Breaking News
light_mode
Beranda » Lingkungan Hidup » Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

  • account_circle
  • calendar_month Sel, 24 Jul 2018
  • visibility 170

Pemetaan kondisi terkini kawasan ekosistem mangrove, padang lamun (seagrass), dan kawasan pesisir di Indonesia diharapkan sudah ada pada 2019 mendatang. Proses mengungkap data terbaru itu, akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dengan menggandeng Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). (Mongabay.co.id http://www.mongabay.co.id/2018/07/19/indonesia-petakan-kembali-mangrove-untuk-karbon-biru/)

Kebutuhan pemetaan data terbaru itu, menurut Deputi IV Bidang SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kemenkomaritim Safri Burhanuddin sangat penting untuk diwujudkan, mengingat hingga saat ini Indonesia tidak memiliki data mutakhir. Padahal, dari ekosistem mangrove dan padang lamun, potensi untuk dijadikan karbon biru sangatlah besar.

“Kita sudah paham bahwa blue carbon ini besar sekali potensinya dari ekosistem mangrove dan padang lamun. Tapi, kita masih belum juga bisa memetakannya dengan lebih detil karena data mutakhir juga tidak ada,” ungkap dia disela gelaran Blue Carbon Summit 2018 di Jakarta, Selasa-Rabu (17-18/7/2018).

Untuk itu, Safri mengatakan, agar potensi yang ada itu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan alam, maka pihaknya berinisiatif untuk mulai melakukan pemetaan kembali. Dengan menggandeng LAPAN, dia optimis data yang dibutuhkan sudah tersedia paling lambat pada akhir 2018 ini. Lembaga negara tersebut dinilai bisa, karena mereka sudah memiliki teknologi satelit beserta sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

Walau tidak berani menyebutkan kapan karbon biru pada akhirnya akan menjadi bagian dari kebijakan Indonesia, namun Safri menyebutkan, data dari hasil pemetaan akan menjadi rujukan untuk membuat kebijakan berkaitan dengan karbon biru. Itu artinya, sebelum kebijakan dibuat, data mutakhir wajib disediakan lebih dulu.

Demi melancarkan upaya pemutakhiran data, Safri mengungkapkan bahwa Kemenkomaritim bersedia untuk mengucurkan anggaran sebesar USD200 ribu. Anggaran tersebut diambil dari dana grand yang berasal dari sumbangan Norwegia dan Denmark. Dia yakin, dengan dana sebesar itu, pemutakhiran data akan berjalan baik dan selesai maksimal pada akhir tahun ini.

“Sekarang kita manfaatkan LAPAN. Mereka punya data satelit dan banyak sarjana di sana. Kita tidak tahu berapa persen sebenarnya mangrove yang sudah rusak dan hilang. Itu yang akan kita cari dan petakan,” ujarnya.

Dari pemetaan, Safri berharap akan ada penjelasan detil tentang penyebab kerusakan mangrove yang luasnya terus menyusut dari waktu ke waktu. Selain itu, diharapkan juga ada pemetaan data terbaru berkaitan dengan ekosistem pesisir dan laut yang juga menjadi penopang utama dari karbon biru. Semua itu, menurutnya bisa dilakukan oleh LAPAN dan tepat waktu sebelum akhir tahun selesai.

Kebijakan Politik

Di tempat sama, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Sumantri Brodjonegoro mengakui kalau potensi karbon biru di Indonesia sangatlah besar. Tetapi, dia mengingatkan, walau secara teknis masih mungkin dilakukan, tetapi secara politik di Indonesia itu masih sangat sulit untuk diwujudkan. Untuk itu, perlu keterlibatan semua pihak untuk bisa menjadikan karbon biru sebagai sebuah kebijakan.

“Sekarang kita akan terus mendorong agar pihak yang berwenang di Indonesia untuk bisa terus bergerak. Sekarang, harus berani memulai. Sudah ditegaskan tadi kalau Kemenko (Maritim) menjadi leader untuk hal ini,” tutur dia.

Satryo mengatakan, berkaitan dengan data mutakhir untuk potensi karbon biru, memang harus dilakukan secepat mungkin karena kebutuhannya sudah ada. Tetapi, dia kembali mengingatkan, pihak yang berwenang untuk melakukan itu bukanlah AIPI, tetapi Kemenkomar beserta instansi negara lain yang berwenang.

Dia menyebutkan, pelaksanaan Blue Carbon Summit menjadi salah satu media untuk mempercepat proses itu. Dari pertemuan itu, masukan-masukan juga akan muncul dan ditujukan langsung kepada Pemerintah Indonesia yang hingga saat ini memang belum memiliki kebijakan berkaitan dengan pemanfaatan karbon biru.

Peneliti Senior Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso mengatakan, untuk membawa karbon biru menjadi bagian dari kebijakan Indonesia dalam upaya menurunkan emisi, itu bukanlah perkara gampang. Dia menyebut, perlu perjuangan ekstra untuk bisa menggolkan itu masuk menjadi kebijakan

“Masalahnya, saat ini kita semua paham. Makanya kita gelar pertemuan ini, dengan tujuan untuk membuat langkah lebih baru,” tutur dia.

Berkaitan dengan potensi karbon biru yang ada di Indonesia, Daniel menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar di dunia yang memiliki cadangan karbon biru. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut bahwa 50 persen cadangan dunia ada di Indonesia. Untuk itu, perlu kebijakan dari Pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan cadangan tersebut.

“Karbon biru itu sangat bagus dan seksi (isunya). Tetapi semua bergantung pada Pemerintah. Kita bisa jadikan itu sebagai pemecah persoalan untuk penurunan emisi,” sebut dia.

Direktur Umum CIFOR Robert Nasi tak membantah dengan pernyataan Daniel tersebut. Menurutnya, meski besar cadangannya, tetapi masih sulit jika harus memasukkan karbon biru dalam skema penurunan emisi. Penyebabnya, karena hingga saat ini penanganan terhadap permasalahan yang terjadi di ekosistem pesisir dan laut belum berjalan baik.

Meski demikian, Robert mengingatkan, karena Indonesia adalah negara dengan cadangan karbon biru terbesar di dunia, dia menyerahkan urusan tersebut pemerintah. Kalaupun mau, Indonesia bisa memutuskan untuk memasukkan karbon biru dalam komitmen pengurangan emisi nasional (NDC) dalam Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCC).

“Ada masalah besar di dalam ekosistem pesisir. Tapi Indonesia adalah negara penting karena memiliki cadangan terbesar. Untuk itu harus ada pemetaan karbon biru di Indonesia dan perikanan budidaya menjadi bagian tak terpisahkan dari pemetaan itu,” tuturnya.

 Simon Para Puka dan Afra Lusia Riberu bersama Kepala Desa Nuri dan anak muda yang peduli lingkungan pantai Desa Nuri, Kecamatan Ilbeura, Flores Timur, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Nol Program

Diketahui, pada 2010, Indonesia sudah menerbitkan Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBSC) untuk 3,2 juta hektare kawasan ekosistem pesisir dan laut. Tetapi, setelah itu, tidak ada satupun kebijakan nasional yang diterbitkan untuk mendukung IBSC. Dan akibatnya, tak ada satu pun program nasional yang fokus untuk melaksanakan di lapangan.

Sebenarnya, menurut Tonny Wagey dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), dari 2012 Indonesia sudah memiliki Peraturan Presiden RI No.73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan EKosistem Mangrove. Sayangnya, Pepres tersebut tidak diturunkan dalam peraturan lain yang bersifat teknis. Itu juga yang menjadi masalah dan saat ini sedang berusah dipecahkan.

Menurut dia, yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat peraturan turunan dari Perpres tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan di lapangan bisa lebih mudah dilakukan. Pembuatan kebijakan pendukung yang menjadi turunan dari Perpres tersebut, menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.

Kemudian, pada 2017 lahirlah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No.4/2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.

Dari Permen tersebut, ditargetkan rehabilitasi mangrove berjalan hingga dengan 2045 dengan target mencapai 3,49 juta ha. Untuk tahap pertama, rehabilitas berjalan pada 2017 dengan target seluas 1,69 juta ha.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Endang Sukara menanggapi  mandegnya pemanfaatan dan pengelolaan mangrove sebagai karbon biru di Indonesia. Menurut dia, persoalan karbon biru itu memang sangat kompleks. Hal itu, karena persoalan bukan hanya di mangrove saja, melainkan juga di pemegang kebijakan Negara.

Tak hanya itu, Endang mengingatkan, persoalan lain juga muncul di laut dengan hadirnya sampah plastik. Kata dia, Indonesia adalah salah satu negara penyumbang sampah plastik yang banyak di dunia. Fakta tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi Negara untuk menyelesaikannya. Jika ada program yang pantas untuk dilaksanakan, maka itu haruslah terintegrasi antara mangrove, sampah plastik, dan juga yang lainnya.  “Karena mangrove adalah yang paling reaktif menyerap karbon. Jadi, memang harus bergerak bersama,” pungkas dia.(*)

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Air Laut Coklat Kemerahan, Ikan Mati dan Warga Was-was

    • calendar_month Kam, 27 Feb 2020
    • account_circle
    • visibility 224
    • 0Komentar

    Warga Desa Sangapati  dinstruksikan  menghindari mengomsumsi ikan  mati massal karena dicurigai beracun. Sementara anak- anak  dan  orang dewasa, diminta  menghindari sementara waktu mandi di laut.   Warna air laut yang biasanya  bening menjadi coklat pekat kemerah- merahan  itu  ikut menyebabkan matinya berbagai jenis biota   di kawasan laut pulau Makeang  Halmahera Selatan  Maluku Utara. Peristiwa ini membuat […]

  • Perjuangkan Sungai Sagea, Aksi Warga Ricuh  

    • calendar_month Ming, 29 Okt 2023
    • account_circle
    • visibility 264
    • 2Komentar

    Warga Desa Sagea dan Kiya yang berada di lingkar tambang  kawasan industry  PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara menggelar aksi  Sabtu (28/10/2023) di Lipe Gate 3 PT IWIP, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah pagi tadi sekitar pukul 09.30 WIT. Aksi yang melibatkan massa yang datang dengan truk […]

  • Tiga Inovator Bisnis Dapat Penghargaan Econovation 2021

    • calendar_month Jum, 24 Sep 2021
    • account_circle
    • visibility 142
    • 1Komentar

    Tiga inovator bisnis terbaik mendapatkan penghargaan dalam program Econovation 2021. Penghargaan  itu dalam bentuk dukungan usaha pengembangan bisnis  yang diharapkan dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional khususnya selama pandemi Covid-19 serta tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya di sektor ketahanan pangan, edukasi dan kesehatan berbasis masyarakat. Penghargaan tersebut merupakan akhir dari rangkaian acara […]

  • Suara Kaum Disabilitas dari Ternate untuk Keadilan Iklim Dunia

    • calendar_month Ming, 31 Agu 2025
    • account_circle
    • visibility 507
    • 0Komentar

    Dampak perubahan iklim  bisa menghantam berbagai kelompok. Tidak hanya petani, nelayan, kaum buruh, perempuan dan anak-anak. Salah satu yang turut merasakan  hasil dari proses industrialisasi itu adalah kaum difabel/disabilitas. Sebagai kelompok yang memiliki kebutuhan khusus mereka sangat terdampak dengan  perubahan iklim yang terjadi saat ini. Apalagi untuk mereka yang berada di pesisir dan pulau-pulau seperti […]

  • Kolaborasi Dorong Perdes Pesisir dan Laut Kayoa

    • calendar_month Sel, 8 Sep 2020
    • account_circle
    • visibility 167
    • 0Komentar

    Pakativa- KPMK- Foshal- Pemdes Guruapin Kerja  Bareng   Perlindungan komprehensif untuk hutan mangrove dan pesisir laut sedang digagas bersama lembaga dan pemerintah desa Guruapin Kayoa Halmahera Selatan. Adalah Perkumpulan Pakativa, sebuah lembaga non pemerintah yang bergerak mengkampanyekan budaya, litrerasi dan ekologi bersama Komunitas Pencinta Mangrove Khatulistwa (KPMK) serta Forum Studi Halmahera (Foshal)   mendorong pembuatan Peraturan […]

  • Merekam Sunset di Oba Tengah Tikep

    • calendar_month Kam, 17 Jun 2021
    • account_circle
    • visibility 152
    • 1Komentar

    Momen matahari terbit dan terbenam memang menakjubkan. Apalagi, jika  berada di tepi pantai, atau puncak gunung. Tidak heran banyak orang mencoba mengabadikannya menjadi sebuah foto. Meski kelihatannya mudah, namun untuk dapat foto sunset  dan surise yang sempurna cukup sulit. Apalagi, kadang turunnya sunset cukup sulit diperhitungkan waktunya. Dibutuhkan momen yang tepat dan kesabaran menanti momentum. Memang  bukan fotografer handal, […]

expand_less