Ambisi Transisi Energi Terbarukan Dibajak Pebisnis Energi Kotor
- account_circle
- calendar_month Sel, 7 Okt 2025
- visibility 175
Koalisi Transisi Bersih, yang terdiri sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Satya Bumi, Trend Asia, Sawit Watch, SPKS, Greenpeace dan Walhi, menemukan, pendekatan transisi energi di Indonesia tidak mengarah pada transformasi sistem tata kelola energi, melainkan hanya pada pergantian teknologi. Pendekatan yang tidak transformatif, bertemu dengan biaya proyek yang tinggi dan kejar target bauran energi membuat transisi energi cenderung menguntungkan pemain lama yang masih aktif melakukan bisnis energi kotor.
Bagi para organisasi masyarakat sipil ini, jelang satu tahun pemerintahan, Presiden Prabowo terus menjual ambisi transisi energi Indonesia dengan meminta percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkekuatan 80 – 100 gigawatt kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Istana Negara. Pernyataan tersebut memperkuat keinginan pemerintah mencapai 100% bauran energi terbarukan di 2060 yang disampaikan di Sidang MPR Agustus lalu. Namun, upaya transisi energi yang terus mengacu pada target bauran justru bermasalah dan jauh dari cita-cita hijau transisi energi.
Bisnis energi kerap dipandang sebagai bisnis padat modal yang dilakukan oleh korporasi besar, estimasinya mencapai Rp3.500 triliun. Padahal, pengelolaan energi adalah urusan komunal, tapi negara kerap belum menganggap masyarakat tidak perlu dan tidak bisa terlibat dalam tata kelola energi.
Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra dalam peluncuran riset terbaru Koalisi Transisi Bersih: Pemain Energi Kotor di Transisi Bersih di Jakarta, Senin (6/10/2025) menjelaskan, saat ini transisi energi sebagai urusan publik mengandalkan eksistensi korporasi besar dengan bisnis energi kotornya. Kerentanan korupsi dan pembajakan kebijakan berpotensi besar terjadi.
Enam Grup Usaha Industri Energi Kotor dalam Proyek Transisi Energi
Hasil riset mengidentifikasi enam grup usaha yang memegang peran besar dalam proyek transisi energi ternyata juga menjalankan bisnis energi kotor. Keenamnya adalah Barito Pacific, Adaro, Medco, Wilmar, Jhonlin dan Sinar Mas. Pola-pola kerja bisnis energi kotor yang dekat dengan perampasan lahan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan terus terjadi.
Di Kampung Cibitung, Pengalengan, Jawa Barat, satu kampung hilang akibat ledakan pipa Pebangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu milik PT Star Energy. PT Star Energy adalah perusahaan pengelola geothermal yang diakuisisi Grup Barito Pacific pada 2014.
Penghilangan kampung juga berpotensi besar terjadi di Kalimantan Utara. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Mentarang yang dikelola Grup Adaro berencana menenggelamkan lahan seluas 22.604 hektar di Kecamatan Mentarang Ulu dan Kecamatan Sungai Tubu. Akibatnya, diperkirakan akan ada 541 keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan lahan perkebunan.
Proses kotor dalam upaya transisi energi yang berulang juga terjadi karena banyaknya ruang-ruang konflik kepentingan dan keterlibatan jejaring Politically Exposed Persons (PEPs). PEPs sendiri adalah seseorang yang memegang jabatan publik penting dan berisiko tinggi terlibat dalam tindak korupsi atau kejahatan keuangan lainnya.
Koalisi Transisi Bersih menemukan setidaknya 28 individu yang memenuhi kriteria PEPs berdasarkan UNCAC dan Peraturan OJK 01/2017 di balik enam grup usaha bisnis energi tersebut. Jabatan individu dalam jejaring PEPs sangat strategis dalam upaya transisi energy. Mereka adalah pemangku kepentingan di eksekutif, yudikatif dan aparat penegak hukum.
“Ada potensi PEPs di balik transisi energi membantu memuluskan bisnis-bisnis transisi energi ini. Misalnya, saat kita ambil contoh Wilmar yang terlibat korupsi ekspor biodiesel. Korupsi itu diduga lantaran adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biodiesel nasional sebagai trajectory transisi energi,” ujar Hayaa.
Posisi strategis jejaring PEPs kerap kali beririsan dengan kebijakan dan fasilitas yang menguntungkan keenam grup bisnis energi. Di Grup Barito, ada nama Rudy Suparman, petinggi Danareksa yang saat ini berubah menjadi Danantara. Saat ini Barito bermitra dengan Danantara, dan salah satu unit usaha Grup Barito, Barito Pacific Timber mendapatkan pembiayaan dari PT Taspen sebesar Rp375 miliar.
Selain Barito, ada Grup Medco yang terafiliasi dengan Teguh Pamuji (Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM 2013 – 2017) dan Marsillam Simanjuntak (Jaksa Agung 2000 – 2001). Saat ini Medco mengelola 16 pembangkit listrik energi terbarukan di berbagai wilayah. Unit usaha energi terbarukan Medco baru saja mendapatkan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebesar Rp65 miliar.
Grup Wilmar juga mendapatkan fasilitas dari kebijakan energi terbarukan, khususnya terkait biodiesel. Kebijakan biodiesel B40 memberikan subsidi kepada pelaku usaha pengolahan sawit, termasuk Wilmar. Sepanjang 2015 – 2023 Wilmar telah menerima subsidi sebesar Rp56,6 triliun. Perlu diingat, Wilmar merupakan perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi minyak mentah (CPO) dan merugikan negara hingga Rp11 triliun. Adapun dua nama terindikasi PEPs dibalik bisnis Wilmar adalah Sutanto (Kapolri 2005 – 2008) dan MP Parulian Tumangor (Bupati Dairi 1999 – 2009).
“Jejaring PEPs Wilmar ini jadi prototipe dari bagaimana PEPs memengaruhi jalannya bisnis tersebut. Dan 28 orang tersebut harus jadi fokus utama publik untuk melihat proyek EBT, supaya EBT tidak menjadi bancakan elit,” ujar Hayaa.

sumber: Katadata.com
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza melihat bahwa dalam konsep demokratisasi energi yang mereka dorong, masyarakat bisa mengelola energinya sendiri alih-alih menjadi monopoli elit.
“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) kita diturunkan ke Rencana Umum Energi Daerah (RUED), tapi saat kita lihat, RUED yang sudah sangat regional bahkan tidak memasukkan sistem pengelolaan energi berbasis komunitas,” ujar Amalya dalam kesempatan yang sama.
Tak hanya pendanaan, fasilitas yang didapat oleh perusahaan juga berupa kemudahan berbisnis dan pengawalan dari pemerintah. Seperti halnya lini usaha energi terbarukan milik Grup Jhonlin, PT Jhonlin Agro Raya yang mendukung blending (mencampur,red) biodiesel B50. Proses peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman yang merupakan kerabat dari Haji Isam. Fasilitas terakhir adalah pemberian status Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya bagi PLTA Kayan yang dikelola oleh Adaro. Status PSN membuat proyek lebih kebal hukum sekalipun terbukti melakukan banyak kerusakan.
Menanggapi temuan-temuan tersebut, Wakil Ketua KPK 2015 – 2019 La Ode M Syarif mengingatkan kendati bisnis energi membutuhkan padat modal, tapi tidak seharusnya individu-individu yang teridentifikasi sebagai PEPs ini melanggengkan praktik-praktik yang melanggar hukum dan etika.
“Energi terbarukan seharusnya menjadi clean energy, energi yang bersih. Oleh karena itu, jangan dikotori dengan kerusakan lingkungan, dengan korupsi. Karena percuma juga dia menjadi clean energy tapi dikotori oleh hal-hal yang kotor (kerusakan lingkungan dan korupsi). Just energy transition, yang dibicarakan hanya transisi energi, padahal transisi energi itu ada just, dan just itu adil. Transisi energi yang adil, bagi semua, khususnya bagi orang-orang yang terdampak langsung,” ujar La Ode.
Cita-cita transisi energi adalah menghadirkan energi hijau, bersih dan berkeadilan. Pemaknaan banal transisi energi sebagai penggantian label semata hanya akan menjauhkan Indonesia dari target net zero carbon. Di sisi lain, pendekatan transisi energi yang transaksional dan hanya menguntungkan elit akan membuat Indonesia berjalan mundur dan semakin jauh dari swasembada energi serta pemenuhan hak atas energi yang adil.
- Penulis:
