Anak Muda Pulau Bacan Dorong Literasi, Konservasi dan Ekonomi
- account_circle
- calendar_month Ming, 5 Okt 2025
- visibility 140
Bentuk Komunitas, Kampanye Lindungi Satwa, Buat Perdes dan Kelompok Tani
Suasana di kawasan zero point pusat Kota Labuha Halmahera Selatan terlihat sibuk. Jumat (11/7/2025) siang itu sejumlah anak muda tengah menyiapkan acara pendukung kegiatan Merayakan Hari Keragaman Burung Indonesia (MKBI) yang dilaksanakan LSM Burung Indonesia. Kegiatan ini adalah bagian dari Festival Konservasi Satwa Liar Maluku Utara yang digelar, bersama sejumlah komunitas yang berfokus pada isyu konservasi dan perlindungan alam.
Ini adalah adalah upaya meningkatkan kesadaran akan kekayaan jenis burung di Indonesia serta pentingnya pelestarian habitatnya. Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan. Mulai dari pameran foto keanekaragaman hayati burung Maluku Utara, pameran organisasi pemerhati lingkungan, pekan kreasi mewarnai kehati untuk anak, cerdas cermat konservasi satwa liar untuk SMA dan bebarapa agenda lain.
“Tujuannya memperkenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan jenis burung di Indonesia. Selain itu mempromosikan konservasi yakni menyampaikan pesan penting pelestarian burung dan habitatnya. Termasuk menumbuhkan rasa cinta dan apresiasi terhadap burung dan lingkungan,” kata Beny Aladin Koordinator LSM Burung Wilayah Maluku.
Dalam pelibatan komunitas, ada Komunitas Pelestarian Satwa Sibela (Kompas), yang membantu kegiatan tersebut. Kompas ini sebenarnya telah bekerja mendorong upaya penyelamatan satwa liar terutama paruh bengkok di wilayah Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela Pulau Bacan Halmahera Selatan.

Ketua Kompas Dela Safita Subarno (24) bercerita, upaya yang telah mereka lakukan untuk penyelamatan satwa liar dan habitatnya sudah 6 tahun ini. Gadis asal Desa Gandasuli Pulau Bacan Halmahera itu bilang, Kompas merupakan komunitas anak muda di ibukota Kabupaten Halmahera Selatan yang berdiri sejak 2019 lalu. Bergerak di bidang konservasi yang awalnya diinisasi anak -anak muda Desa Gandasuli Kecamatan Bacan Selatan Kabupaten Halmahera Selatan. Tentu katanya ada peran Burung Indonesia.
“Pendirian awal komunitas ini adalah dari anak-anak muda desa Gandusuli. Namun kini setelah 6 tahun beraktivitas anggota komunitas datang dari berbagai desa ikut bergabung. Komunitas ini awal pendiriannya hanya 7 orang. Saat ini sudah di atas 30 anggota bergerak jika ada kampanye maupun aksi aksi lainnya,” cerita Dela.
Hal yang mendorong anak muda desa Gandasuli bergerak hingga sekarang, karena melihat praktek perburuan satwa liar terutama paruh bengkok yang marak sejak lama. Gerakan ini juga dilakukan karena ada kekuatiran jika tidak cepat dicegah suatu saat satwa-satwa liar ini tinggal cerita. Saat ini setelah 6 tahun, isyu yang dikampanyekan juga tidak sebatas perlindungan satwa liar. Tetapi ikut mendorong usaha ekonomi produktif warga. Sebab jika hanya berkampanye soal perlindungan tanpa mendorong ekonomi akan sia- sia kampanye yang dilakukan. Pasalnya perburuan akan tetap terjadi
“Tujuan mendorong anak muda melibatkan masyarakat lakukan kampanye dan edukasi lingkungan. Terutama terkait eksploitasi dan penangkapan satwa liar burung. Paling penting juga melakukan monitoring perburuan burung serta perusakan habitat,” ujar Dela.
Dia bilang penangkapan dan perburuan burung ini tidak sekadar kesenangan tetapi sudah menjadi mata pencarian. “Hal ini sangat mengancam burung paruh bengkok di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela Bacan.
Karena itu sosialisasi dan kampanye tidak sebatas pelarangan penangkapan satwa burung, tetapi juga perlu ada penyadaran bahwa ada usaha lain menjadi solusi,” katanya.
Diakui komunitas ini turut dibantu LSM Burung Indonesia yang melakukan pendampingan masyarakat desa di sekitar hutan cagar alam Gunung Sibela. Ketika mereka masuk mendampingi warga di bidang pertanian, komunitas juga ikut mensosialisasikan bahwa burung paruh bengkok dilindungi. Cara ini dilakukan agar masyarakat bisa mengalihkan mata pencarian bertani dari tanaman tahunan seperti kelapa pala, coklat dan cengkih, juga bisa bertanam hortikutura. Cara ini dilakukan lebih awal untuk memberikan pemahaman bahwa satwa yang diburu dan perjualbelikan sebenarnya dilindungi. Tidak itu saja, diberikan penyadaran bahwa jika satwa terus diburu maka akan mengalami kepunahan.
Selain mensosialisasikan larangan penangkapan dengan berbagai regulasi pendukungnya, komunitas juga turut mendorong pembuatan Peraturan Desa (Perdes). Perdes ini diinisiasi pada tahun 2020. Perdes tersebut menjadikan Desa Gandasuli satu-satunya desa di Halmahera Selatan bahkan Maluku Utara, memiliki Perdes khusus Perlindungan Satwa Paruh Bengkok.
Perdes Nomor 2/2020 itu, mengatur secara spesifik perlindungan satwa liar maupun habitatnya. Tidak itu saja jika ada warga yang melanggar ada sanksinya bahkan secara hukum. Tujuan Perdes itu adalah menjaga kelestarian satwa liar yang dilindungi, sebagai upaya turut menjaga keseimbangan alam, sehingga mendukung kelangsungan hidup dan meningkatkan mutu hidup masyarakat Desa Gandasuli.
Kata Dela, awalnya masyarakat berat menerima Perdes itu. Terutama pemburu burung paruh bengkok. Hanya saja terus didorong dengan melibatkan berbagai pihak di desa, akhirnya warga menerima hingga bisa diimplemetasikan.

Komunitas KOMPAS memberi edukasi konservasi dan lingkungan kepada anak-anak SD di Bacan foto KOMPAS
“Di kampung itu ada banyak pemburu burung paruh bengkok. Mereka tidak hanya penangkap burung tetapi juga menjadi penampung sebelum dijual ke agen. Patut bersyukur karena upaya membuat Perdes itu bisa berdampak. Warga tidak lagi menangkap burung dan focus aktivitas berkebun ikut menanam tanaman hortikltura dan usaha produktif lainnya,” katanya.
Di komunitas sendiri ada tiga hal ikut didorong yakni, Literasi, Konservasi dan Ekonomi. Untuk gerakan literasi ikut membangun perpustakaan desa. Gerakan literasi ini tidak hanya di desa Gandasuli di mana komunitas berada tetapi juga ke desa desa tetangga.
Untuk konservasi, ikut lakukan monitoring hutan di sekitar cagar alam termasuk penangkapan burung maupun satwa liar lain yang dilindungi. Untuk bidang ekonomi salah satu didorong pembentukan kelompok tani dan kelompok usaha produktif. Ada beberapa olahan hasil perkebunan telah dibuat misalnya sirup dan manisan pala.
Pendampingan oleh LSM Burung ikut mendorong Komunitas Kompas massive kampanye “Kami juga sudah dorong masyarakat bentuk kelompok tani. Saat ini kelompok tani sudah bergerak dengan menanam tanam hortikultura,” kata Dela.
Sementara mereka yang memiliki satwa burung yang dipelihara, ada yang secara sukarela melepasnya. Ini dilakukan melalui pendekatan dan pemberian pemahaman soal kondisi paruh bengkok yang makin terancam di alam liar saat ini. “Kita buat pendekatan dan bicara soal burung dilindungi ini. Kita juga cerita perlunya pekerjaan alternatif agar kebiasaan menangkap burung tidak dilakukan lagi,”tutupnya.

Hasil produksi olahan pala dalam bentuk sirup dan manisan yang dibuat warg Desa Gandasuli Bacan Selatan yang diinisiasi oleh KOMPAS, foto Kompas
Saiful MS salah satu anggota dan pendiri Komunitas Kompas bercerita dia bersama kawan-kawannya mendirikan komunitas ini awal dari rasa peduli kelompok pemuda desa karena kondisi cagar alam yang banyak dijamah. Berbagai aktivitas dilakukan di cagar alam Gunung Sibela. Terutama perburuan satwa, pembalakan dan perkebunan. Awalnya ikut membantu LSM Burung dalam pengamatan dan identifikasi satwa burung di Kawasan cagar alam.
“Ketika ikut bergabung dan melihat banyak aktivitas warga mengancam keberadaan cagar alam, kemudian diajak kelompok pemuda yang lain membuat perkumpulan pemuda. Dari situ muncul ide mendirikan komunitas ini,” kisahnya.
Tujuannya tentu meminimasir perburuan burung paruh bengkok yang makin massive. Termasuk pembalakan dan perkebunan yang masuk dalam kawasan. Upaya ini perlu dilakukan karena secara aturan dilarang menjamah kawasan cagar alam. Ketika aktivitas itu terjadi, habitat satwa ikut terancam. Apalagi di Cagar Alam Sibela banyak satwa tidak hanya burung paruh bengkok. Ada monyet atau macaca dan jenis serangga yang endemic.
Dia bilang, penangkapan burung paruh bengkok di Desa Gandasuli, di bawah tahun 2018 sesuai hasil survei dan identifikasi yang dilakukan, per hari untuk penangkap aktif bisa mendapatkan puluhan ekor. Kala itu ada 4 penangkap beraktivitas tiap hari. Selain itu ada banyak penangkap musiman yang hanya sekadar hobi. “Perburuan yang begitu massive sudah pasti mengancam keberaadaan populasi paruh bengkok. Paling banyak ditangkap adalah nuri ternate, kaktua putih dan nuri bayan,” katanya.
Berdasarkan hasil identifikasi ada 100 lebih jenis burung di Cagar alam ini. Belum lagi serangga seperti kupu-kupu Bacan dan lebah raksasa. Burung paruh bengkok ada spesies kasturi Ternate dan Nuri pipi merah, selain itu ada juga bidadari Halamahera (semioptera wallaci), kupu kupu dan jenis burung lain seperti belibis, kuntul belang dan berbagai jenis burung migran. Bidadari Halmahera misalnya burung endemic yang pertama kali ditemukan Alfred Russle Wallace di Pulau Bacan. Begitu juga lebah raksasa (Megachile pluto) lebah terbesar di dunia itu pertama kali ditemukan AR Wallace juga di Pulau Bacan.
“Cagar alam ini sebenarnya sangat kaya keanekaragaman hayati seperti pernah dicatat AR Wallace. Karena itu komunitas merasa penting mengampanyekan perlindungannya,” jelasnya.
Selain burung, keberadaan jenis satwa lain terutama reptile dan serangga seperti kupu kupu juga akan terancam. Apalagi Kupu- kupu Bacan juga jadi sasaran perburuan. Habitatnya juga terancam karena perkebunan dalam kawasan. Hal ini katanya, yang mendorong komunitas ikut mengampanyekan perlindungan satwa dan habitatnya. “Sejak 2019 saat komunitas ini ada dan ikut mengampanyekan perlindungan satwa dan habitatnya, aktivitas perburuan mulai berkurang hingga 2025 ini,” ujarnya.

Bersama berbagai kelompok masyarakat melakukan pembersihan lingkungan foto KOMPAS
Beny Aladin Siregar Koordinator Burung Indonesia Wilayah Kepulauan Maluku Senin (28/7/2025) mengakui, keterancaman karena aktivitas di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela. Yang serius itu adanya perburuan dan alih fungsi untuk perkebunan warga terutama yang menanam kelapa, pala dan cengkih. “Pembukaan lahan perkebunan dan juga penambangan emas tanpa izin di Desa Kubung Bacan Selatan itu gangguan yang terjadi di dalam kawasan,” katanya.
Terkait perburuan satwa liar terutama burung paruh bengkok di Pulau Bacan masih terjadi di dua desa. Pertama desa Gandasuli Bacan Selatan dan Amasing di Kecamatan Bacan. Perburuan itu dampaknya sangat terasa terutama ancaman populasi satwa paruh bengkok. Hasil survei Burung Indonesia 2019 menunjukkan adanya penurunan populasi sama seperti di pulau Halmahera dan Obi.
“Sejarahnya dari dulu di Pulau Bacan itu ada dua desa yakni Gandasuli dan Amasing warga menjadi penangkap burung. Burung- burung itu diperjualbelikan. Desa Gandasuli beririsan langsung Cagar Alam Gunung Sibela karena itu berdampak langsung dengan satwa burung di cagar alam tersebut. “Data data ini juga terkonfirmasi dalam laporan sebelumnya oleh lembaga Pro Fauna yang melakukan riset. Penyebab utamanya adalah perburuan untuk diperdangakan,”jelas Beny.
Komunitas Kompas, menurut Beny kehadirannya memberi pengaruh. Ini upaya mengarustamakan pesan konservasi dan strategi kampanye. Tidak itu saja mereka menjadi konstituen konservasi di Desa. Komunitas ini adalah salah satu kakuatan potensial. Terutama mendampingi dan memberi pemahaman tentang biodeversitas. Adanya komunitas ini mereka bergerak mengampanyekan dan mau mengawasi perburuan dan perdagangan yang mengancam.(*)
- Penulis:
