS) menyebutkan  sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak  dengan persentase tiap tahunnya  tidak kurang dari 21 ribu jiwa. Itu artinya kebijakan mendatangkan investasi menjadi  fatal. Kondisi ini tidak membuat pemerintah mencabut  izin usaha yang bermasalah itu  sebaliknya servis terhadap korporasi  diutamakan  ketimbang urusan rakyat. Ini nampak jelas melalui  status Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai Objek Vital Nasional (OVN) didapatkan PT IWIP dan PT Harita dari pemerintah.

Padahal operasi kedua perusahaan raksasa tambang tersebut hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tak akan pulih dalam jangka pendek.  Para pemimpin Negara-Negara itu  baru selesai  mengggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan tidak lebih pertemuan itu hanya memperparah situasi iklim Indonesia dan dunia.

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Perlindungan Sagu Tak Dilakukan, Perda Hanya Pajangan (3) Habis

    • calendar_month Sen, 8 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 317
    • 0Komentar

    Sejak dulu kampung-kampun g di Kabupaten Halmahera Tengah Maluku Utara memiliki banyak kebun sagu. Salah satu desa yang menjadi pusat sagu adalah Sagea dan Kiya di Weda Utara. Karena potensi itu, pemerintah daerah kemudian berpikir melindunginya setelah massivenya industri tambang masuk ke wilayah ini. Pemkab Halmahera Tengah  kemudian membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi pohon […]

  • Indonesia Luncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru di COP 30 Brazil

    Indonesia Luncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru di COP 30 Brazil

    • calendar_month Sen, 1 Des 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 57
    • 0Komentar

    BELEM, (19/11) – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup secara resmi meluncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru Indonesia pada COP 30 UNFCCC di Belém, Brasil, Senin (17/11). Dokumen ini memberikan arah kebijakan dan langkah terkoordinasi untuk melindungi, memulihkan, dan mengelola ekosistem karbon biru, yakni mangrove, padang lamun, […]

  • Temuan Ngengat Baru, Matikan Cengkih Petani

    • calendar_month Sen, 26 Feb 2024
    • account_circle
    • visibility 200
    • 1Komentar

    Kabar ini  menjadi warning bagi petani cengkih termasuk  di Maluku Utara.  Pasalnya ada temuan para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beserta tim Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi  Manado berhasil mengidentifikasi  tiga jenis ngengat baru. Ketiganya adalah Cryptophasa warouwi, Glyphodes nurfitriae dan Glyphodes ahsanae.  Seperti dikutip dari https://brin.go.id/press-release/117548/peneliti-brin-temukan-tiga-ngengat-jenis-baru-salah-satunya-patut-diwaspadai-petani-cengkeh, BRIN merilis bahwa awal 2024 ini  beberapa […]

  • Cerita Miris Warga Pulau Terluar Kota Ternate (2) Habis

    • calendar_month Ming, 10 Sep 2023
    • account_circle
    • visibility 338
    • 1Komentar

    Dari Ibu Hamil Melahirkan di Perjalanan hingga Menelpon Harus Jalan 9 Kilometer    Terlalu banyak yang mesti direkam dari perjalanan jurnalistik 4 hari di Pulau Mayau Kecamatan Batang Dua akhir Agustus 2023 lalu. “Sebagai kecamatan yang berada di pulau terluar memiliki banyak masalah. Soal air, jalan sarana komunikasi sarana kesehatan dan banyak lagi,” kata Plt […]

  • Cerita Anak Muda Tomolou Tidore Perangi Sampah

    • calendar_month Kam, 26 Nov 2020
    • account_circle
    • visibility 201
    • 0Komentar

    Buat Kampung  Bersih, Beri PAD Buat Kota Tikep Memasuki  kampong  Tomolou di Kota Tidore Kepulauan   dipastikan tidak akan menemukan sampah tercecer di jalanan. Begitu juga pantainya. Tidak ada lagi warga membuang sampah ke tepi pantai. Kondisi hari ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Di mana kebanyakan buang sampah ke laut dan pantai sebagaimana kebiasaan sebagian warga di Maluku […]

  • Bobato Adat Kie Goya, Jaga Hutan untuk Anak Cucu

    • calendar_month Kam, 28 Okt 2021
    • account_circle
    • visibility 278
    • 1Komentar

    Dikukuhkan  Saat Grand Launcing Suaka Paruh Bengkok Peranan perangkat adat dalam menjaga hutan dan lingkungan di daerah ini sangatlah penting. Ini demi  menjaga hutan dari berbagai ancaman,  gangguan    sehingga  tetap lestari.  Salah  satu  perangkat adat itu adalah  Bobato Adat Kie Goya  di Kesultanan Tidore Maluku Utara. Bobato Adat Kie Goya atau dikenal dengan Bobato yang […]

expand_less