Home / Sastera

Jumat, 20 November 2020 - 17:10 WIT

Seni dan Tradisi Togal Tergerus Zaman?

ronggeng togal warga oleh warga posi-posi

ronggeng togal warga oleh warga posi-posi

Ditinggal Muda-mudi, Digandrungi Kaum Tua     

Ibu-ibu berkebaya memakai sarung dan selendang  itu usianya sudah di atas 50 tahun. Mereka duduk berbaris di bawah tenda, sambil menunggu bapak-bapak yang datang dan ikut  pesta ronggeng togal. Ini adalah cara warga Desa Samo di Halmahera Selatan meramaikan  Festival Kampung Pulau dan Pesisir yang diinisiasi perkumpulan PakaTiva bersama Yayasan EcoNusa  Selasa (27/10/2020)  malam.  Jika ibu-ibu wajib pakai kebaya begitu juga  laki laki   memakai kemeja berlengan panjang  dan kopiah.  Ini  busana  wajib yang biasanya  dipakai ketika  menghadiri pesta togal.

Dalam acara pesta kali ini  yang bersemangat adalah warga yang berusia sudah terbilang  tua.  Sementara anak muda tak satupun tampak ikut pesta itu. Jangankan menghadiri acara pesta  mendengar  irama  dan ikut ronggeng togal   juga  terbilang jarang dilakukan.     

Festival Kampong yang digelar 25 hingga 29 Oktober lalu itu selain ingin mengangkat kembali tradisi mengolah pangan local dan berbagai produk berbahan dari alam, juga turut mengangkat beragam tradisi yang mulai redup beberapa kampong di Halmahera. Salah satunya  seni batogal yang  dimiliki etnis Makean ini.

”Festival ini juga ikut mengangkat berbagai tradisi seni dan budaya  yang dimiliki warga di pesisir Halmahera. Karena itu  tidak hanya togal,  tapi lalayon dan cakalele ikut ditampilkan,” jelas Faisal Ratuela Direktur Perkumpulan PakaTiva.

Sekadar diketahui kampung-kampung di pesisir Halmahera bagian Selatan, dulu, kental dengan seni dan tradisi batogal. Seni ini begitu melekat di hati. Dia sekaligus menjadi hiburan penting  warga.

Seni batogal sendiri kadang dimainkan tanpa ada ronggeng. Tetapi kebanyakan ketika para pemain  togal  dan pengiringnya bermain, kaki dan badan  pendengarnya seakan tak tahan  ikut bergoyang   mengikuti irama fiol dan tifa.   

Dari beberapa desa yang mayoritas pendudukanya etnis Makean, togal dengan ronggeng mendapat perhatian khusus. Dari acara yang digelar  batogal paling banyak ditampilkan dan diminati. Bairis fiol/pemain biola, kadang diiringi gambus dan empat pemukul tifa. Ketika alat music  togal berbunyi,  menghipnotis merasuk ke jiwa mereka yang mendengarnya.

Sesekali terdengar teriakan  peserta ronggeng atau oleh orang Makeang dikenal dengan habo. Sementara yang ba-ronggeng  (menari,red) kadang berjingkrak mengikuti irama togal yang diramaikan pengarah ronggeng (komentar,red). Sang komentator tidak hanya mengarahkan peserta ronggeng. Dia juga punya segudang syair, pantun dan kata kata bijak. Bahkan  kadang diselingi  firman Allah  dan hadist nabi  sebagai pengingat kuasa sang pencipta. Komentar yang dikumndangkan sang komentator, menambah semangat peserta ronggeng.

Ibu-ibu desa samo melakukan ronggeng togal

Ronggeng togal menjadi sebuah tradisi yang melegenda di kalangan etnis Makean.  Dia menjadi pengingat  tidak hanya hubungan sosial antar manusia, tetapi juga orang tua dan sang pencipta.  Togal bagi etnis Makean tidak sekadar musik tradisional. Ternyata bernilai lebih dari itu,menjadi alat pengikat dan pemersatu.

Togal dan ronggeng yang begitu bermakna kini perlahan mulai tergerus zaman. Irama dan tarian memiliki gerak dan bunyi musik  penuh makna ketika diciptakan oleh para leluhur ini, perlahan mulai ditinggalkan kaum muda. Ketika ada pesta atau acara kampong, anak  muda lebih senang  memutar musik joget  dan disko. Sementara togal yang dari dulu menjadi tradisi  kini mulai  ditinggalkan. Tanda tradisi seni batogal  mulai ditinggalkan  sangat nampak di pesisir Halmahera.

“Sekira 30 tahun lalu ketika ada pesta kampong, ronggeng togal menjadi menu pesta muda-mudi. Kini tradisi ini telah menghilang. Tidak itu saja,  anak muda yang belajar bairis fiol untuk togal  atau memainkan gambus sebagai pengiring juga sudah tidak ada lagi.  Orang yang melestarikannya juga sudah sangat minim ditemukan,” kata Rusli Hi Aba tokoh masyarakat Desa Samo Gane Barat  Utara.

Baca Juga  Nelayan Tuna Morotai Terpukul Covid- 19
Bairis fiol sebagai pengiring utama irama togal semakin sulit ditemukan pemainnya

Di pesisir Gane Barat Utara Halmahera Selatan  tersisa   dua orang yang bisa bermain fiol. Usia mereka juga menginjak 50 dan 60 tahun. Dalam berbagai atraksi,  seni ini begitu digandrungi  mereka  yang berusia 45 sampai 60 tahun.  “Kita tidak bisa memungkiri saat ini mau cari orang yang main fiol, kuti/main gambus  atau  pukul tifa  juga sudah  sangat sulit,” komentar Rusli.  Karena itu agar tradisi togal tetap hidup dan diwariskan dari generasi ke generaasi dibutuhkan  pelatihan  khusus  bagi anak muda. “Kalau saya, penjaga tradisi ini  juga diberi penghargaan  untuk melatih anak-anak muda. Tujuannya  sebagai bagian dari pelestarian seni budaya ini tetap hidup di tengah masyarakat. Jika ini dibiarkan seni togal  tinggal cerita. Saya prediksi tak sampai 20 tahun seni ini   habis Apalagi jika orang-tua-tua yang melestarikannya sudah meninggal,” ujarnya.   

Tradisi batogal dan baronggeng togal mulai ditinggalkan  generasi masa kini. Padahal  togal merupakan irama dan tarian pergaulan dari Makian  ini telah meniadi  warisan budaya tak benda yang telah ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1 Januari 2015 lalu.   

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate  Rudy S Tawary  mengatakan, membaca keragaman kebudayaan Maluku Utara saat ini, setidaknya ada dua hasil penelitian bisa jadi rujukan.  Pertama, Penelitian tentang kebudayaan Maluku Utara yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Maluku Utara dalam rentang tahun 2015 sampai 2016. Kedua, penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan (PPKD) Kabupaten/kota di Maluku Utara pada tahun 2018  oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun. Dua penelitian ini berhasil mencatat ratusan tradisi  berbagai sukubangsa di Maluku Utara. Penelitian ini juga memberi gambaran  keragaman kebudayaan di Maluku Utara, sekaligus menegaskan   kekayaan budaya yang berlimpah. Meski begitu  fakta lapangan  berbagai tradisi  juga mencuatkan beragam rasa. Dari  bahagia kecewa bahkan sedih.  Berbagai tradisi yang telah dicatat, sebagian besar berada dalam situasi  menyedihkan karena sebagian sudah punah. Sementara lainnya melemah. “Persoalannya adalah  perhatian dan apresiasi,” jelasnya.

pukul tifa iringi ronggeng togal

Dia bilang, Togal sebagai salah satu tradisi lisan di Maluku Utara juga menghadapi persoalan yang sama. Tradisi lisan yang oleh dua penelitian di atas mencatat tersebar di beberapa daerah di Maluku Utara ini mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Secara garis besar ada dua hal yang dianggap ikut melemahkan tradisi togal. Pertama, pemerintah sebagai pihak yang diberi wewenang belum memiliki kepedulian atau kesadaran atas pentingnya sebuah tradisi bagi peripenghidupan masyarakat pendukungnya.

Kedua, generasi muda, sebagai tumpuan masa depan tradisi togal, kurang mengapresiasi kekayaan kebudayaan ini. Mereka  selalu  curiga sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman.

“Padahal, sejatinya, sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman bukan persoalan waktu tetapi perkara intensitas kemunculan di berbagai media,” tambahnya.

Dia bilang lagi sebuah tradisi memang sudah melampaui waktu yang lama setidaknya melewati dua generasi. Tetapi lamanya sebuah tradisi belum tentu ketinggalan zaman. Saat ini banyak kalangan menyadari bahwa krisis moral sesungguhnya bermula dari krisis atas kesadaran terhadap pentingnya aktualisasi nilai-nilai kebudayaan (tradisi).  Selain itu, transmisi atau sistem pewarisan dari generasi tua ke generasi muda juga tidak berjalan dengan baik. “Ada semacam pandangan bahwa togal  tidak lagi berkontribusi terhadap kehidupan generasi muda.

Rudi yang menyelesaikan tesis   seni togal ini menjelaskan,  togal memiliki berbagai nilai yang dapat berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat  terutama suku bangsa Makean. Dari sekian nilai itu, satu yang dapat disebutkan  peran togal dalam memperjumpakan berbagai entitas sosial masyarakat Makean. Togal menjadi ritus perjumpaan karena melalui berkesenian ini, masyarakat Makean dipertemukan dalam satu konteks pertunjukan. Pada saat togal dilaksanakan, semua memiliki posisi yang sama.  

Baca Juga  Ini Kondisi Jalan Sayoang -Yaba Pulau Bacan

Togal dengan segala kehebatannya, kini cenderung ditinggalkan generasi muda. Satu hal yang paling tampak dari kecenderungan tersebut adalah selera generasi muda Makean terhadap togal yang terus menurun. Jika ada pelaksanaan togal, seringkali terjadi pertarungan selera antara generasi tua dan muda. Generasi tua menginginkan togal, sementara yang muda mendambakan musik-musik modern (pop, dangdut, dan lainnya). Masalahnya adalah, keduanya menghendaki seleranya harus terpenuhi. Ada pengakuan masyarakat bahwa, untuk pemenuhan selera ini, seringkali hampir terjadi konflik. Generasi muda dan tua kadang terlibat ceksok demi pemenuhan selera masing-masing. Untuk itu, masyarakat Makean memiliki model negosiasi yang dapat melerai pertentangan ini sekaligus memenuhi selera masing-masing.

“Satu sisi, togal menunjukkan perannya sebagai media perjumpaan, tetapi di sisi lain ada fakta baru bahwa generasi muda memiliki selera musikal yang berbeda dengan generasi tua. Muaranya tentu berkaitan dengan melemahnya apresiasi karena generasi muda memiliki struktur pengalaman yang berbeda,” tambahnya.

Pengalaman generasi muda berkait dengan kemajuan teknologi dan mobilitas masyarakat. Kemajuan teknologi mengatarkan generasi muda pada satu pengalaman baru tentang musik. Pada generasi muda, ada semacam framing bahwa menyukai kesenian tradisi dan kesenian modern memiliki impikasi sosial yang berbeda.  

Menurut Rudy saat ini sangat jarang menemukan seniman togal khusus generasi muda yang dapat memainkan berbagai instrument togal seperti fiol, gambus, dan lain-lain.      

Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka ada beberapa pandangan  bisa dipertimbangkan untuk dilakukan. Tidak saja untuk togal tetapi juga kesenian lain yang memiliki nasib yang sama. Pertama, Pemerintah daerah perlu mecontohi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk membuat identifikasi maestro seni daerah. Seniman-seniman yang memenuhi ketentuan akan diapresiasi dengan cara diberi insentif dalam berbagai format, bisa per bulan, triwulan, atau per semester. Nominalnya tergantung kebijakan Pemerintah Daerah. Asalkan nominal itu mempertimbangkan kecukupan sehingga seniman termotivasi untuk meregenerasi kesenian yang dikuasainya.  “Asumsinya, jika urusan ekonomi  sudah dibantu   pemerintah, maka seniman serius  dalam mengurusi kesenian dan regenerasinya. Hal yang juga sangat penting dari pandangan ini adalah, seniman yang terpilih dan mendapatkan insentif harus diberi syarat, dalam kurun waktu tertentu. Memastikan ada sejumlah anak muda yang sudah menguasai kesenian yang diwarisinya,” katanya.

Pada kasus togal misalnya, dalam setahun, seniman togal yang ditetapkan sebagai maestro tradisi togal dengan keahlian menguasai instrument fiol, diwajibkan melahirkan seniman togal baru yang dapat menguasai atau memainkan fiol sebanyak 10 orang. Jika ini dijaga keberlanjutannya, maka dalam jangka waktu 10 tahun, seniman togal dengan keahlian memainkan intrumen togal dapat berjumlah 100 orang.    Keuntungan lain dari identifikasi ini adalah kita bisa membuat pemetaan vitalitas kesenian daerah, sekaligus menjadi basis data untuk diusulkan menjadi maestro tradisi di tingkat nasional  melalui Kemdikbud. 

Kedua, Pemerintah daerah perlu menyediakan wadah ekspresi bagi seniman sehingga hasil-hasil kreatifitas dapat dipertunjukkan dan menghidupkan.

gambus sebagai salah satu alat pengiring fiol atau biola

Ketiga, mendorong para seniman yang telah bekerja keras mengembangkan kesenian daerah dengan melibatkan generasi muda, Pemerintah memanfaatkan wadah ekspresi yang disediakan  dengan membuat kebijakan agar sekolah-sekolah (dalam berbagai tingkatan) melakukan pertujukan seni daerah secara bergilir di akhir pekan. Pertunjukan ini diatur sedemikian rupa agar terjadwal dan terpublikasikan ke masyarakat sehingga di setiap akhir pekan anak muda bisa datang meninton. Para pekerja yang kelelahan bekerja bisa datang menonton sambil melepaskan kepenatan bekerja selama sepekan, orang tua bisa datang mengajak anaknya menonton dan mengenalkan kesenian daerah. “Dengan demikian, kesenian daerah bisa terekspresikan atau terpentaskan, lestari, dan terwariskan kepada generasi muda,”tutupnya. (*)

Share :

Baca Juga

Sastera

Malut Segera Miliki Dewan Kebudayaan Daerah

Opini

Doho-doho Kemerdekaan  

Sastera

 “Nagari Beta Yang Gulana”