Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Kampung » Jaga Hutan Terakhir Halmahera Timur Lewat Olah Sagu, Berkebun dan Bentuk Forum Adat    

Jaga Hutan Terakhir Halmahera Timur Lewat Olah Sagu, Berkebun dan Bentuk Forum Adat    

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Kam, 16 Okt 2025
  • visibility 90

Sarade Kasim 50 (tahun) dan istrinya Nurima (45 tahun) sibuk membangun sebuah rumah papan di lahan kebun mereka. Bahan rumah  dari papan serta kayu olahan lainnya, diangkut dari hutan tak jauh dari situ. Rumah itu berdiri kurang lebih 1,5 kilometer dari desa Bicoli Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) Provinsi Maluku Utara. Tepatnya di bagian selatan desa tepian jalan trans Halmahera Timur menuju Sofifi ibu kota Provinsi Maluku Utara.

Di lahan itu, lebih 15 tahun lalu, telah ditanami pala dan kelapa. Pohon pala sedang berbuah. Bahkan sebagian sudah  dipanen. Di bawah pohon tak jauh dari rumah, tergeletak kulit buah pala yang baru selesai dilepas dari bijinya.Pala dan kelapa adalah salah satu sumber hidup petani di wilayah ini.

Sarade mengaku rumah kebun itu dibangun untuk menjaga kebun. Selain itu bersama istrinya mengolah jorame (bekas lahan yang telah diolah,red)   di sebelah kebun pala dan kelapa. Mereka   menanam tanaman pangan  untuk  kebutuhan hidup.  “Kita jaga kebun ini juga mau tanam pisang  dan tanaman lainya,” kata Sarade saat ditemui di kebunnya awal tahun ini.

Cerita Sarade dan istrinya, adalah contoh ruang hidup warga yang  masih terjaga. Kebun di tepi jalan itu masih bisa diolah turun temurun hingga anak cucu. Mereka juga masih memanfaatkan lahan  menanam berbagai jenis pangan kebutuhan hidup. Sementara di atas lahan kebun mereka terbentang kawasan karst yang menghampar. Apa yang dilakukan  suami istri ini  adalah contoh warga masih berkebun termasuk mengolah sagu untuk pangan.

Sebulan sebelumnya, Halik Fanen (67) dan istrinya Fatimun Halik (59),  juga mengolah sagu tak jauh dari kebun sarade. Dari   pohon sagu yang  mereka olah  menghasilkan tepung sagu  kurang lebih 7 karung plastik.  Hasil ini diperoleh  setelah  6 hari mengolah empulur empat  pohon sagu.

“Pohon sagunya kurang berisi karena masih kecil sehingga hasilnya tidak seberapa. Empat  pohon  sagu ini kalau pohon  besar dan berisi bisa sampai 13 karung,” katanya.

Selain pohin sagu,  ada  juga kelapa dalam lahan seluas tiga hektar itu. Karena lahan sagu   warisan orang tua, maka sagu yang diolah itu tidak perlu dibagi lagi.

Fatimun mengatakan tepung sagu itu akan diolah menjadi persediaan pangan   beberapa bulan ke depan dan sebagian  dikirimkan kepada dua anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan tambang nikel di  Weda Halmahera Tengah.Sagu menjadi ini sumber makanan penting saat harga besar sangat mahal. Meski harga  sagu juga lumayan mahal, tetapi mereka  memilih  menjadikan sebagai  bahan makanan  bukan untuk dijual.

“Sagu ini sudah bisa jadi modal saat kita kerja di kebun menanam pala cengkih dan kelapa. Kalau kita sudah tua tanaman tahunan itu menjadi tabungan. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Halik.

Fatimun mengatakan tepung sagu itu akan diolah menjadi persediaan pangan  beberapa bulan ke depan  serta sebagian  dikirimkan kepada dua anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan tambang nikel di  Weda Halmahera Tengah.

Dia bilang lagi  sagu ini menjadi sumber makanan penting saat harga besar  mahal. Meski harga  sagu juga lumayan mahal, tetapi mereka lebih memilih  sagu  itu  untuk bahan makanan.

“Sagu ini sudah bisa jadi modal saat kita kerja di kebun menanam pala cengkih dan kelapa. Kalau kita sudah tua tanaman tahunan itu menjadi tabungan. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Halik.

Meski sagu jadi makanan pokok sejak dahulu,  kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu buktinya, ada cucunya tidak bisa lagi makan sagu. Sebagian besar warga Bicoli sudah beralih makan nasi meski masih menyajikan sagu saat makan siang maupun makan malam. Padahal, katanya, dulu nasi dikonsumsi nanti  pada hari Jumat saja.

Meski sagu jadi makanan pokok sejak dahulu,  kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu buktinya, ada cucunya tidak bisa lagi makan sagu. Sebagian besar warga Bicoli sudah beralih makan nasi meski masih menyajikan sagu saat makan siang maupun makan malam. Padahal, katanya, dulu nasi dikonsumsi nanti  pada hari Jumat saja.

Di kampung ini warga tetap memiliki stok sagu jelang Ramadhan. Sagu  sangat berpotensi menjadi sebagai sumber pangan tradisonal yang dapat diolah menjadi berbagai macam aneka makanan, salah satunnya  menjadi tepung  sagu.   Pohon sagu   biasanya dimanfaatkan  patinya, daun, tulang daun, pelepah dan batang  untuk  berbagai macam kerajinan. Daun pohon sagu   dijahit  menjadi atap, tulang daun  diolah menjadi sapu ijuk, pelepah yang diolah menjadi tikar dan tas tradisional dan batang pohon sagu diolah menjadi  kayu bakar maupun bahan  untuk rumah.

Kebun-yang-berisi-tanaman pala cengkihdan kelapa milik warga Bicoli sebagai sumber utama pendapatan mereka foto M Ichi

Desa Bicoli  sebagai salah satu kampung  tertua di wilayah Maba Selatan Halmahera Timur,  warga menggantungkan pangannya dari sagu.  Ada  ratusan hektar hutan sagu yang tumbuh tersebar di  di daerah  ini hingga ke bagian utara dan bagian selatan. Selain  memiliki   hutan sagu  juga lahan perkebunan  seperti, pala, kelapa dan cengkeh. Kekayaan alam ini menjadi sumber hidup  turun temurun.

Apa yang dilakukan   Halik Fanen (67) dan istrinya Fatimun Halik (59) serta  Sarade Kasim dan Nurima  ini adalah sebuah upaya yang dibangun   turun temurun  warga Bicoli  hingga kini. Praktek  ini  juga adalah bagian dari mengamankan ruang hidup mereka  termasuk hutan  dan kawasan karst yang melingkupi desa ini.

“Berkebun dan mengolah sagu  itu cara yang kami lakukan untuk lindungi kampung lahan dan hutan kami. Saat ini di bagian Halmahera Timur yang lain telah habis maka kami harus lindungi ruang hidup dan hutan kami dengan  cara itu,” kata Semaun  Seba yang juga  Sangaji Bicoli. Sangaji Bicoli  sebagai  tokoh masyarakat adat yang membawahi kawasan Maba Selatan  hingga  sebagian Maba.

Ada Kesepakatan Ruang Darat dan Laut Dikelola Bersama

Saat ini di Maba Selatan, kawasan laut, hutan dan bentangan karst masih aman karena masyarakat di desa  Bicoli,Kasuba, Momole, Sil dan Sowoli memiliki pegangan kesepakatan para tetua sejak lama. Kesepakatan tidak tertulis itu menyangkut pemanfaatan ruang laut dan darat. Kesepakatan itu berisi larangan memperjualbelikan atau diberikan cuma cuma kepada satu orang untuk menguasai. Tujuannya tidak ada monopoli  sumber daya.

“Kita sudah punya pegangan kesepakatan orang tua–tua bahwa laut dan darat tidak bisa dibagi atau dijual. Ruang hidup itu dikelola bersama dan menjadi sumber kesejahteraan bersama,” jelas Sangaji Bicoli Samaun Seba belum lama ini di Bicoli. Sangaji sendiri dalam struktur Kesultanan Tidore adalah  kepala wilayah di bawah kesultanan,sekaligus sebagai pemangku adat di wilayah tersebut.

Menurutnya, kesepakatan tidak tertulis itu sudah pernah dijalankan saat masuknya investasi perkebunan monokultur sawit pada 2010. Saat itu warga memegang dasar kesepakatan, akhirnya mereka menolak investasi perkebunan sawit di Maba Selatan. “Kita sempat diundang ke Maba Ibu Kota Kabupaten  Halmehra Timur bahas perkebunan sawit. Namun masyarakat satu suara menolak rencana investasi tersebut. Akhirnya mereka angkat kaki,” jelas Samaun.

Kala itu meski perkebunan sawit belum beroperasi, investornya sudah bagi-bagi uang kepada warga.  Nilai totalnya miliaran rupiah.  “Kita sudah lupa nama perusahaannya. Sudah cukup lama. Mereka bagi uang kepada masyarakat  Bicoli. Per KK Rp 2 juta,” ceritanya.

Kawasan Hutan Karst di Bicoli yang masih terlindungi, foto M Ichi

Hal ini memunculkan kecurigaan warga. Di balik rencana investasi perkubanan sawit itu ada target lain terutama mineral dari dalam bumi. “Di bagian belakang Bicoli terbentang kawasan karst.  Karena itu untuk menanam juga susah tapi kenapa mereka ngotot mau buka perkebunan sawit,” katanya.

Kecurigaan itu  sangat  beralasan karena survey potensi tambang di wilayah ini dilakukan sudah berulang kali. “Ada survey penambangan bauksit dan batu gamping,” kata Samaun. Soal rencana tambang bauksit, sudah  eksplorasi, bahkan rencana pendaratan alat. Hanya saja karena ada perubahan  aturan pertambangan, akhirnya batal  beroperasi.

Dia juga cerita, kala masuk investasi tambang ke Halmahera Timur hamper semua kelompok masyarakat  kapling kawasan hutan. Tujuannya mendapatkan keuntungan ketika ada aktivitas perusahaan tambang. Mereka jual lahan-lahan hutan yang telah dikapling tersebut. Proses itu sudah berlangsung lama di Halmahera Timur.  “Kejadian semacam ini yang kita tidak inginkan.” ujarnya.

Sebagai pemangku adat, Sangaji Bicoli  menolak praktik semacam itu terjadi di wilayah ya dan  4 desa sekitarnya. Warga tidak bisa main kapling karena kawasan darat dan laut itu sudah disepakati menjadi milik bersama warga lima desa. Dasar ini juga sangat kuat karena warga di lima desa itu awalnya berasal dari 1 desa induk yang sama sehingga memiliki hak atas ruang hidup sama. “Kalau ada perusahaan yang masuk dan dianggap merugikan masyarakat, ditolak,” katanya.

Soal wilayah desa secara administrasi bisa dibagi. Tetapi pengelolaan wilayah laut dan darat tidak bisa diklaim milik karena hak pengelolaan bersama. Lahan yang sudah dikelola untuk perkebunan menjadi milik masing masing orang. Tetapi hutan dan laut itu milik bersama seluruh masyarakat. Wilayah Bicoli  tidak hanya desa dalam satu wilayah Bicoli, tetapi sampai Desa Sakam di perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

 

Fasilitasi Pembentukakan Forum Adat

Kesepakatan warga yang memiliki nilai penting dalam menjaga ruang hidup  warga Maba Selatan tersebut, mendorong LSM Fala Lamo salah satu NGO lokal di Maluku Utara mendampingi warga lima desa  untuk memperkuat mereka mempertahankan ruang hidupnya.

Direktur LSM Fala Lamo Jefferson Tasik menjelaskan, kesepakatan bersama yang didukung kekuatan adat tersebut, membuat lembaga yang dipimpinnya mencoba memperkuat warga Bicoli dan desa sekitar. Tujuannya  mereka mempertahankan ruang hidup. Dia bilang yang dilakukan warga ini kesepakatan tidak tertulis karena itu  perlu diperkuat.  Sebelumnya kesepakatan itu ditetapkan Sangaji Bicoli sebelumnya yang memutuskan wilayah lima desa itu tidak bisa dibagi berdasarkan batas desa tetapi sebagai satu wilayah.

“Kita sudah petakan wilayah kelola mereka. Termasuk melakukan survey mengumpulkan data perikanan dan kelautan. Tujuannya ketika masyarakat tahu dan paham ruang kelola mereka maka bisa dipertahankan. Terutama saat masuknya investasi yang merampas ruang hidup,”katanya.

Dicontohkan, untuk ruang laut di kawasan ini juga ada lima pulau kosong tidak menjadi milik satu desa tetapi dikelola secara bersama jika masuk pariwisata ke pulau-pulau tersebut. Jika di pulau- pulau itu ada tanaman kelapa jadi milik warga tetapi lahannya  tidak bisa diperjualbelikan.

Menurutnya, Kecamatan Maba Selatan perlu dipertahankan wilayah karstnya untuk masa depan karena  menjadi sumber air penting  wilayah ini. Selain itu perlu dipertahankan juga karena  berada di bawah Sangaji  merupakan wilayah adat yang perlu diperkuat. Perlu dijaga dan dipertahankan dari masuknya investasi yang merusak dan mengubah tatanan social maupun ekologi.

 

Melalui pendampingan tersebut pada  akhir Desember 2024, telah dilaksanakan pertemua forum adat di bawah Kesangajian Bicoli di Halmahera Timur. Pertemuan ini diinisiasi masyarakat dan didukung oleh LSM Fala Lamo.

Upaya Kesangadjian Bicoli ini turut menghadirkan para Sangaji di Maba. Forum Adat Kesangadjian ini merupakan yang pertama di Halmahera Timur. Kegiatan yang dipusatkan di Balai Desa Wayamli, Halmahera Timur itu para tetua masing-masing daerah sekitar berkumpul. Ada juga keterwakilan masayarakat adat O’Hongana Manyawa, atau Suku Tobelo Dalam Desa Lili Maba Utara.

“Forum ini adalah penguatan fungsi dan peran kelembagaan adat dalam struktur adat Kesangdjian Bicoli. Forum ini juga mendiskusikan sikap masyarakat adat Kesangadjian Bicoli terhadap berbagai isu social, budaya dan lingkungan yang berkembang dalam wilayah adatnya saat ini,”kata Jefferson.

Forum Adat  ini diharapkan dapat melihat kelengkapan struktur kelembagaan adat di seluruh desa pesisir. Selain itu bisa diperoleh kesepahaman fungsi dan peran kekinian serta kesepakatan kelembagaan adat kesangadjian.

“Forum adat ini penting diadakan agar semua bisa duduk bersama menyelesaikan masalah dan memberikan rekomendasi kepada pihak Kesultanan Tidore,”kata Sangaji Bicoli Samaun Seba.

Habian Kepala Desa Lili Kecamatan Maba Utara Halmahera Timur perwakilan masyarakat adat O fongana manyawa bilang, kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dari alam. Karena itu berharap  forum adat ini, terus dipertahankan agar masyarakat adat di Maluku Utara mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terutama menyangkut ruang hidup. “O’akere de O’Fongana mea wowango mangii (Sungai dan hutan adalah tempat hidup kami),” kata Habian.

Pertemuan itu melahirkan lima rekomendasi. Pertama,penguatan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah kesangadjian (termasuk Soa atau kampung), struktur kelembagaan adat dan regenerasi kepemimpinan/tokoh adat. Kedua, Penegasan tata batas wilayah adat sangadji di darat/hutan dan laut. Ketiga, Penguatan aturan adat tentang tanah, hutan dan perairan. Keempat Perlindungan ekosistem hutan, sungai, pesisir dan laut dalam wilayah adat sangadji. Kelima, Reclaiming wilayah  hutan dan perairan ada.

Hutan Halmahera Timur Disesaki  Konsesi Tambang

Saat ini hutan dan lahan di bagian lain Kabupaten Halmahera Timur sedang dieksploitasi secara massive. Pertambangan nikel gencar mengeksploitasi  daerah itu.  Tidak hanya di daratan Halmahera, beberapa pulau kecil sekitar juga tak luput.

Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan, di Kabupaten Halmahera Timur telah diberi 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektare. Berdasarkan data yang dilansir Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Halmahera Timur,  per September 2025 ada 41 perusahaan  beroperasi di Kecamatan Kota Maba, Kecamatan Maba, Kecamatan Wasile dan Wasile Selatan.

 

SUMBER DATA, Disnaker Halmahera Timur

“Ini data   sampai September 2025, sewaktu-waktu perusahaan bisa kurang atau betambah. Prinsipnya, pendataan terus dilakukan setiap tahun,” kata Ifdal Radjak  Sekretaris Disnakertrans Halmahera Timur seperti dilansir  tribun Ternate. com .  Kabupaten Haltim berdiri sejak tahun 2003 berdasarkan UU RI nomor 1 tahun 2003 juga sebagian wilayahnya  masuk Taman Nasional Aketajawe-Lolobata   yakni di Kecamatan Wasile Selatan, dan memiliki berbagai fauna endemik seperti bidadari halmahera. Di hutan   Halmahera Timur  juga menjadi  tempat hidup masyarakat adat Tobelo Dalam yang saat ini terus terdesak akibat industry tambang.

Rusdin Alauddin Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dalam risetnya berjudul “Identifikasi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang diterbitkan jurnal Amanna Gappa Universitas Hasanuddin 2022 dijelaskan bahwa, di Kecamatan Maba Selatan sempat masuk investasi PT. Karya Cipta Sukses Lestari (PT.KSL). Wilayah ini juga belum tereksplorasi oleh investasi pertambangan. Selain itu, juga tidak terkena dampak konflik horizontal yang pernah terjadi di sebagian besar Provinsi Maluku Utara pada 1999 sampai 2000.  “Ini membuat wilayah Maba Selatan khususnya di Bicoli dan sekitarnya masyarakat hidup secara berdampingan secara aman,” tulis hasil riset tersebut.

Dijelaskan, konflik pengelolaan SDA ada dan pertama terjadi di wilayah ini walaupun skalanya sangat kecil, antara masyarakat dengan perusahaan PT. Agro Plasma Nusantara yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit setelah mereka  dapatkan izin lokasi berdasarkan SK Bupati Halmahera Timur Nomor188.45/63-590/2008 17 juni 2008.

Saat itu perusahaan telah melakukan pembayaran lahan kepada masyarakat. Namun akhirnya ditolak karena perusahaan kelapa sawit dianggap menipu warga terkait luas lahan yang akan dieksploitasi.

“Perusahaan bermohon pengelolaan Hutan APL (areal penggunaan lain) yang mana sesuai Perda 105 tahun 2006 Haltim yang mengatur bahwa hutan produksi itu juga dihitung sebagai APL. Namun saat dikonsultasikan ke kementerian Kehutanan di Jakarta ternyata ada keputusan Menteri tahun 2007 yang mengatur bahwa Hutan Produksi konversi bukan bagian dari APL. Dengan demikian tidak sesuai hasil sosialisasi kepada masyarakat yang disampaikan  areal perusahaan berjarak 5 KM dari garis pantai. Kenyataan di lapangan hanya 1 KM dari garis pantai,” tulisnya. Ketika perusahaan memperbaharui izin yang mereka punya di provinsi izinnya belum keluar sudah ada izin eksplorasi dari PT KSL.

Konflik pembebasan lahan ini bisa berdampak positif yaitu dari konflik pembebasan lahan di lokasi perusahaan masyarakat semakin memahami pola komunikasi dan negosiasi yang bisa menguntungkan masyarakat. Selain itu dampak lainnya adanya pembayaran lahan dari perusahaan maka pemerintah desa membagi kepada semua kepala keluarga baik yang punya lahan perkebunan maupun yang tidak secara merata masing- masing kepala keluarga sebesar Rp. 2.5 juta di luar tanaman yang dimiliki.(*)

Catatan Redaksi 

Tulisan ini adalah  liputan kolababorasi  Jaga Wallacea,  sindikasi 12 media alternatif di kawasan Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara. Media itu adalah, Bollo.id di Makassar, Bentara Timur.com Kendari,   Lengaru.com  dan Kausa.id Palu, Benua.com Gorontalo, Zona Utara.Tentangpuan.com dan GoSulut.com, Manado,  TitaStory Maluku, kabarpulau.co.id/, Kadera.id, Halmaheranesia.com, Ternate. Media-media bersindikasi   mengawal isyu hutan, masyarakat adat, pesisir dan keanekaragaman hayati di garis Wallace

#JurnalisJagaWallace
#MenjagaBumiWallacea

 

  • Penulis: Redaksi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Keanekaragaman Hayati Teluk Buli Terancam

    • calendar_month Sel, 9 Jan 2018
    • account_circle
    • visibility 176
    • 0Komentar

    Butuh Perlindungan Serius Berbagai Pihak  Di seluruh  dunia, keragaman hayati semakin cepat musnah. Meski  demikian, persebaran keragaman hayati maupun ancamannya tidak merata. Karena itu organisasi konservasi perlu memusatkan kegiatan mereka pada tempat- tempat yang paling penting dan paling terancam punah. Salah satu caranya dengan melakukan identifikasi hotspot. Ini menjadi salah satu cara paling efektif menentukan […]

  • Pemanfaatan Potensi Laut Maluku Utara Masih Minim

    • calendar_month Sel, 8 Jun 2021
    • account_circle
    • visibility 484
    • 0Komentar

    Setiap 8 Juni diperingati sebagai hari laut sedunia atau World Ocean Day. Peringatan ini untuk mengingatkan pentingnya lautan bagi kehidupan manusia karena   menutupi lebih dari 70% planet Bumi. Dikutip dari https://tirto.id/hari-laut-sedunia-2021-tema-8-juni-cara-rayakan-world-ocean-day-gg) menyebutkan bahwa   laut menjadi sumber kehidupan manusia, mendukung kesejahteraan umat manusia dan setiap organisme lain di bumi. Lautan menghasilkan setidaknya 50% oksigen Bumi, merupakan […]

  • Kepastian Ake Sagea “Tercemar” Tunggu GAKKUM KLHK

    • calendar_month Rab, 20 Sep 2023
    • account_circle
    • visibility 184
    • 1Komentar

    Direkotrat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum (GAK-KUM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar rapat dengan beberapa pihak dari Maluku Utara membahas persoalan Sungai Sagea pada Selasa (19/9/2023). Rapat tersebut dipimpin oleh Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPSA-LHK) Ditjen. Gakkum KLHK Ardyanto Nugroho. Agenda ini sendiri merupakan tindak lanjut aspirasi dari […]

  • Tegas! Pulau Tak Boleh Diperjualbelikan

    • calendar_month Jum, 27 Jun 2025
    • account_circle
    • visibility 209
    • 0Komentar

    Maraknya  iklan dan pemberitaan penjualan pulau-pulau di Indonesia, membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan larangan tegas  adanya penjualan pulau. KKP memastikan tidak ada regulasi yang mengatur penjualan pulau maupun pulau kecil di Indonesia.  Di Maluku Utara beberapa waktu lalu sempat heboh adanya  isu penjualan gugusan kepualaun Widi Halmahera Selatan yang sempat ditawarkan melalui situs […]

  • Warga Adat Sawai Halteng, Perda MA vs Omnibuslaw

    • calendar_month Kam, 28 Jan 2021
    • account_circle
    • visibility 464
    • 0Komentar

    Hernemus Takuling saat ditemui di rumahnya di Lelilef Sawai

  • Suarakan Regulasi PRL di Forum Internasional Lewat Zonasi

    • calendar_month Ming, 25 Mei 2025
    • account_circle
    • visibility 451
    • 0Komentar

    Penataan ruang laut  (PRL) adalah dasar dari seluruh pemanfaatan ruang yang ada di wilayah pesisir dan laut, agar tercipta keselarasan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian ekosistem pesisir dan laut. Ini adalah salah satu  komitmen  Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal ini  disampaikan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan mewakili Indonesia  dalam  forum internasional […]

expand_less