Dampak Perubahan Iklim di Ternate, Kota Pesisir dan Pulau Kecil (1)
- account_circle Redaksi
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 18

Banjir-bandang Kelurahan Rua Ternate Agustus 2024 foto-bnpb
Banjir dan Longsor Berulang hingga Nelayan Terus jadi Korban di Laut
Hari jelang sore di Rabu (17/9/2025) itu, Salma M Arif dan suaminya Ongen Ramli warga Kelurahan Rua Kecamatan Pulau Ternate, berada di dalam rumah. Mereka baru saja pulang ke rumah setelah aktivitas di luar. Sore itu, berawan mesti seharian tidak terjadi hujan. Tiba-tiba mereka dikejutkan teriakan warga agar segera keluar dari rumah mengungsi menjauhi area barangka atau kalimati. Warga sekitar kuatir tiba-tiba banjir turun dari daerah gunung mengikuti, barangka yang dulunya jalan lahar.
“Memang di kampong tidak terjadi hujan tetapi ada kemungkinan di puncak hujan lebat membuat air masuk barangka sangat banyak kemudian turun membawa material batu pasir,”kata Ongen.
Bagi Salma dan Ongen kejadian ini sangat menghkawatirkan karena rumah mereka di atas bukit tak jauh dari sebuah kali mati kecil yang berjarak kurang lebih 15 meter. Karena kuatir terdampak air meluap dari kali mati di samping rumah jadi mereka ikut panik. Hanya saja memilih belum keluar rumah.
“Teriakan warga itu Torang (kami,red) panic. Memang trauma karena kejadian hujan dan banjir di kelurahan Rua ini sudah berulang kali bahkan menimbulkan korban jiwa tidak sedikit seperti pada 20204 lalu,”kata Salma ditemua di rumahnya akhir Oktober lalu.
Tidak hanya Salma dan suaminya, cerita Rifandi B Lutfi warga Kelurahan Rua di RT 02 juga sama. Dia bilang sore itu, sedang menjaga kiosnya di tepi jalan raya pulau Ternate. Dia dan warga sekitar tak menyangka banjir datang tiba- tiba. Padahal di kampong tidak terjadi hujan.

Proses pencarian korban yang tertimbun material saat banjir bandang di Rua Ternate 2024 Foto BNPB
Rumah Rifandi berjarak kurang lebih 20 meter dari kali mati terlihat sudah banjir dengan suara air dan material batu pasir yang terbawa, membuat dia dan keluargnya panik. Dia terpaksa ikut mengungsi ke tempat yang dianggap aman di kelurahan Rua untuk hindari hal-hal yang tidak diinginkan.
”Trauma warga kelurahan Rua ini luar biasa. Jadi kalau sudah hujan semua bersiap-siap menghindari kemungkinan banjir yang terjadi,” katanya akhir Oktber lalu.
Fandi ia biasa disapa, sangat kuatir karena kondisi rumahnya berada tidak jauh dari kali mati. Dia bilang kejadian itu berulang. Banjir 17 September 2025 kemudian terulang lagi pada 19 September. Saat banjir turun dari gunung volume air besar dan ada bau belerang. Artinya ada material dari gunung Gamalama yang kemungkinan ikut terbawa dalam banjir tersebut.
Topografi kelurahan Rua memang sangat rawan banjir dan longsor di saat hujan. Kampung ini rumah- rumahnya berada di perbukitan. Sementara di kawasan puncak belakang kampong ada jalan lahar yang membentuk kali mati dan masuk ke kampong. Di belakang kampong Rua menurut Rifandi ada kali mati besar yang turun dari kelurahan Foramadiahi di kawasan puncak,sampai belakang Kampung Rua. Jalan lahar besar terbagi menjadi 8 kalimati tanpa air yang membelah Rua. Banyaknya sungai tanpa air itu saat hujan seperti sekarang membuat, warga selalu awas dan waspada banjir selalu mengintai.

Banjir yang tiba tiba turun dari gunung saat hujan lebat di puncak Kelurahann Rua pada 19 September 2025 lalu, foto membuat panik warga hingga sebagian mengungsi, foto Rifandi
“Cukup banyak kali mati dari gunung turun ke Kelurahan Rua. Kalau kami hitung dari yang besar hingga yang kecil ada 8 dan itu bersebelahan dengan rumah-rumah warga,” jelas Rifandi.
Soal banjir di Kelurahan Rua memiliki sejarah panjang. Data tujuh tahun terakhir menunjukan kejadian berulang. Sejak 2017 lalu hingga 2025 ini banjir masih tetap terjadi. Pada 23 September 2017 terjadi banjir di yang disebabkan meluapnya air kali mati Akemalako di RT 4. Dalam kejadian itu rumah yang terdampak banjir ada 52 unit, termasuk satu sekolah dasar, kantor kelurahan dan Gedung Waserda. Pada 01 juli 2020 terjadi lagi banjir di lokasi yang sama akibat hujan deras selama dua jam lebih mengakibatkan puluhan rumah terendam air. Kejadian paling memilukan terjadi Minggu (25/8/2024) sekira pukul 03.30 WIT.
Banjir bandang yang memakan banyak korban karena terjadi pagi subuh ketika warga terlelap tidur. Ini setelah Sabtu (24/8/2024) hingga Minggu (25/8/2024) pagi terjadi hujan dengan intensitas cukup tinggi.
Data yang dikumpulkan dari Stasiun Meteorologi Sultan Baabullah Ternate waktu itu, menunjukan intensitas curah hujan diperkirakan 75 mm. Namun ada intensitas yang mencapai 50 mm/jam pada saat puncaknya. Kondisi ini juga sama dengan rilis Stasiun Meteorologi Sultan Baabullah–Ternate bahwa ada potensi cuaca ekstrim di wilayah Maluku Utara periode 22 Agustus – 27 Agustus 2024.
Kejadian ini melanda RT 01-RW 01 Kelurahan Rua, Kecamatan Ternate Pulau yang diapit dua barangka (kali mati,red) yakni Ake Rua 1 dan Ake Rua 2. Paling parah di kali Ake Rua 1 karena seluruh material yang turun dari daerah puncak berupa tanah, lumpur bercampur pasir dan batu masuk kali kemudian meluber keluar dan menghantam rumah di bantaran kali. Material berasal dari puncak gunung Gamalama yang dikenal masih aktif .
Akibatnya, jejeran rumah di tepi kali mati hancur. Rumah yang berjarak agak jauh dari kali mati juga ikut terdampak. Sebagian besar rumah tertutup lumpur tebal yang dibawa banjir. Kurang lebih seratus meter ke arah barat dari jalan raya di kelurahan itu, lumpur bercampur material batu menutup rumah mencapai satu meter. Kejadian ini menyebabkan 19 warga tewas. Hal inilah yang menimbulkan trauma mandalam di masyarakat Kelurahan Rua dan sekitarnya. “Warga selalu waspada jika hujan terjadi,”ujar Rifandi.

Peta kali mati yang-terhubung ke puncak Gamalama foto-IAGI
Ketua Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara Abdul Kadir Arif menjelaskan, terkait banjir di Rua Ternate, memiliki hubungan erat dengan kondisi geologinya. Hal ini karena di daerah hulu tidak ada bukaan lahan yang massif untuk pemukiman.
Secara geologi daerah Rua itu masuk fase gunung aktif Gamalama tua. Artinya di tahun-tahun yang lalu pernah menjadi salah satu lokasi yang mendapatkan material vulkanik hasil letusan gunung berapi. “Kalau kita lihat lagi kejadian di Rua, yang pertama memang ketika hujan sedang dengan durasi lama ada material sedimen hasil vulkanik di hulu terbawa turun ke bawah sehingga memicu banjir bandang,” katanya.
Satu hal yang digarisbawahi, tidak ada perubahan lanskap penggunaan lahan yang massif. Artinya ini betul-betul menjadi fenomena secara geologi di mana ada curah hujan tinggi dan material sedimen di hulu sudah tidak mampu menampung materialnya, secara perlahan bergerak turun sampai titik kejadian seperti terjadi pada 2024 lalu.
Daerah Rawan Bencana di Kota Ternate Sesuai RTRW
Jika menilik lebih jauh kejadian bencana banjir yang berulang baik kasus Tubo dan Rua beberapa waktu lalu, sebenarnya sudah diatur dalam dokumen pembangunan pemerintah yakni Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate sebagai kawasan rawan bencana.
Dokumen itu sudah mencantumkan jelas wilayah-wilayah mana yang tingkat kerentanan bencananya sangat tinggi, sedang hingga rendah sehingga perlu mendapatkan perhatian, awas dan bahaya.
Dalam Paragraf 6 RTRW mengatur tentang Kawasan Rawan Bencana Alam. Dalam pasal 20 huruf f, terdiri atas : a. Kawasan rawan bencana gempa; b. Kawasan rawan tanah longsor; c. Kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami; d. Kawasan rawan banjir; dan e. Kawasan rawan bencana gunung api.
Kawasan rawan bencana gempa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di seluruh wilayah Kota Ternate yaitu Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Tengah, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Pulau Hiri, Kecamatan Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua.
Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di Pulau Ternate dengan luas total 40,58 Ha yaitu di Kelurahan Afetaduma, Dorpedu, Togafu, Kalumata, Ngade, Dufa-dufa, Akehuda (4) Tobona. Untuk Pulau Hiri dengan luas total 6,4 Ha di Kelurahan Tafraka, Mado, Faudu dan Kelurahan Tomajiko.
Kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat di Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Tengah, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Pulau Hiri, Kecamatan Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua.

Peta koneksivitas jalur sungai besar kecil terhadap kelurahan di Kota Ternate-foto-IAGI
Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdapat di Kelurahan Mangga Dua yaitu jalan raya Mangga Dua kurang lebih 0,11 Ha, Kelurahan Bastiong Talangame yaitu Kawasan Terminal dan Pasar Bastiong kurang lebih 0,21 Ha, Kelurahan Bastiong Karance yaitu jalan Raya Bastiong dan jalan Pelabuhan Fery kurang lebih 0,45 Ha, Kelurahan Gamalama yaitu jalan Pahlawan Revolusi dan jalan Boesori kurang lebih 1,25 Ha, Kelurahan Jati yaitu jalan depan Hotel Bela kurang lebih 0,24 Ha, Kelurahan Santiong yaitu di kawasan Kuburan Cina kurang lebih 0,12 Ha dan Kelurahan Mangga Dua kurang lebih 0,04 Ha.
Kawasan rawan bencana gunung api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas : a. Kawasan rawan bencana gunung berapi meliputi daerah rawan Tipe I, rawan Tipe II dan rawan Tipe III; Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan I dengan luas total 1028,29 Ha terdapat di Kelurahan Dufa-dufa, Tabam, Tubo dan Togafo, di kawasan aliran Barangka/kali mati di Kelurahan Kulaba, Bula, Tobololo, Takome, Loto, Taduma, Dorpedu, Kastela dan Toboko serta kawasan pada radius 4,5 Km dari kawah Gunung Gamalama;
Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan II dengan total luas 1525,18 Ha terdapat di sungai/barangka tepatnya di Kelurahan Sulamadaha, Sungai Togorara, Sungai Kulaba, Sungai Sosoma, Sungai Ruba, Sungai Telawa, Sungai Toreba, Sugai Piatoe, Sungai Taduma dan Sungai Kastela, Kelurahan Tubo, Tafure, Kulaba, Tobololo, Takome, Loto, Foramadiahi, Marikurubu (lingkungan air tegetege dan Tongole) dan Buku Bendera Kelurahan Moya, serta kawasan pada radius 3,5 Km dari kawah Gunung Gamalama. Kawasan rawan bencana gunung berapi kategori rawan III dengan total luas kurang lebih 1121,58 Ha terdapat di sebagian sungai Fitu, sungai Piatoe, Sungai Toreba, Sungai Takome, sungai Sosoma, Sungai Ruba, Sungai Kulaba, sungai Togorara serta kawasan pada radius 2,5 Km dari kawah Gunung Gamalama.
Isi dokumen ini tidak banyak diketahui public luas. Abdulkadir Arif menilai scope Maluku Utara termasuk kota Ternate isu- isu kebencanaan dan lingkungan dalam dokumen perencanaan pemeritah sebenarnya hanya jadi lembar pelengkap dalam sebuah dokumen. Perhatian mungkin diberikan ketika ada kejadian dengan dampak yang besar. Hal ini, kemudian dianggap menjadi urgen. Padahal ketika disadari saat kejadian, korban sudah berjatuhan. Karena itu ke depan perlu belajar dari kejadian yang sudah dialami ini. Terutama cara berpikir dan membangun bisa berubah.
Dia menyarankan BPBD sebagai leading sector agar maksimal bekerja karena selama ini seperti belum ada gerakan yang berarti. Dia berharap ada perhatian terhadap isu kebencanaan dan lingkungan tidak hanya saat kejadian tetapi juga tercermin dari program yang dijalankan terutama yang sudah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan telah disahkan. “Dalam dokumen Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Ternate saya juga turut boboti banyak menyangkut dengan kebencanaan ini,” katanya.
Anggota Komisi C DPRD Kota Ternate Junaidi A Bahrudin menjelaskan memang Pemkot belum menerapkan kebijakan kebijakan pembangunan yang responsif bencana. Di sisi lain informasi terkait daerah rawan bencana juga jarang diketahui masyarakat sehingga membangun rumah di kawasan-kawasan yang potensi bencananya tinggi juga marak. Sosialisasi regulasi ini dari pemerintah memang minim dilakukan. Ini sebenarnya jadi masalah serius,” katanya.

Peta Bencana yang terjadi di Kelurahan Rua pada Agustus 2024 lalu, foto FORDAS Kie Raha
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Fery Hamdani Wolley mengatakan dokumen risiko bencana sementara ini dibahas, jadi setelah itu baru disosialisasikan ke masyarakat.
Sementara menyangkut penataan tata ruang yang diatur dalam RTRW menurutnya merupakan tupokok dan fungsi Dinas PUPR. Karena itu BPBD selalau berkoordinasi untuk memberi edukasi ke masyarakat. “Edukasi selalu dilakukan terutama saat cuaca buruk seperti sekarang,” katanya. Dokumen kawasan rawan bencana sudah pernah disusun tetapi sudah kedaluarsa. Saat ini dokumen sedang di-review dan mendapatkan asistensi dari BNPB.
Penulis: Mahmud Ici
Tulisan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Linkungan (SIEJ) dalam fellowship Road to COP 30. Liputan ini focus menulis tentang dampak- dampak perubahan iklim yang dirasakan public di tingkat tapak
- Penulis: Redaksi
