Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara, bersama Koalisi Barisan Rakyat (KOBAR), menggelar aksi climate justice (keadilan iklim). Aksi tersebut sebagai bagian dari respons terhadap pertemuan para pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali dan telah berakhir pada Rabu (16/11/2022).
Kampanye itu berlangsung Selasa (14/11/2022) di sejumlah titik, yakni Kediaman Dinas Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba, Land Mark, dan Taman Nukila Kota Ternate . Aksi yang sebagai bentuk kampanye isyu keadilan iklim itu, turut membentangkan spanduk yang mengingatkan para pemimpin di Maluku Utara dan Indonesia di Jakarta, agar tidak memberikan ruang seluas-luasnya bagi korporasi menghabiskan hutan dan lahan Maluku Utara. Spanduk besar bertuliskan Maluku Utara Tidak untuk Dijual itu bermaksud mengingatkan pemerintah dan elit politik untuk tidak jor joran memberikan izin tambang, perkebunan monokultur serta logging yang akhirnya menyengserakan rakyat di Pulau Halmahera dan pulau lainnya.
Dalam aksi itu mereka membawa spanduk dan pamphlet bertuliskan sejumlah pesan agar izin yang diberikan jangan sampai mematikan kehidupan rakyat di tingkat tapak. “Pemerintah hanya doyan berikan izin tambang tetapi abai kepada rakyat,” demikian tulisan sebuah pamphlet yang dibawa salah satu peserta aksi. Ada juga yang menulis dalam pamphletnya, Hutan Gundul karena Tambang Giliran Banjir Hujannya yang Disalahkan. “Berbagai pesan lingkungan ini disampaikan dengan harapan pemerintah dan elit tidak bebal melihat kenyataan atas kondisi ekologi Maluku Utara yang makin miris saat ini,” teriak salah satu orator dalam aksinya.
Sementara koordinator aksi Justice Climate Julfikar Sangaji melalui rilis yang disampaikan ke media menyatakan bahwa, Maluku Utara sebagai sebuah provinsi kepulauan, daratannya terbilang kecil. Persentasenya hanya 21% daratan sedangkan 79% dikelilingi perairan atau lautan. Karena kecilnya daratan tersebut maka seharusnya pemerintah tidak membebani dengan mengeluarkan berbagai jenisk izin usaha, yang akan melahirkan bencana alam dan kemanusiaan di masa depan.
Apalagi katanya,, usaha usaha ekstraktif seperti tambang menimbulkan daya rusak luar biasa. Kekuatiran itu, ternyata tidak membuat pemerintah daerah dan pusat memberikan perhatian. Sebab faktanya sudah lebih dari 2 juta haktare lahan di daratan telah dipetak petak dan diberikan izinnya kepada korporasi. Pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat, Industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik emas, nikel, biji besi massive hadir di berbagai pulau. Baik pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
“Kondisi ini membuat rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisakan kubangan. Pemicu kehilangan hutan terbesar adalah tambang, sawit dan industri kayu,” jelasnya.
Kondisi ini bagi Walhi karena ada izin yang diberikan oleh pemerintah. “Korporasi itu tidak akan membabat hutan apabila tidak ada “stempel legal” yang diberikan pemerintah,” cecarnya. Artinya kehancuran daratan Maluku Utara itu sebenarnya dalang utamanya Pemerintah. Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang terancam limbah tambang. Hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan. Belum lagi diperparah dengan krisis Iklim yang membuat desa-desa pesisir terancam tenggelam.
Fakta hari ini, bisa disaksikan di selatan Maluku Utara, rakyat di Obi terus menyaksikan setiap waktu tegakan pohon tumbang dan tanahnya dikeruk PT Harita Group, dan korporasi ekstaktif lainnya yang beroperasi di pulau-pulau tersebut. Begitu juga di daratan Gane, di semenanjung selatan pulau Halmahera, hamparan hutan primer termasuk wilayah Kelola Rakyat dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman yakni sawit oleh PT Gelora Mandiri Membangun anak Usaha PT Korea Indonesia (Korindo) Group.
Tidak luput, di Tengah hingga Timur pulau Halmahera pohon tumbang tanpa jedah mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif digali oleh puluhan korporasi Nikel. Puluhan perusahaan tambang nikel itu kemudian menyuplay material tanahnya ke PT IWIP (perusahaan asal RRT). Meski menimbulkan dampak lingkungan dan kemanusiaan yang begitu nyata, kehadiran korporasi disebut Pemerintah sebagai solusi kesejateraan. Alih-alih mendatangkan kesejahteran dia menjadi nestapa bagi rakyat dan lingkungan hidup. “Fakta di lapangan memperlihatkan, sungai mengalami pendangkalan karena adanya sedimentasi. Hasil kerukan tambang dengan jumlah banyak masuk ke sungai membuat air berubah warna sepanjang waktu. Burung-burung juga kehilangan rumahnya. Bahkan banjir menjadi langganan. Di sisi lain angka kemiskinan terus tumbuh,” cecarnya.
Data Badan Pusat statistik (BPS) menyebutkan sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa. Itu artinya kebijakan mendatangkan investasi menjadi fatal. Kondisi ini tidak membuat pemerintah mencabut izin usaha yang bermasalah itu sebaliknya servis terhadap korporasi diutamakan ketimbang urusan rakyat. Ini nampak jelas melalui status Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai Objek Vital Nasional (OVN) didapatkan PT IWIP dan PT Harita dari pemerintah.
Padahal operasi kedua perusahaan raksasa tambang tersebut hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tak akan pulih dalam jangka pendek. Para pemimpin Negara-Negara itu baru selesai mengggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan tidak lebih pertemuan itu hanya memperparah situasi iklim Indonesia dan dunia.
CEO Kabar Pulau