Jaga Hutan Terakhir Halmahera Timur Lewat Olah Sagu, Berkebun dan Bentuk Forum Adat
- account_circle Redaksi
- calendar_month Kam, 16 Okt 2025
- visibility 90

Kebun-yang-berisi-tanaman-pala-cengkih-dan-kelapa-milik-warga-Bicoli-sebagai-sumber-utama-pendapatan-mereka-foto-M-Ichi
Sarade Kasim 50 (tahun) dan istrinya Nurima (45 tahun) sibuk membangun sebuah rumah papan di lahan kebun mereka. Bahan rumah dari papan serta kayu olahan lainnya, diangkut dari hutan tak jauh dari situ. Rumah itu berdiri kurang lebih 1,5 kilometer dari desa Bicoli Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) Provinsi Maluku Utara. Tepatnya di bagian selatan desa tepian jalan trans Halmahera Timur menuju Sofifi ibu kota Provinsi Maluku Utara.
Di lahan itu, lebih 15 tahun lalu, telah ditanami pala dan kelapa. Pohon pala sedang berbuah. Bahkan sebagian sudah dipanen. Di bawah pohon tak jauh dari rumah, tergeletak kulit buah pala yang baru selesai dilepas dari bijinya.Pala dan kelapa adalah salah satu sumber hidup petani di wilayah ini.
Sarade mengaku rumah kebun itu dibangun untuk menjaga kebun. Selain itu bersama istrinya mengolah jorame (bekas lahan yang telah diolah,red) di sebelah kebun pala dan kelapa. Mereka menanam tanaman pangan untuk kebutuhan hidup. “Kita jaga kebun ini juga mau tanam pisang dan tanaman lainya,” kata Sarade saat ditemui di kebunnya awal tahun ini.
Cerita Sarade dan istrinya, adalah contoh ruang hidup warga yang masih terjaga. Kebun di tepi jalan itu masih bisa diolah turun temurun hingga anak cucu. Mereka juga masih memanfaatkan lahan menanam berbagai jenis pangan kebutuhan hidup. Sementara di atas lahan kebun mereka terbentang kawasan karst yang menghampar. Apa yang dilakukan suami istri ini adalah contoh warga masih berkebun termasuk mengolah sagu untuk pangan.
Sebulan sebelumnya, Halik Fanen (67) dan istrinya Fatimun Halik (59), juga mengolah sagu tak jauh dari kebun sarade. Dari pohon sagu yang mereka olah menghasilkan tepung sagu kurang lebih 7 karung plastik. Hasil ini diperoleh setelah 6 hari mengolah empulur empat pohon sagu.
“Pohon sagunya kurang berisi karena masih kecil sehingga hasilnya tidak seberapa. Empat pohon sagu ini kalau pohon besar dan berisi bisa sampai 13 karung,” katanya.
Selain pohin sagu, ada juga kelapa dalam lahan seluas tiga hektar itu. Karena lahan sagu warisan orang tua, maka sagu yang diolah itu tidak perlu dibagi lagi.
Fatimun mengatakan tepung sagu itu akan diolah menjadi persediaan pangan beberapa bulan ke depan dan sebagian dikirimkan kepada dua anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan tambang nikel di Weda Halmahera Tengah.Sagu menjadi ini sumber makanan penting saat harga besar sangat mahal. Meski harga sagu juga lumayan mahal, tetapi mereka memilih menjadikan sebagai bahan makanan bukan untuk dijual.
“Sagu ini sudah bisa jadi modal saat kita kerja di kebun menanam pala cengkih dan kelapa. Kalau kita sudah tua tanaman tahunan itu menjadi tabungan. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Halik.
Fatimun mengatakan tepung sagu itu akan diolah menjadi persediaan pangan beberapa bulan ke depan serta sebagian dikirimkan kepada dua anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan tambang nikel di Weda Halmahera Tengah.
Dia bilang lagi sagu ini menjadi sumber makanan penting saat harga besar mahal. Meski harga sagu juga lumayan mahal, tetapi mereka lebih memilih sagu itu untuk bahan makanan.
“Sagu ini sudah bisa jadi modal saat kita kerja di kebun menanam pala cengkih dan kelapa. Kalau kita sudah tua tanaman tahunan itu menjadi tabungan. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Halik.
Meski sagu jadi makanan pokok sejak dahulu, kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu buktinya, ada cucunya tidak bisa lagi makan sagu. Sebagian besar warga Bicoli sudah beralih makan nasi meski masih menyajikan sagu saat makan siang maupun makan malam. Padahal, katanya, dulu nasi dikonsumsi nanti pada hari Jumat saja.
Meski sagu jadi makanan pokok sejak dahulu, kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu buktinya, ada cucunya tidak bisa lagi makan sagu. Sebagian besar warga Bicoli sudah beralih makan nasi meski masih menyajikan sagu saat makan siang maupun makan malam. Padahal, katanya, dulu nasi dikonsumsi nanti pada hari Jumat saja.
Di kampung ini warga tetap memiliki stok sagu jelang Ramadhan. Sagu sangat berpotensi menjadi sebagai sumber pangan tradisonal yang dapat diolah menjadi berbagai macam aneka makanan, salah satunnya menjadi tepung sagu. Pohon sagu biasanya dimanfaatkan patinya, daun, tulang daun, pelepah dan batang untuk berbagai macam kerajinan. Daun pohon sagu dijahit menjadi atap, tulang daun diolah menjadi sapu ijuk, pelepah yang diolah menjadi tikar dan tas tradisional dan batang pohon sagu diolah menjadi kayu bakar maupun bahan untuk rumah.

Kebun-yang-berisi-tanaman pala cengkihdan kelapa milik warga Bicoli sebagai sumber utama pendapatan mereka foto M Ichi
Desa Bicoli sebagai salah satu kampung tertua di wilayah Maba Selatan Halmahera Timur, warga menggantungkan pangannya dari sagu. Ada ratusan hektar hutan sagu yang tumbuh tersebar di di daerah ini hingga ke bagian utara dan bagian selatan. Selain memiliki hutan sagu juga lahan perkebunan seperti, pala, kelapa dan cengkeh. Kekayaan alam ini menjadi sumber hidup turun temurun.
Apa yang dilakukan Halik Fanen (67) dan istrinya Fatimun Halik (59) serta Sarade Kasim dan Nurima ini adalah sebuah upaya yang dibangun turun temurun warga Bicoli hingga kini. Praktek ini juga adalah bagian dari mengamankan ruang hidup mereka termasuk hutan dan kawasan karst yang melingkupi desa ini.
“Berkebun dan mengolah sagu itu cara yang kami lakukan untuk lindungi kampung lahan dan hutan kami. Saat ini di bagian Halmahera Timur yang lain telah habis maka kami harus lindungi ruang hidup dan hutan kami dengan cara itu,” kata Semaun Seba yang juga Sangaji Bicoli. Sangaji Bicoli sebagai tokoh masyarakat adat yang membawahi kawasan Maba Selatan hingga sebagian Maba.
Ada Kesepakatan Ruang Darat dan Laut Dikelola Bersama
Saat ini di Maba Selatan, kawasan laut, hutan dan bentangan karst masih aman karena masyarakat di desa Bicoli,Kasuba, Momole, Sil dan Sowoli memiliki pegangan kesepakatan para tetua sejak lama. Kesepakatan tidak tertulis itu menyangkut pemanfaatan ruang laut dan darat. Kesepakatan itu berisi larangan memperjualbelikan atau diberikan cuma cuma kepada satu orang untuk menguasai. Tujuannya tidak ada monopoli sumber daya.
“Kita sudah punya pegangan kesepakatan orang tua–tua bahwa laut dan darat tidak bisa dibagi atau dijual. Ruang hidup itu dikelola bersama dan menjadi sumber kesejahteraan bersama,” jelas Sangaji Bicoli Samaun Seba belum lama ini di Bicoli. Sangaji sendiri dalam struktur Kesultanan Tidore adalah kepala wilayah di bawah kesultanan,sekaligus sebagai pemangku adat di wilayah tersebut.
Menurutnya, kesepakatan tidak tertulis itu sudah pernah dijalankan saat masuknya investasi perkebunan monokultur sawit pada 2010. Saat itu warga memegang dasar kesepakatan, akhirnya mereka menolak investasi perkebunan sawit di Maba Selatan. “Kita sempat diundang ke Maba Ibu Kota Kabupaten Halmehra Timur bahas perkebunan sawit. Namun masyarakat satu suara menolak rencana investasi tersebut. Akhirnya mereka angkat kaki,” jelas Samaun.
Kala itu meski perkebunan sawit belum beroperasi, investornya sudah bagi-bagi uang kepada warga. Nilai totalnya miliaran rupiah. “Kita sudah lupa nama perusahaannya. Sudah cukup lama. Mereka bagi uang kepada masyarakat Bicoli. Per KK Rp 2 juta,” ceritanya.

Kawasan Hutan Karst di Bicoli yang masih terlindungi, foto M Ichi
Hal ini memunculkan kecurigaan warga. Di balik rencana investasi perkubanan sawit itu ada target lain terutama mineral dari dalam bumi. “Di bagian belakang Bicoli terbentang kawasan karst. Karena itu untuk menanam juga susah tapi kenapa mereka ngotot mau buka perkebunan sawit,” katanya.
Kecurigaan itu sangat beralasan karena survey potensi tambang di wilayah ini dilakukan sudah berulang kali. “Ada survey penambangan bauksit dan batu gamping,” kata Samaun. Soal rencana tambang bauksit, sudah eksplorasi, bahkan rencana pendaratan alat. Hanya saja karena ada perubahan aturan pertambangan, akhirnya batal beroperasi.
Dia juga cerita, kala masuk investasi tambang ke Halmahera Timur hamper semua kelompok masyarakat kapling kawasan hutan. Tujuannya mendapatkan keuntungan ketika ada aktivitas perusahaan tambang. Mereka jual lahan-lahan hutan yang telah dikapling tersebut. Proses itu sudah berlangsung lama di Halmahera Timur. “Kejadian semacam ini yang kita tidak inginkan.” ujarnya.
Sebagai pemangku adat, Sangaji Bicoli menolak praktik semacam itu terjadi di wilayah ya dan 4 desa sekitarnya. Warga tidak bisa main kapling karena kawasan darat dan laut itu sudah disepakati menjadi milik bersama warga lima desa. Dasar ini juga sangat kuat karena warga di lima desa itu awalnya berasal dari 1 desa induk yang sama sehingga memiliki hak atas ruang hidup sama. “Kalau ada perusahaan yang masuk dan dianggap merugikan masyarakat, ditolak,” katanya.
Soal wilayah desa secara administrasi bisa dibagi. Tetapi pengelolaan wilayah laut dan darat tidak bisa diklaim milik karena hak pengelolaan bersama. Lahan yang sudah dikelola untuk perkebunan menjadi milik masing masing orang. Tetapi hutan dan laut itu milik bersama seluruh masyarakat. Wilayah Bicoli tidak hanya desa dalam satu wilayah Bicoli, tetapi sampai Desa Sakam di perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Fasilitasi Pembentukakan Forum Adat
Kesepakatan warga yang memiliki nilai penting dalam menjaga ruang hidup warga Maba Selatan tersebut, mendorong LSM Fala Lamo salah satu NGO lokal di Maluku Utara mendampingi warga lima desa untuk memperkuat mereka mempertahankan ruang hidupnya.
Direktur LSM Fala Lamo Jefferson Tasik menjelaskan, kesepakatan bersama yang didukung kekuatan adat tersebut, membuat lembaga yang dipimpinnya mencoba memperkuat warga Bicoli dan desa sekitar. Tujuannya mereka mempertahankan ruang hidup. Dia bilang yang dilakukan warga ini kesepakatan tidak tertulis karena itu perlu diperkuat. Sebelumnya kesepakatan itu ditetapkan Sangaji Bicoli sebelumnya yang memutuskan wilayah lima desa itu tidak bisa dibagi berdasarkan batas desa tetapi sebagai satu wilayah.
“Kita sudah petakan wilayah kelola mereka. Termasuk melakukan survey mengumpulkan data perikanan dan kelautan. Tujuannya ketika masyarakat tahu dan paham ruang kelola mereka maka bisa dipertahankan. Terutama saat masuknya investasi yang merampas ruang hidup,”katanya.
Dicontohkan, untuk ruang laut di kawasan ini juga ada lima pulau kosong tidak menjadi milik satu desa tetapi dikelola secara bersama jika masuk pariwisata ke pulau-pulau tersebut. Jika di pulau- pulau itu ada tanaman kelapa jadi milik warga tetapi lahannya tidak bisa diperjualbelikan.
Menurutnya, Kecamatan Maba Selatan perlu dipertahankan wilayah karstnya untuk masa depan karena menjadi sumber air penting wilayah ini. Selain itu perlu dipertahankan juga karena berada di bawah Sangaji merupakan wilayah adat yang perlu diperkuat. Perlu dijaga dan dipertahankan dari masuknya investasi yang merusak dan mengubah tatanan social maupun ekologi.
Melalui pendampingan tersebut pada akhir Desember 2024, telah dilaksanakan pertemua forum adat di bawah Kesangajian Bicoli di Halmahera Timur. Pertemuan ini diinisiasi masyarakat dan didukung oleh LSM Fala Lamo.
Upaya Kesangadjian Bicoli ini turut menghadirkan para Sangaji di Maba. Forum Adat Kesangadjian ini merupakan yang pertama di Halmahera Timur. Kegiatan yang dipusatkan di Balai Desa Wayamli, Halmahera Timur itu para tetua masing-masing daerah sekitar berkumpul. Ada juga keterwakilan masayarakat adat O’Hongana Manyawa, atau Suku Tobelo Dalam Desa Lili Maba Utara.
“Forum ini adalah penguatan fungsi dan peran kelembagaan adat dalam struktur adat Kesangdjian Bicoli. Forum ini juga mendiskusikan sikap masyarakat adat Kesangadjian Bicoli terhadap berbagai isu social, budaya dan lingkungan yang berkembang dalam wilayah adatnya saat ini,”kata Jefferson.
Forum Adat ini diharapkan dapat melihat kelengkapan struktur kelembagaan adat di seluruh desa pesisir. Selain itu bisa diperoleh kesepahaman fungsi dan peran kekinian serta kesepakatan kelembagaan adat kesangadjian.
“Forum adat ini penting diadakan agar semua bisa duduk bersama menyelesaikan masalah dan memberikan rekomendasi kepada pihak Kesultanan Tidore,”kata Sangaji Bicoli Samaun Seba.
Habian Kepala Desa Lili Kecamatan Maba Utara Halmahera Timur perwakilan masyarakat adat O fongana manyawa bilang, kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dari alam. Karena itu berharap forum adat ini, terus dipertahankan agar masyarakat adat di Maluku Utara mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terutama menyangkut ruang hidup. “O’akere de O’Fongana mea wowango mangii (Sungai dan hutan adalah tempat hidup kami),” kata Habian.
Pertemuan itu melahirkan lima rekomendasi. Pertama,penguatan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah kesangadjian (termasuk Soa atau kampung), struktur kelembagaan adat dan regenerasi kepemimpinan/tokoh adat. Kedua, Penegasan tata batas wilayah adat sangadji di darat/hutan dan laut. Ketiga, Penguatan aturan adat tentang tanah, hutan dan perairan. Keempat Perlindungan ekosistem hutan, sungai, pesisir dan laut dalam wilayah adat sangadji. Kelima, Reclaiming wilayah hutan dan perairan ada.
Hutan Halmahera Timur Disesaki Konsesi Tambang
Saat ini hutan dan lahan di bagian lain Kabupaten Halmahera Timur sedang dieksploitasi secara massive. Pertambangan nikel gencar mengeksploitasi daerah itu. Tidak hanya di daratan Halmahera, beberapa pulau kecil sekitar juga tak luput.
Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan, di Kabupaten Halmahera Timur telah diberi 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektare. Berdasarkan data yang dilansir Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Halmahera Timur, per September 2025 ada 41 perusahaan beroperasi di Kecamatan Kota Maba, Kecamatan Maba, Kecamatan Wasile dan Wasile Selatan.

SUMBER DATA, Disnaker Halmahera Timur


“Ini data sampai September 2025, sewaktu-waktu perusahaan bisa kurang atau betambah. Prinsipnya, pendataan terus dilakukan setiap tahun,” kata Ifdal Radjak Sekretaris Disnakertrans Halmahera Timur seperti dilansir tribun Ternate. com . Kabupaten Haltim berdiri sejak tahun 2003 berdasarkan UU RI nomor 1 tahun 2003 juga sebagian wilayahnya masuk Taman Nasional Aketajawe-Lolobata yakni di Kecamatan Wasile Selatan, dan memiliki berbagai fauna endemik seperti bidadari halmahera. Di hutan Halmahera Timur juga menjadi tempat hidup masyarakat adat Tobelo Dalam yang saat ini terus terdesak akibat industry tambang.
Rusdin Alauddin Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dalam risetnya berjudul “Identifikasi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang diterbitkan jurnal Amanna Gappa Universitas Hasanuddin 2022 dijelaskan bahwa, di Kecamatan Maba Selatan sempat masuk investasi PT. Karya Cipta Sukses Lestari (PT.KSL). Wilayah ini juga belum tereksplorasi oleh investasi pertambangan. Selain itu, juga tidak terkena dampak konflik horizontal yang pernah terjadi di sebagian besar Provinsi Maluku Utara pada 1999 sampai 2000. “Ini membuat wilayah Maba Selatan khususnya di Bicoli dan sekitarnya masyarakat hidup secara berdampingan secara aman,” tulis hasil riset tersebut.
Dijelaskan, konflik pengelolaan SDA ada dan pertama terjadi di wilayah ini walaupun skalanya sangat kecil, antara masyarakat dengan perusahaan PT. Agro Plasma Nusantara yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit setelah mereka dapatkan izin lokasi berdasarkan SK Bupati Halmahera Timur Nomor188.45/63-590/2008 17 juni 2008.
Saat itu perusahaan telah melakukan pembayaran lahan kepada masyarakat. Namun akhirnya ditolak karena perusahaan kelapa sawit dianggap menipu warga terkait luas lahan yang akan dieksploitasi.
“Perusahaan bermohon pengelolaan Hutan APL (areal penggunaan lain) yang mana sesuai Perda 105 tahun 2006 Haltim yang mengatur bahwa hutan produksi itu juga dihitung sebagai APL. Namun saat dikonsultasikan ke kementerian Kehutanan di Jakarta ternyata ada keputusan Menteri tahun 2007 yang mengatur bahwa Hutan Produksi konversi bukan bagian dari APL. Dengan demikian tidak sesuai hasil sosialisasi kepada masyarakat yang disampaikan areal perusahaan berjarak 5 KM dari garis pantai. Kenyataan di lapangan hanya 1 KM dari garis pantai,” tulisnya. Ketika perusahaan memperbaharui izin yang mereka punya di provinsi izinnya belum keluar sudah ada izin eksplorasi dari PT KSL.
Konflik pembebasan lahan ini bisa berdampak positif yaitu dari konflik pembebasan lahan di lokasi perusahaan masyarakat semakin memahami pola komunikasi dan negosiasi yang bisa menguntungkan masyarakat. Selain itu dampak lainnya adanya pembayaran lahan dari perusahaan maka pemerintah desa membagi kepada semua kepala keluarga baik yang punya lahan perkebunan maupun yang tidak secara merata masing- masing kepala keluarga sebesar Rp. 2.5 juta di luar tanaman yang dimiliki.(*)
Catatan Redaksi
Tulisan ini adalah liputan kolababorasi Jaga Wallacea, sindikasi 12 media alternatif di kawasan Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara. Media itu adalah, Bollo.id di Makassar, Bentara Timur.com Kendari, Lengaru.com dan Kausa.id Palu, Benua.com Gorontalo, Zona Utara.Tentangpuan.com dan GoSulut.com, Manado, TitaStory Maluku, kabarpulau.co.id/, Kadera.id, Halmaheranesia.com, Ternate. Media-media bersindikasi mengawal isyu hutan, masyarakat adat, pesisir dan keanekaragaman hayati di garis Wallace
#JurnalisJagaWallace
#MenjagaBumiWallacea
- Penulis: Redaksi
