Ditinggal Muda-mudi, Digandrungi Kaum Tua
Ibu-ibu berkebaya memakai sarung dan selendang itu usianya sudah di atas 50 tahun. Mereka duduk berbaris di bawah tenda, sambil menunggu bapak-bapak yang datang dan ikut pesta ronggeng togal. Ini adalah cara warga Desa Samo di Halmahera Selatan meramaikan Festival Kampung Pulau dan Pesisir yang diinisiasi perkumpulan PakaTiva bersama Yayasan EcoNusa Selasa (27/10/2020) malam. Jika ibu-ibu wajib pakai kebaya begitu juga laki laki memakai kemeja berlengan panjang dan kopiah. Ini busana wajib yang biasanya dipakai ketika menghadiri pesta togal.
Dalam acara pesta kali ini yang bersemangat adalah warga yang berusia sudah terbilang tua. Sementara anak muda tak satupun tampak ikut pesta itu. Jangankan menghadiri acara pesta mendengar irama dan ikut ronggeng togal juga terbilang jarang dilakukan.
Festival Kampong yang digelar 25 hingga 29 Oktober lalu itu selain ingin mengangkat kembali tradisi mengolah pangan local dan berbagai produk berbahan dari alam, juga turut mengangkat beragam tradisi yang mulai redup beberapa kampong di Halmahera. Salah satunya seni batogal yang dimiliki etnis Makean ini.
”Festival ini juga ikut mengangkat berbagai tradisi seni dan budaya yang dimiliki warga di pesisir Halmahera. Karena itu tidak hanya togal, tapi lalayon dan cakalele ikut ditampilkan,” jelas Faisal Ratuela Direktur Perkumpulan PakaTiva.
Sekadar diketahui kampung-kampung di pesisir Halmahera bagian Selatan, dulu, kental dengan seni dan tradisi batogal. Seni ini begitu melekat di hati. Dia sekaligus menjadi hiburan penting warga.
Seni batogal sendiri kadang dimainkan tanpa ada ronggeng. Tetapi kebanyakan ketika para pemain togal dan pengiringnya bermain, kaki dan badan pendengarnya seakan tak tahan ikut bergoyang mengikuti irama fiol dan tifa.
Dari beberapa desa yang mayoritas pendudukanya etnis Makean, togal dengan ronggeng mendapat perhatian khusus. Dari acara yang digelar batogal paling banyak ditampilkan dan diminati. Bairis fiol/pemain biola, kadang diiringi gambus dan empat pemukul tifa. Ketika alat music togal berbunyi, menghipnotis merasuk ke jiwa mereka yang mendengarnya.
Sesekali terdengar teriakan peserta ronggeng atau oleh orang Makeang dikenal dengan habo. Sementara yang ba-ronggeng (menari,red) kadang berjingkrak mengikuti irama togal yang diramaikan pengarah ronggeng (komentar,red). Sang komentator tidak hanya mengarahkan peserta ronggeng. Dia juga punya segudang syair, pantun dan kata kata bijak. Bahkan kadang diselingi firman Allah dan hadist nabi sebagai pengingat kuasa sang pencipta. Komentar yang dikumndangkan sang komentator, menambah semangat peserta ronggeng.
Ronggeng togal menjadi sebuah tradisi yang melegenda di kalangan etnis Makean. Dia menjadi pengingat tidak hanya hubungan sosial antar manusia, tetapi juga orang tua dan sang pencipta. Togal bagi etnis Makean tidak sekadar musik tradisional. Ternyata bernilai lebih dari itu,menjadi alat pengikat dan pemersatu.
Togal dan ronggeng yang begitu bermakna kini perlahan mulai tergerus zaman. Irama dan tarian memiliki gerak dan bunyi musik penuh makna ketika diciptakan oleh para leluhur ini, perlahan mulai ditinggalkan kaum muda. Ketika ada pesta atau acara kampong, anak muda lebih senang memutar musik joget dan disko. Sementara togal yang dari dulu menjadi tradisi kini mulai ditinggalkan. Tanda tradisi seni batogal mulai ditinggalkan sangat nampak di pesisir Halmahera.
“Sekira 30 tahun lalu ketika ada pesta kampong, ronggeng togal menjadi menu pesta muda-mudi. Kini tradisi ini telah menghilang. Tidak itu saja, anak muda yang belajar bairis fiol untuk togal atau memainkan gambus sebagai pengiring juga sudah tidak ada lagi. Orang yang melestarikannya juga sudah sangat minim ditemukan,” kata Rusli Hi Aba tokoh masyarakat Desa Samo Gane Barat Utara.
Di pesisir Gane Barat Utara Halmahera Selatan tersisa dua orang yang bisa bermain fiol. Usia mereka juga menginjak 50 dan 60 tahun. Dalam berbagai atraksi, seni ini begitu digandrungi mereka yang berusia 45 sampai 60 tahun. “Kita tidak bisa memungkiri saat ini mau cari orang yang main fiol, kuti/main gambus atau pukul tifa juga sudah sangat sulit,” komentar Rusli. Karena itu agar tradisi togal tetap hidup dan diwariskan dari generasi ke generaasi dibutuhkan pelatihan khusus bagi anak muda. “Kalau saya, penjaga tradisi ini juga diberi penghargaan untuk melatih anak-anak muda. Tujuannya sebagai bagian dari pelestarian seni budaya ini tetap hidup di tengah masyarakat. Jika ini dibiarkan seni togal tinggal cerita. Saya prediksi tak sampai 20 tahun seni ini habis Apalagi jika orang-tua-tua yang melestarikannya sudah meninggal,” ujarnya.
Tradisi batogal dan baronggeng togal mulai ditinggalkan generasi masa kini. Padahal togal merupakan irama dan tarian pergaulan dari Makian ini telah meniadi warisan budaya tak benda yang telah ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1 Januari 2015 lalu.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate Rudy S Tawary mengatakan, membaca keragaman kebudayaan Maluku Utara saat ini, setidaknya ada dua hasil penelitian bisa jadi rujukan. Pertama, Penelitian tentang kebudayaan Maluku Utara yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Maluku Utara dalam rentang tahun 2015 sampai 2016. Kedua, penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan (PPKD) Kabupaten/kota di Maluku Utara pada tahun 2018 oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun. Dua penelitian ini berhasil mencatat ratusan tradisi berbagai sukubangsa di Maluku Utara. Penelitian ini juga memberi gambaran keragaman kebudayaan di Maluku Utara, sekaligus menegaskan kekayaan budaya yang berlimpah. Meski begitu fakta lapangan berbagai tradisi juga mencuatkan beragam rasa. Dari bahagia kecewa bahkan sedih. Berbagai tradisi yang telah dicatat, sebagian besar berada dalam situasi menyedihkan karena sebagian sudah punah. Sementara lainnya melemah. “Persoalannya adalah perhatian dan apresiasi,” jelasnya.
Dia bilang, Togal sebagai salah satu tradisi lisan di Maluku Utara juga menghadapi persoalan yang sama. Tradisi lisan yang oleh dua penelitian di atas mencatat tersebar di beberapa daerah di Maluku Utara ini mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Secara garis besar ada dua hal yang dianggap ikut melemahkan tradisi togal. Pertama, pemerintah sebagai pihak yang diberi wewenang belum memiliki kepedulian atau kesadaran atas pentingnya sebuah tradisi bagi peripenghidupan masyarakat pendukungnya.
Kedua, generasi muda, sebagai tumpuan masa depan tradisi togal, kurang mengapresiasi kekayaan kebudayaan ini. Mereka selalu curiga sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman.
“Padahal, sejatinya, sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman bukan persoalan waktu tetapi perkara intensitas kemunculan di berbagai media,” tambahnya.
Dia bilang lagi sebuah tradisi memang sudah melampaui waktu yang lama setidaknya melewati dua generasi. Tetapi lamanya sebuah tradisi belum tentu ketinggalan zaman. Saat ini banyak kalangan menyadari bahwa krisis moral sesungguhnya bermula dari krisis atas kesadaran terhadap pentingnya aktualisasi nilai-nilai kebudayaan (tradisi). Selain itu, transmisi atau sistem pewarisan dari generasi tua ke generasi muda juga tidak berjalan dengan baik. “Ada semacam pandangan bahwa togal tidak lagi berkontribusi terhadap kehidupan generasi muda.
Rudi yang menyelesaikan tesis seni togal ini menjelaskan, togal memiliki berbagai nilai yang dapat berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat terutama suku bangsa Makean. Dari sekian nilai itu, satu yang dapat disebutkan peran togal dalam memperjumpakan berbagai entitas sosial masyarakat Makean. Togal menjadi ritus perjumpaan karena melalui berkesenian ini, masyarakat Makean dipertemukan dalam satu konteks pertunjukan. Pada saat togal dilaksanakan, semua memiliki posisi yang sama.
Togal dengan segala kehebatannya, kini cenderung ditinggalkan generasi muda. Satu hal yang paling tampak dari kecenderungan tersebut adalah selera generasi muda Makean terhadap togal yang terus menurun. Jika ada pelaksanaan togal, seringkali terjadi pertarungan selera antara generasi tua dan muda. Generasi tua menginginkan togal, sementara yang muda mendambakan musik-musik modern (pop, dangdut, dan lainnya). Masalahnya adalah, keduanya menghendaki seleranya harus terpenuhi. Ada pengakuan masyarakat bahwa, untuk pemenuhan selera ini, seringkali hampir terjadi konflik. Generasi muda dan tua kadang terlibat ceksok demi pemenuhan selera masing-masing. Untuk itu, masyarakat Makean memiliki model negosiasi yang dapat melerai pertentangan ini sekaligus memenuhi selera masing-masing.
“Satu sisi, togal menunjukkan perannya sebagai media perjumpaan, tetapi di sisi lain ada fakta baru bahwa generasi muda memiliki selera musikal yang berbeda dengan generasi tua. Muaranya tentu berkaitan dengan melemahnya apresiasi karena generasi muda memiliki struktur pengalaman yang berbeda,” tambahnya.
Pengalaman generasi muda berkait dengan kemajuan teknologi dan mobilitas masyarakat. Kemajuan teknologi mengatarkan generasi muda pada satu pengalaman baru tentang musik. Pada generasi muda, ada semacam framing bahwa menyukai kesenian tradisi dan kesenian modern memiliki impikasi sosial yang berbeda.
Menurut Rudy saat ini sangat jarang menemukan seniman togal khusus generasi muda yang dapat memainkan berbagai instrument togal seperti fiol, gambus, dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka ada beberapa pandangan bisa dipertimbangkan untuk dilakukan. Tidak saja untuk togal tetapi juga kesenian lain yang memiliki nasib yang sama. Pertama, Pemerintah daerah perlu mecontohi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk membuat identifikasi maestro seni daerah. Seniman-seniman yang memenuhi ketentuan akan diapresiasi dengan cara diberi insentif dalam berbagai format, bisa per bulan, triwulan, atau per semester. Nominalnya tergantung kebijakan Pemerintah Daerah. Asalkan nominal itu mempertimbangkan kecukupan sehingga seniman termotivasi untuk meregenerasi kesenian yang dikuasainya. “Asumsinya, jika urusan ekonomi sudah dibantu pemerintah, maka seniman serius dalam mengurusi kesenian dan regenerasinya. Hal yang juga sangat penting dari pandangan ini adalah, seniman yang terpilih dan mendapatkan insentif harus diberi syarat, dalam kurun waktu tertentu. Memastikan ada sejumlah anak muda yang sudah menguasai kesenian yang diwarisinya,” katanya.
Pada kasus togal misalnya, dalam setahun, seniman togal yang ditetapkan sebagai maestro tradisi togal dengan keahlian menguasai instrument fiol, diwajibkan melahirkan seniman togal baru yang dapat menguasai atau memainkan fiol sebanyak 10 orang. Jika ini dijaga keberlanjutannya, maka dalam jangka waktu 10 tahun, seniman togal dengan keahlian memainkan intrumen togal dapat berjumlah 100 orang. Keuntungan lain dari identifikasi ini adalah kita bisa membuat pemetaan vitalitas kesenian daerah, sekaligus menjadi basis data untuk diusulkan menjadi maestro tradisi di tingkat nasional melalui Kemdikbud.
Kedua, Pemerintah daerah perlu menyediakan wadah ekspresi bagi seniman sehingga hasil-hasil kreatifitas dapat dipertunjukkan dan menghidupkan.
Ketiga, mendorong para seniman yang telah bekerja keras mengembangkan kesenian daerah dengan melibatkan generasi muda, Pemerintah memanfaatkan wadah ekspresi yang disediakan dengan membuat kebijakan agar sekolah-sekolah (dalam berbagai tingkatan) melakukan pertujukan seni daerah secara bergilir di akhir pekan. Pertunjukan ini diatur sedemikian rupa agar terjadwal dan terpublikasikan ke masyarakat sehingga di setiap akhir pekan anak muda bisa datang meninton. Para pekerja yang kelelahan bekerja bisa datang menonton sambil melepaskan kepenatan bekerja selama sepekan, orang tua bisa datang mengajak anaknya menonton dan mengenalkan kesenian daerah. “Dengan demikian, kesenian daerah bisa terekspresikan atau terpentaskan, lestari, dan terwariskan kepada generasi muda,”tutupnya. (*)
CEO Kabar Pulau