Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Kampung » Bahan dan Para Pembuat Tikar Pandan yang Makin Langka

Bahan dan Para Pembuat Tikar Pandan yang Makin Langka

  • account_circle
  • calendar_month Sen, 1 Feb 2021
  • visibility 473

Sisi Lain  Kehidupan Warga Sawai di Halmahera Tengah   

Daun pandan jenis buro-buro (Pandanus tectorius) menumpuk di teras depan, rumah keluarga Elisa Nusu (65 tahun). Sore di awal Januari 2021 itu, Elisa bersama istrinya Angga Nice Loha (60), menggulung daun buro-buro yang diambil tak jauh dari kawasan pantai Desa Gemaf Weda Utara Halmahera Tengah itu, telah dibersihkan duri di tepi daunya. Daun pandan itu   juga sudah kering setelah dijemur beberapa hari.

Elisa sudah menggulung empat gulungan  daun pandan yang  disimpan sebagai bahan baku tikar pandan.  ”Nanti mau bikin kokoya orang sini bilang,” kata  Elisa warga suku Sawai Gemaf Weda Utara Halmahera Tengah belum lama ini.  

Tujuan digulungnya daun pandan itu agar ketika menganyam kokoya   tidak terlalu sulit  karena  daunnya sudah tertata rapi.  

Ibu Angga memperlihatkan tikar yang sudah selesai dianyam

Sekadar diketahui, Kokoya adalah jenis tikar yang dianyam menggunakan daun pandan  yang tak disayat kecil- kecil.  Sementara tikar, dianyam menggunakan daun pandan yang telah diraut dengan diberi ragam bahan pewarna. Tikar jenis ini lebih halus dan menarik  serta pengerjaannya membutuhkan waktu agak lama.

Elisa dan istrinya mengambil daun pandan tak jauh dari Desa Gemaf  tepatnya di bagian  utara desa ini karena   belum dieksploitasi perusahaan tambang walau telah masuk dalam wilayah konsesi PT Weda Bay Nikel.  “Karena dorang (mereka,red) perusahaan tambang belum gusur jadi masih bisa dapat daun buro buro (pandan, red) di daerah tak jauh dari pesisir pantai,” katanya.

Dia bilang  kokoya ini   akan dipakai sehari-hari di rumah. Bisa juga dibawa ketika melakukan perjalanan menggunakan kapal. Sementara untuk jenis tikar,   kadang   menjadi buah tangan untuk keluarga dan handai taulan.   Bahkan tikar dalam beberapa hajatan, misalnya kawinan menjadi barang seserahan dari mempelai pria untuk wanita.  “Kalau tikar itu dia pe bikin  (cara buat,red) agak susah dan lama.   Kadang tiga  minggu baru bisa  anyam satu tikar,”cerita  Angga.

Di Gemaf, warga terutama ibu-ibu biasanya membuat kokaya, tikar dan kalasa. Kokoaya menggunakan daun pandan yang agak lebar,   sementara tikar menggunakan daun pandan yang telah disayat halus dan  diberi warna. Untuk kalasa dibuat dari kulit pelepah sagu.

Di Gemaf kata Angga, masih ada yang bikin jenis jenis tikar ini,  meski  tinggal sedikit orang.   

Ibu Angga memperlihatka daun pandan yang telah disayat halus dan telah diberi prwana sebagai bahan pembuat tikar

Di kampungnya, perajin tikar dan kokoya ini sudah jarang ditemukan sekarang ini orang kampong lebih senang menggunakan tikar plastic karena  dengan uang Rp100 ribu sudah bisa membeli tikar plastic. Padahal katanya  untuk kenyamanan tidur kokoya, tikar  dan kalasa memiliki nilai lebih dibanding tikar plastik. 

Dia lantas bilang, saat ini sudah jarang dan hamper tidak ada anak muda mau belajar bikin tikar  dari daun pandan. Biasanya yang  menganyam dan  menghasilkan tikar ini ibu-ibu yang usianya sudah ujur.

Padahal katanya di kalangan orang Halmahera terutama di Tengah dan Halmahera Utara  tikar jenis ini menjadi bagian dari barang seserahan yang  dibawa serta dalam acara perkawinan. .”Yang kami tahu di bagian utara Halmahera tikar ini  jadi bagian  penting kalau ada anak laki-laki yang menikah,” ujar Angga.

Meski begitu dia akui  saat ini  yang sulit itu bahan baku dan orang yang menganyam  tikar ini. “So jarang (sudah  jarang) anak muda perempuan   belajar membuat tikar.  Kalau orang tua tua  sudah tidak ada (meninggal, red) dipastikan budaya bikin tikar dari daun buro-buro ini juga akan hilang,” imbuhnya.

Karena itu bagi dia tradisi ini  terutama di Weda atau di kelompok masyarakat Sawai, anak mudanya juga sudah harus belajar  menganyam tikar. Apalagi katanya di kelompok masyarakat suku Tobelo, Galela, atau Sawai tikar ini, adalah bagian dari tradisi yang seharusnya  tetap dipertahankan dan lestarikan. Sayang katanya, anak muda  sekarang lebih senang tikar plastic yang dibeli di toko.    

Ibu ibu Suku Sawai desa Wale mengambil kulit pelepah sagu yang nanti dibuat kalasa

Salah satu daerah yang  terbilang banyak memproduksi tikar anyam ini adalah warga di Morotai. Namun demikian  dalam 20 tahun terakhir tikar anyam dari daun pandan ini sudah semakin langka. Bahkan untuk mendapatkan orang yang  menganyam tikar pandan juga sudah sulit.

Indah Indriyani  warga  Sangowo Morotai Timur mengaku di kampungnya dulu banyak  ibu-ibu    membuat anyaman tikar dari daun pandan. Namun  dalam 15  tahun terakhir  sudah sangat jarang ditemukan  ditemui lagi. Indah bahkan berusaha mencari para perajin di kampungnya untuk memastikan produksi tikar ini, tetapi  sudah  tak lagi menemukan.  “Kampung saya di Sangowo. Dulu ibu- ibu yang bikin tikar pandan ini ada. Tapi sekarang sudah sangat sulit  ditemukan,” katanya saat dihubungi dari Ternate. 

Dia  bilang, saat ini yang sulit itu bahan baku  pandan dan mereka yang membuat atau menganyam tikar.  Kalaupun ada  di kampungnya  tersisa orang tua tua yang biasa  membuatnya.      

“Saya sudah coba keliling kampung untuk cari tahu  orang tua-tua yang masih konsisten menganyam tikar. Sayang  sudah tidak ada lagi,” katanya. (*)

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Kayu Besi di Hutan Halmahera yang Terancam  

    • calendar_month Sen, 7 Nov 2022
    • account_circle
    • visibility 523
    • 0Komentar

    Merbau atau ipil adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi anggota suku Fabaceae (Leguminosae). Karena kekerasannya, di wilayah Maluku, Maluku Utara  dan Papua barat  juga dinamai  kayu besi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan peraturan yang dikhawatirkan mengancam keanekaragaman hayati dan ekologi hutan. Melalui Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018 […]

  • Ini Hasil Kajian Climate Right Internasional

    • calendar_month Kam, 18 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 279
    • 1Komentar

    Proyek Nikel Raksasa di Halmahera Rusak  Lingkungan, Iklim dan  Pelanggaran HAM Hasil kajian yang dikeluarkan Climate Right Internasional di Jakarta pada Kamis 17 Januari 2024  menyebutkan  industri nikel raksasa bernilai milyaran dollar di Maluku Utara dan pertambangan nikel di sekitarnya telah melanggar hak asasi penduduk lokal, termasuk Masyarakat Adat, menyebabkan deforestasi yang signifikan, pencemaran udara […]

  • Tanya Izin Perusahaan, DPRD Haltim Datangi Dishut Malut

    • calendar_month Sel, 26 Jan 2021
    • account_circle
    • visibility 140
    • 0Komentar

    Rapat Komisi III dengan Dinas Kehutnan Provinsi Maluku Utara

  • Multiusaha Kehutanan, Konsep Berbasis Lanskap

    • calendar_month Jum, 17 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 189
    • 0Komentar

    Sungai dan hutan di Bokimoruru ii tidak bisa menjadi sarana wisata masyarakat Halmahera Tengah foto M Ichi

  • Tanda-tanda Alam dan Tradisi Orang Pulau yang Tergerus Zaman

    • calendar_month Sen, 17 Mar 2025
    • account_circle
    • visibility 535
    • 0Komentar

    Sebuah Doho doho Pendek di Pertengahan Ramadan  Kitab Suci Alquran untuk ummat manusia, secara khusus  telah menerangkan  dengan terang benderang  fenomena alam dengan ayat- ayat kauniyah-nya. Dalam  membaca fenomena alam itu,  para leluhur negeri al-mulk  yang terdiri dari pulau pulau ini telah mempraktekan dalam setiap hidup mereka sejak dulu. Bagi mereka, setiap ada fenomena alam […]

  • Nelayan Malut Protes Permen 59/2020

    • calendar_month Sen, 25 Jan 2021
    • account_circle
    • visibility 178
    • 0Komentar

    Motor ikan/pole and line yang sandar di PPI Dufa dufa Ternate

expand_less