UU CK Digugat WALHI, Pemerintah Bersikukuh Lindungi Lingkungan Hidup
- account_circle
- calendar_month Sen, 1 Sep 2025
- visibility 239
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ajukan permohonan uji materiil klaster lingkungan Undang-Undang nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja pada 5 Juni 2025 lalu. Mereka minta Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut 13 pasal yang lemahkan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Mulya Sarmono, kuasa hukum Walhi, menjelaskan, secara umum terdapat dua aspek yang mereka mohon. Pertama, pemaknaan ulang atau pengubahan beberapa pasal. Kedua, meminta MK kembalikan pasal-pasal dalam Undang-undang 32/2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Total, ada 13 pasal yang Walhi persoalkan, beberapa berkaitan dengan pasal-pasal lain. Misal, Pasal 13b yang menyederhanakan izin lingkungan jadi persetujuan lingkungan. Akibatnya, terdapat penghapusan sejumlah ketentuan, seperti Pasal 38 dalam UU PPLH, yang mengatur mengenai izin lingkungan.
“Ketika pasal ini (38 UU PPLH) dihapus, masyarakat dan organisasi masyarakat sipil tidak punya ruang untuk menguji izin lingkungan, usaha maupun kegiatan lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup,” katanya setelah mengajukan permohonan.
Selain itu, Pasal 22 angka 3 UU Cipta Kerja mengganti Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) jadi tim uji kelayakan lingkungan. Tim ini terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli bersertifikat.
Sebelumnya, dalam UU PPLH, Komisi Amdal terdiri atas wakil dari unsur instansi lingkungan hidup, instansi teknis, pakar di bidang pengetahuan, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak dan organisasi lingkungan hidup. Perubahan itu menyebabkan tidak adanya mekanisme keanggotaan komisi Amdal, serta mekanisme penilaiannya.
“Sehingga ini semakin jelas penyempitan ruang publik untuk berikan masukan atau mengawasi kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.”
Pasal 22 angka 5 UUCK memperkuat penyempitan ruang publik itu. Karena hanya sebatas libatkan masyarakat terdampak langsung, tanpa peran serta pemerhati lingkungan hidup dan pihak yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Dalam permohonan uji materiil itu, Walhi juga meminta MK ganti pasal 22 angka 15 UUCK yang menyebut “perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila…”, menjadi “perizinan berusaha wajib dibatalkan apabila…”
“Kata ‘dapat’ artinya alternatif, tidak ada kepastian. Bisa batalkan, bisa tidak. Padahal ketika langgar prosedur dan lingkungan hidup, harusnya batal demi hukum. Artinya, pemerintah wajib batalkan izin lingkungan itu.”
Mulya katakan, UUCK juga tidak prioritaskan izin lingkungan sebagai produk kebijakan yang harus diawasi sejak awal. Soalnya, tidak ada lagi tim untuk awasi izin lingkungan, yang ada hanya tim pengawasan izin berusaha.
“Kalau modelnya seperti itu, ketika tidak diawasi dari awal, maka prinsip-prinsip pencegahan kerusakan lingkungan justru tidak berjalan. Karena dari awal harusnya ada pengawasan ketat.”
Selamatkan rakyat dan lingkungan
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, bilang, MK harus berkontribusi jamin keselamatan rakyat, tegakkan konstitusi, serta hindari potensi kerusakan lingkungan dan bencana di masa depan jika batalkan 13 ketentuan lingkungan di UUCK.
Baginya, tanpa koreksi penyederhanaan izin lingkungan jadi persetujuan lingkungan, maka Indonesia beralih dari negara hukum ke negara kekuasaan. Soalnya, penyederhanaan itu berdampak izin lingkungan tidak lagi jadi prasyarat izin usaha. Juga, menghilangkan mekanisme pencabutan izin usaha.
Dengan kembalikan ketentuan izin lingkungan, katanya, konstitusi akan mandatkan negara untuk tidak kesampingkan hak lingkungan dan hak manusia atas lingkungan, dalam keputusan-keputusan ekonomi.
Sebelum UUCK terbit, katanya, izin lingkungan yang batal akan otomatis membatalkan izin usaha. “Kalau dalam UU PPLH ketika batal izin lingkungan di pengadilan, seperti gugatan semen di Kendeng, maka IUP (Izin Usaha Produksi) batal demi hukum. Karena izin lingkungan jadi prasyarat izin usaha.”
UUD 1945 pasal 28h telah jamin hak setiap orang dapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara, pasal 93 UU PPLH menjamin hak setiap orang untuk ajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.
Frasa ‘setiap orang’, lanjutnya, harus bisa dimaknai tanpa batas geografis maupun lingkup izin usaha. Namun UUCK mereduksi hak setiap orang jadi sebatas masyarakat yang terdampak langsung dan menghapus pasal 93 UU PPLH.
“Kalau sebelumnya mau orang itu ada di dalam wilayah izin usaha atau tidak, karena perintah UU PPLH menyelematkan lingkungan kewajiban setiap warga negara, maka dia berhak lakukan upaya hukum. Nah di UUCK tidak boleh lagi. UUCK membangkang terhadap perintah konstitusi di Pasal 28h.”
Karena itu, dia berharap, dalam proses persidangan nanti, MK batalkan 13 ketentuan di UUCK demi kepentingan rakyat, bangsa, negara dan perintah konstitusi. “Jika 13 ketentuan di UUCK ini tidak MK batalkan, maka di masa depan pemerintah dibuat sibuk untuk tanggulangi kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan dan hadapi bencana.
Ragukan instrumen UU Cipta Kerja
Suci Fitria Tanjung, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, menyatakan, gugatan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan pada instrumen UUCK. Tahun 2022, misalnya, ketika debu batubara cemari udara Jakarta, salah satu perusahaan yang bertanggung jawab kena sanksi berupa 32 poin kewajiban untuk perbaiki pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, dalam kurun 90 hari, perusahaan hanya mampu penuhi 18 poin kewajiban. Sehingga, suku dinas lingkungan hidup berikan sanksi pemberatan lewat pencabutan izin operasional dan kosongkan stockpile.
Dia menduga, instrumen turunan UUCK, yakni pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup, jadi celah perusahaan kembali beroperasi. Hal ini kontradiktif dengan kemampuan perusahaan yang hanya bisa penuhi 18 dari 32 poin sanksi.
“Tetapi kemudian, ketika persetujuan dan izin itu diberikan kembali, kita boleh dong sanksi bahwa, kesanggupan itu bisa dinyatakan, sementara ada 32 poin yang dipenuhi tidak sampai 100 persen.”
Baginya, negara seharusnya menegakkan prinsip berdasarkan kepentingan rakyat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Karena itu, logika-logika kemudahan perizinan tidak seharusnya ada.
Sebaliknya, langkah yang harus pemerintah lakukan adalah melakukan pengawasan ketat terhadap perusahaan yang berpotensi timbulkan dampak lingkungan. “Kalau dipermudah, bagaimana kita lakukan perlindungan,” kata Suci.
Selain itu, Instrumen UUCK turut membuyarkan masukkan publik dalam pembentukkan peraturan daerah (Perda). Sebelum ada UUCK, Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) bisa jadi tameng untuk tolak reklamasi.
Soalnya, RZWP3K tidak memberi ruang untuk proyek-proyek reklamasi di Jakarta. Tapi, terbitnya UUCK mengharuskan integrasi RZWP3K dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang kemudian menganulir partisipasi masyarakat dalam lindungi lingkungan.
“Sebelum UUCK Jakarta sudah sedemikian rupa punya tantangan lakukan advokasi kepada pemerintah untuk kelola lingkungan secara baik, terus ada UUCK kita seolah-olah tidak punya negara untuk lindungi rakyatnya.”
Padahal, lanjutnya, kontrol masyarakat terhadap kebijakan merupakan bentuk partisipasi paling tinggi. Kehadiran UUCK yang mereduksi kontrol masyarakat bikin upaya-upaya perlindungan lingkungan alami kemunduran luar biasa. (Mongabay.co.id)
Pemerintah Bersikukuh Komitmen Perlindungan LH
Sementara itu Pemerintah mengaku berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup. Hal ini disampaikan dalam persidangan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono hadir mewakili Pemerintah untuk membacakan Keterangan Presiden dalam sidang yang digelar pada Senin (25/8) lalu di Jakarta, dengan Majelis Hakim Konstitusi yang terdiri dari Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, Ridwan Mansyur, Arief Hidayat, dan Arsul Sani.
Dalam keterangannya, Pemerintah menegaskan bahwa perubahan dalam UU CK dirancang untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan efektivitas tata kelola tanpa mengurangi substansi perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah juga menilai dalil pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena kerugian yang diklaim bersifat asumtif dan tidak aktual.
“Pemohon tidak menguraikan secara konkret kerugian spesifik yang dialami secara langsung oleh Pemohon sebagai sebuah entitas badan hukum privat. Kerugian yang didalilkan lebih merupakan asumsi mengenai dampak negatif di masa depan, bukan kerugian aktual atau yang dapat dipastikan akan terjadi,” kata Wamen Diaz.
Terkait isu partisipasi publik, Pemerintah menjelaskan bahwa mekanisme yang ada tidak direduksi melainkan difokuskan pada masyarakat yang terkena dampak langsung, sehingga masukan yang diterima lebih relevan dan substantif. Keterlibatan lembaga pemerhati lingkungan tetap diakomodasi melalui mekanisme lain, seperti penyampaian saran pada tahap pengumuman maupun penilaian dokumen Amdal.
Perubahan nomenklatur dari “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” juga dipaparkan sebagai langkah penyederhanaan dan perwujudan tata kelola yang baik (good governance). Pemerintah memastikan bahwa perlindungan lingkungan tetap menjadi syarat mutlak dalam setiap kegiatan usaha.
“Sebuah kegiatan usaha tetap wajib memiliki persetujuan lingkungan yang terbit setelah dinyatakan layak lewat mekanisme Amdal dan UKL-UPL yang ketat, tanpa adanya lampu hijau dari aspek persetujuan lingkungan, perizinan berusaha tidak akan pernah diterbitkan,” jelas Wamen Diaz.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim meminta penjelasan tambahan dari Pemerintah, termasuk justifikasi komprehensif mengenai tumpang tindih regulasi yang menjadi alasan revisi UU CK, serta data perbandingan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah implementasi kebijakan baru. Hakim Enny Nurbaningsih menekankan perlunya uraian detail mengenai ‘obesitas’ regulasi yang menjadi dasar perubahan.
Majelis Hakim juga menyoroti pentingnya keterlibatan tenaga profesional bersertifikat dalam proses uji kelayakan, serta kekhawatiran atas potensi kemunduran dalam hukum perlindungan lingkungan hidup. Hakim Arief Hidayat mengingatkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup bukan hanya soal kepentingan masa kini, tetapi juga menyangkut keadilan antar generasi.
“Pengelolaan LH menyangkut keadilan antar generasi, kalau kita salah sekarang, dosanya tidak hanya kita tapi [sampai] masa depan,” ujar Arief.
Menanggapi seluruh masukan, Pemerintah diminta menyiapkan keterangan tambahan secara tertulis untuk sidang lanjutan pada Selasa, 2 September 2025, yang juga akan menghadirkan keterangan dari DPR serta dua orang ahli dari pihak pemohon.
- Penulis:
