Perampasan Ruang Laut Marak, BRIN Ajak Kolaborasi Keilmuan
- account_circle
- calendar_month Sab, 24 Mei 2025
- visibility 417
Beberapa dekade terakhir, pesisir dan laut menjadi arena perebutan kepentingan yang tidak seimbang antara pemegang kuasa ekonomi-politik dan komunitas pesisir yang menggantungkan hidupnya dari laut. Fenomena ini dikenal sebagai coastal and marine grabbing – praktik perampasan ruang laut. Berapa besar dampak bagi komunitas tempatan dan ekosistem pesisir dan laut saat ini?
Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), BRIN bersama Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), The Samdhana Institute, dan Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI) telah melakukan riset dan meluncurkan buku Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo – Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025 lalu.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menawarkan urgensi pembaruan tata kelola laut di Indonesia. Kepala OR IPSH BRIN,Yan Rianto mengatakan bahwa buku “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan” lahir dalam momentum yang sangat tepat, ketika tengah menyaksikan berbagai bentuk ketegangan antara pembangunan keberlanjutan, eksploitasi dan hak-hak komunitas pesisir. Menurutnya, buku ini berhasil menyajikan refleksi mendalam dan jujur tentang praktik coastal dan marine grabbing di Indonesia dan Filipina.
Dari ‘pagar laut di Tangerang’ yang menutup akses nelayan dan menimbulkan skandal sertifikasi lahan di atas air, hingga eksploitasi wilayah nomadik Orang Laut di Kepulauan Riau akibat tambang pasir, juga reklamasi Teluk Manila yang menggusur warga miskin kota atas nama ‘pembangunan’. “Semua kasus ini menampilkan gejala serupa, yaitu ruang hidup masyarakat pesisir direbut oleh kekuatan yang lebih besar dan kerap kali dibenarkan melalui kebijakan negara,” ungkapnya.
Dikatakan, BRIN mengajak masyarakat luas untuk membangun kolaborasi keilmuan yang berdampak pada perubahan kebijakan publik, khususnya di dalam isu kelautan dan perikanan. Sementara, Antropolog Maritim BRIN sekaligus editor buku, Dedi S Adhuri menjelaskan peluncuran buku ini memiliki relevansi yang sangat kuat, khususnya di tengah maraknya praktik perampasan ruang laut (marine grabbing) di Indonesia, yang meminggirkan hak-hak masyarakat pesisir. “Buku ini memberikan rekomendasi bahkan desakan kepada pemerintah Indonesia menyediakan skema perlindungan hak masyarakat pesisir, sebagaimana dimandatkan oleh Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945,” tegas Dedi.
Seturut dengan itu, Dosen Antropologi Universitas Indonesia, sekaligus Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Suraya Afif mengungkapkan AAI memiliki perhatian yang sangat besar pada isu perampasan ruang laut. Ia menekankan sebagai satu-satunya organisasi profesi di bidang antropologi di Indonesia, AAI sangat peduli. AAI sangat memperhatikan semakin maraknya kasus perampasan kawasan laut dan pantai oleh kelompok pemodal yang sering kali mendapat dukungan pemerintah. AAI menilai, perampasan laut dan pantai ini berdampak buruk pada masyarakat pesisir, baik laki-laki maupun perempuan, yang penghidupannya sangat bergantung pada ketersediaan sumber-sumber laut yang dapat dimanfaatkan secara jangka panjang. “Sudah saatnya semua pihak peduli dengan persoalan ini dan mendorong adanya penyelesaian yang memberikan keadilan bagi masyarakat pesisir yang terdampak,” kata Suraya.

Sebuah kapal hand and line yang menangkap ikan di Bacan melewati kawasan Tanjung Gorango Bacan Halmahera Selatan foto M Ichi
Direktur Indonesia Operation Samdhana Institute, Martua Sirait mengatakan bahwa buku ini mengungkap masalah struktural yang lebih besar, terutama mengenai nasib suku Nomad/Semi Nomad Laut yang masih belum mendapatkan kepastian akan masa depan dan cara hidupnya. Ini baik dalam regulasi yang mendukung keberlangsungan hidupnya, pengakuan atas jelajahnya secara hukum, dan perlindungan akan masa depan dengan cara penghidupannya.
“Hal ini juga dihadapi oleh Masyarakat Adat Nomad/Semi Nomad kita di daratan, seperti Orang Rimba di Jambi, Orang Punan di Kalimantan, dan juga orang O’Hongana Manyawa di Maluku Utara,” sebutnya.
Dirinya mengatakan, melalui buku ini, para akademisi dan ahli hukum serta penggiat lainnya dipanggil untuk membantu mencarikan cara baru atau terobosan hukum melindungi komunitas pesisir laut dengan segala kearifan budayanya, yang harus mendapatkan perlindungan negara.
Dia berharap buku ini tidak hanya menjadi bacaan akademis, tetapi juga menjadi alat perjuangan, simpul pembelajaran, dan undangan kerja sama antar pihak. Secara serius mencarikan jalan terbaik bagi masyarakat adat dan komunitas lokal pesisir laut, khususnya kelompok yang paling rentan, yaitu komunitas Nomad/Semi Nomad laut untuk dapat terus mempertahankan cara hidupnya. Dalam hal ini, upaya untuk mencari dan mendapatkan jawaban bagi perlindungan, pengakuan, serta pemajuannya masih terus dilakukan.
Kegiatan ini dihadiri juga beberapa tokoh seperti Emil Salim, seorang ekonom dan politisi, yang juga pernah menjabat Menteri Indonesia (terakhir Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Kabinet Pembangunan V), Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Kabinet Pembangunan VI dan Mas Achmad Santosa, CEO OJI.
Kegiatan ini diharapkan membuka ruang dialog antara penulis, akademisi, pembuat kebijakan, masyarakat sipil, serta komunitas pesisir, guna memperluas pemahaman dan memperkuat gerakan advokasi untuk keadilan laut di Indonesia.(aji/ rilis BRIN)
- Penulis:
