Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Malut » Begini  Kondisi Kepiting Kenari di Malut Saat Ini

Begini  Kondisi Kepiting Kenari di Malut Saat Ini

  • account_circle
  • calendar_month Sab, 2 Mar 2024
  • visibility 248

Salah satu hewan dilindungi yang hingga kini masih ditangkap diperjual belikan dan dikonsumsi dengan harga mahal adalah kepitng kenari atau nama latinnya  Birgus Latro. Hewan ini di Maluku Utara   bisa dijumpai di hampir seluruh pulau kecil  di sekitar kawasan ini.

Meskpiun tersebar hampir di seluruh pulau kecil di Maluku Utara, namun  i sudah dianggap langka dan telah dikelompokkan  kategori rawan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).   

Di Indonesia Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987 telah melindungi Kepiting Kelapa, namun usaha yang dilakukan baru sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan dilindungi. Belum ada upaya menetapkan suatu kawasan atau pulau sebagai kawasan konservasi bagi kelangsungan hidup kepiting jenis ini. 

Supian SP MSi Dosen dan Peneliti Kepiting Kenari pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universutas Khairun Ternate Di Maluku Utara, belum lama ini bilang, populasi hewan ini cenderung makin menurun karena penangkapan berlebih oleh penduduk. Hewan ini juga alami  degradasi habitat aslinya karena berbagai aktivitas masyrakat.

“Perburuan tak terkendali disebabkan tingginya nilai jual hewan ini. Di Maluku Utara, hewan ini dapat ditemukan di beberapa restoran dengan harga jual 250 ribu- 350 ribu per ekor. Sementara di Jakarta, bahkan diperjual belikan dengan harga Rp 750 ribu per ekor,” jelas Supian.

Supian dalam beberapa risetnya menemukan  kondisi ini diperparah dengan status hewan ini sebagai icon  kuliner di Maluku Utara.   Umumnya pengunjung yang datang dari Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya di Indonesia, selalu memesan hewan ini. Hal  itu yang membuat pembatasan penangkapan hewan ini sulit dilakukan. Yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan keberadaan hewan ini adalah dengan penangkaran sehingga dapat diperoleh generasi F2 yang dapat dimanafaatkan, termasuk dikonsumsi.

Dia bilang  hampir setiap tahun selalu ada kajian terhadap aspek potensi induk dan crablet, Biologi dan Reproduksi, Ekologi dan Genetik terhadap hewan ini. Kajian khusus terhadap aktivitas penangkapan sudah dimulai sejak dulu. Hasil pengamatan terkait penangkapan hewan ini menunjukkan pada  daerah-daerah tertentu, penangkapan hewan ini tidak megenal waktu dan selalu dilakukan setiap waktu. Meskpiun penangkapan terus dilakukan di beberapa  daerah, namun ada beberapa daerah juga yang sudah memberlakukan pelarangan penangkapan terhadap hewan ini, Misalnya di Pulau Sayafi – Liwo. Masyaralat Patani sudah meberlakukan pelarangan penangkapan terhadap hewan ini jika  diperjual belikan. Penangkapan masih diperbolehkan jika untuk konsumsi rumahan tapi dengna aturan yang ketat. Misalnya hanya boleh mengambil ukura-ukuran tertentu.

Di Pulau Sain, Uta dan Pulau Gebe, Penangkapan  hewan ini terus terjadi sampai saat ini. Penangkapan di daerah ini terjadi sepanjang waktu, Untungnya, masyarakat yang masih menangkap hewan ini sudah memberlakukan ukuran layak tangkap. Beberapa penangkap yang berhasil dimintai informasi, menyebutkan bahwa mereka hanya menangkap hewan ini yang berjenis kelamin jantan dan berukuran di atas 600 gram. Penentuan ukuran dan jenis kelamin tersebut didasarkan pada nilai jual di pasaran. “Menurut mereka, kepiting kelapa yang berukuran kecil tidak laku dijual dan  butuh waktu dan biaya memeliharnaya hingga boleh dijual sehungga mereka memilih ukuran untuk ditangkap.  Memang  tidak ada ukuran nominal khusus menghitung berapa banyak kepiting yang tertangkap di alam.Berapa dari yang tertangkap itu  dijual dan berapa yang dikonsumsi. Jumlah yang ditangkap bervariasi berdasarkan lokasi dan lamanya menangkap di alam,”jelasnya.

Sebagai contoh, sekali menangkap di Pulau Sain, mereka tinggal berhari-hari sampai dapat mengumpulkan berpuluh bahkan berates-ratus ekor baru mereka pulang.

Temuan Supian pada Desember 2023, sempat dijumpai penangkap di Pulau Sain berasal dari Kecamatan Pulau Gebe. mereka telah mengumpulkan 30 ekor kepiting yang mereka tangkap dalam kurun waktu seminggu. Dari pengakuannya,  masih akan  menangkap lagi sampai hasilnya mencapai sekitar 100 ekor. Target ini dikejar dengan  pertimbangan, sudah menghabiskan dana yang besar untuk berkunjung ke Pulau Sain yang jauh. Jadi harus mengumpulkan hasil tangkapan yang banyak agar tidak rugi.

Semua hasil tangkapan  dijual ke pengepul. Tidak ada aktivitas penangkapan khusus untuk konsumsi rumahan. Kepiting yang dikonsumsi di rumah hanya yang tertangkap secara tidak sengaja  

Dia juga bilang  kajian yang pernah mereka lakukan, hewan ini dapat ditemukan di hampir  semua pulau kecil di Maluku Utara. Sebagian juga ditemukan di daratan pulau Halmahera. Mulai dari Halmahera Tengah, hamlahera utara, Halmahera Selatan, Pulau Morotai, Pulau Gebe, Pulau Jiew, Uta dan Joi.

Soal  hasil kajian populasi, terindikasi hewan ini  makin terancam punah. Indikasinya adalah hasil tangkapan yang memiliki ukuran tubuh semakin kecil. Hal ini mengindikasikan dengan beberapa hasil tangkapan yang masih sangat kecil sudah ditemukan membawa telur. Ini berarti mereka melakukan percepatan perkawinan sebagai strategi memeprtahankan hidupnya akibat tekanan perburuan. Pada 2009 lalu misalnya masih ditemukan ukuran tubuh  kepiting beratnya 4 kg, namun saat ini, sangat sulit menemukan hewan ini dalam ukuran 3 kg.

Pemerintah sangat perlu didoorong  mengeluarkan aturan pemanfaatan  hewan ini. Melarang sepenuhnya mungkin sulit karena  sudah telanjur menjadi ikon kuliner. Sementara nilai tawarnya yang tinggi di pasaran.  Suli membendung penangkapannya oleh masyarakat.

Bagaimana pun sulitnya, sebagai hewan yang  terancam punah karena perburuan dan tingkat pertumbuhannya  lambat, harus ada upaya memeprtahankan populasinya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan selain penangkaran  perlu menetapkan ukuran layak tangkap dan layak konsumsi  hewan ini. Ukuran layak tangkap harus disesuaikan ukuran pertama kali matang gonad hewan ini.   Jadi hewan ini masih boleh ditangkap dengan syarat ukuran telah mencapai ukuran yang sudah pernah kawin sehingga diperkirakan sudah ada anak-anaknya telah dilahirkan sebagai pengganti induk. Berdasarkan kajian kami di 2015, ukuran pertama kali matang gonad kepaitng kelapa di Pulau Uta adalah ukuran berat 300 gram. Jika dibandingkan hasil tangkapan beberapa penangkap di Pulau Gebe ang jauh lebih kecil ukurannya dari ukuran 300 gram. Karena kondisi ini sangat dikhawatirkan 5-10 tahun ke depan populasi kepiting kenari/kelapa di Pulau Gebe akan sangat sulit didapatkan lagi. (mici)

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Tradisi Orang Tobaru Tanam Padi Lokal

    • calendar_month Sab, 6 Nov 2021
    • account_circle
    • visibility 249
    • 0Komentar

    Dua karung gabah teronggok di dapur Yosep Ugu (60). Gabah kering itu rencana diolah menggunakan mesin penggilingan padi di desa setempat.  Gabah padi   telah lama dikeringkan, tersimpan dalam karung dan baru dibawa ke kampung  sehari sebelumnya. “Di dalam gabah padi ini,  ada banyak jenis ikut tercampur. Ini sisa panen tahun lalu dan sampai sekarang belum  […]

  • Di Musyawarah IKAPERIK, Bahas Perikanan Malut dan Tantangan Era 4.0

    • calendar_month Ming, 24 Jan 2021
    • account_circle
    • visibility 132
    • 0Komentar

    Farid Terpilih Secara Aklamasi Ikatan Alumni Perikanan dan Kelautan (IKAPERIK) Universitas Khairun Ternate menggelar musyawarah memilih pengurus baru untuk masa jabatan 4 tahun ke depan Sabtu (22/1) kemarin.  Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Gamalama Hotel Sahid  itu, turut diisi dengan seminar bertema   “Perikanan Maluku Utara dan Tantangan Industri era 4.0” Beberapa pemateri penting turut hadir yakni […]

  • Ekowisata Cengkeh Afo, Padukan Sejarah dan Alam

    • calendar_month Jum, 29 Jan 2021
    • account_circle
    • visibility 361
    • 0Komentar

    Memasuki kawasan ekowisata Cengkeh Afo/foto m ichi

  • Masyarakat Adat Terancam  Program Biofuel

    Masyarakat Adat Terancam  Program Biofuel

    • calendar_month Sen, 17 Nov 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 66
    • 0Komentar

    Ikrar Belém 4x akan Sia-Sia bila Hutan dan Masyarakat Adat terus Dieksploitasi Bersama lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Climate Action Network (CAN), Greenpeace menolak “Belém 4x Pledge,” inisiatif guna melipatgandakan produksi bahan bakar berkelanjutan (biofuel) hingga empat kali lipat dalam satu dekade mendatang. Kepala Kampanye Solusi untuk Hutan Global Greenpeace, Syahrul […]

  • Kondisi Lingkungan Maluku Utara Butuh Perhatian

    • calendar_month Rab, 17 Jun 2020
    • account_circle
    • visibility 278
    • 0Komentar

    Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2020 ini mengambil  tema  “Time For Nature” yang mengajak  penduduk dunia menyadari bahwa makanan yang dimakan, air yang diminum, dan ruang hidup di planet yang ditinggali adalah sebaik-baiknya manfaat dari alam (nature) sehingga harus dijaga kelestariannya. Sayangnya apa yang didengungkan ini  berbanding terbalik dengan kondisi  saat ini.  Di Provinsi Maluku […]

  • Apa Kabar Deforestasi di Indonesia?

    • calendar_month Sen, 3 Jul 2023
    • account_circle
    • visibility 215
    • 1Komentar

    Pemerintah Klaim Turun  8,4 Persen Deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 turun 8,4% dibandingkan hasil pemantauan tahun 2020-2021. Deforestasi netto Indonesia tahun 2021 -2022 adalah sebesar 104 ribu ha. Sementara, deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha. Demikian rilis resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sebagaimana dimuat dalam situs resmi […]

expand_less