Dampak Perubahan Iklim di Ternate, Kota Pesisir dan Pulau Kecil (2)
- account_circle Redaksi
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 7

Aksi nelayan dan warga memprotes dan meminta pemerintah mengatasi dampak banjir rob dan geombang pasang yang rusaki alat talud dan alat tangkap nelayan pada 13Oktober 2025.
Nelayan Terancam di Laut, Hasil Tangkapan Makin Menurun
Gafur Kaboli (59) tahun sudah dua hari tidak melaut. Ditemui Selasa (25/11/2025) sekira pukul 12.20 WIT di rumahnya di Kelurahan Jambula Kota Ternate Selatan, dia mengaku istrahat mengingat cuaca tidak menentu. Dia bercerita jika aktivitas melaut para nelayan Kota Ternate saat ini sangat beresiko karena cuaca yang kadang berubah tiba-tiba saat mereka di laut. Dia bilang kadang saat keluar dari rumah laut teduh tetapi saat di tengah laut cuaca berubah bahkan menjadi ancaman bagi nelayan. “Kondisi cuaca saat ini sangat beresiko dengan cuaca yang berubah ubah tidak menentu,”kata Gafur yang juga Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisonal (KNTI) Maluku Utara itu.
Dia bilang, nelayan kecil gunakan alat tangkap sederhana dengan armada tangkap 1,5 sampai 2 GT. Mereka merasakan dampak serius akibat cuaca yang berubah-ubah secara radikal di laut. Dia menyebutkan, nelayan di kampungnya belum ada yang alami kecelakaan atau peristiwa naas di laut karena perubahan cuaca yang sulit diprediksi tersebut. Tetapi nelayan di kelurahan lain di Ternate tak hanya korban perahu tenggelam dihantam gelombang, korban jiwa dan hilang tidak ditemukan juga terjadi tiap saat.

Seorang nelayan kelurahan Jambula menurunkan alat pancing dan hasil tangkapannya usai melaut, foto Ikram
Data yang dihimpun melalui laporan berbagai media sepanjang 2025, korban nelayan Kota Ternate dan sekitarnya akibat cuaca buruk tinggi. Februari 2025 dua nelayan asal Ternate dinyatakan hilang akibat cuaca buruk. Setelah terombang ambing selama dua hari di tengah laut akhirnya ditemukan selamat. Perahu mereka rusak dihantam gelombang. Sudarwin Hasrat (43) dan Udin Rope (60) warga Mangga Dua, Kota Ternate akhirnya bisa diselamatkan tim Basarnas.
Pada 5 Agustus 2025 seorang nelayan asal Tidore bernama Rustam Abas (40) tahun ditemukan meninggal dunia setelah jatuh akibat perahunya dihantam gelombang. Jasad korban ditemukan setelah 4 hari dilakukan pencarian. Terbaru kecelakaan nelayan di perairan Batang Dua, Kota Ternate terjadi Rabu (3/12) sekira pukul 08.00 WIT. Perahu mereka terbalik dihantam gelombang saat memancing di sekitar rumpon. Beruntung korban berenang menyelamatkan di di rumpon terdekat. Selanjutnya ada nelayan sekitar rumpon berusaha menghubungi pihak Basarnas meminta pertolongan. Dua nelayan akhirnya bisa diselamatkan tim Basarnas.Keduanya adalah Wahab Samad (60 tahun), dan Bobi (16) warga Kota Tidore Kepulauan Maluku Utara.Kasus-kasus ini hanya untuk kejadian di laut sekitar Ternate dan Tidore. Belum termasuk di wilayah kabupaten lainnya.
Gelombang tinggi disertai angin kencang yang mengancam nelayan tidak hanya saat mereka di laut. Di wilayah pesisir, juga perahu milik nelayan jadi korban. Seperti peristiwa di Kota Ternate dan sekitarnya Selasa (7/10/2025). Puluhan perahu milik nelayan di Kelurahan Jambula Kota Ternate Selatan rusak parah. Tidak itu saja, penahan ombak di pesisir juga hancur berantakan. Tembok yang dibangun untuk melindungi perahu nelayan di pantai Jambula hancur. Akibat peristiwa ini nelayan dan warga Kelurahan Jambula mendesak Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Malut segera mengatasi dampak bencana tersebut.
Pemerintah dianggap lamban merespons kondisi yang dialami para nelayan. Karena keluhan itu warga bersama nelayan menggelar aksi dan menutup akses jalan utama di kelurahan dengan perahu nelayan yang rusak. Tujuannya, mendesak pemerintah mengambil langkah mengatasi dampak bencana perubahan iklim yang terjadi.
Desakan melalui aksi massa nelayan dan warga ini, membuat pemerintah menjanjikan segera membangun infrastrutur yang mereka butuhkan pada 2026 mendatang. “Kita akan bangun talud penahan ombak. Untuk fasilitas alat tangkap berupa perahu dan mesin yang rusak akibat akibat bencana gelombang pasang, kita ganti segera,”janji Gubernur Malut Sherly Tjoanda saat datang mendengar tuntutan warga Jambula waktu itu.
Ekonomi Nelayan Juga Terancam Perubahan Iklim
Dampak yang ditimbulkan perubahan iklim tidak hanya bencana. Bagi nelayan persoalan ini juga jadi ancaman serius ekonomi mereka. Dampak yang dirasakan ketika gelombang tinggi dan tidak bisa melaut maka nelayan harus memutar otak. “Kalau melaut bisa hidup jika tidak melaut tidak bisa makan,” kata Ico Djiko nelayan Kelurahan Sangaji Kota Ternate Utara. Karena itu jika akibat cuaca buruk akan sangat menganggu ekonomi mereka. JIka tidak bisa melaut seminggu saja nelayan seperti dirinya susah ekonominya. Apalagi sebagai nelayan kecil dengan alat tangkap dan armada sederhana. Jika tak ada hasil tangkapan maka tidak bisa mendapatkan uang. Jika datang hujan disertai angin dan gelombang kadang selama sepekan tidak bisa melaut.
Senada dengan Ico, Gafur Kaboli nelayan Jambula yang juga Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Maluku Utara menuturkan hal yang sama. Menurut Gafur dampak perubahan iklim bagi nelayan tidak semata-mata soal bencana tetapi menyangkut hasil tangkapan dan wilayah tangkapan yang semakin jauh. Sebagai nelayan kecil yang setiap hari menangkap ikan tuna, persolan ini makin menyusahkan.
Dia bilang dampak perubahan iklim sangat dirasakan nelayan seperti dirinya. Hal ini karena sulit memprediksi kondisi cuaca setiap hari. Jika dulu orang bisa memprediksi kondisi cuaca. 6 bulan angin selatan jalan dan 6 bulan angina utara. Sekarang tidak bisa lagi. Perubahan iklim ini katanya isyu global yang dampaknya dirasakan langsung nelayan seperti dirinya.
Dia bilang dampaknya luar biasa. Hasil tangkapan menurun dan wilayah tangkapan makin jauh. Di bawah 2017 masih bisa memancing tuna di sekitar pulau Ternate dan Maitara. Sekarang sudah tidak lagi, ikan sudah sangat menjauh.
“Saya memancing sudah di atas 60 mil laut, dengan sekali memancing ongkos seperti BBM dan es untuk

Perahu nelayan Kelurahan Jambula yang diparkir belum melaut, menunggu laut teduh, foto Ikram
mengawetkan ikan sudah Rp 1,5 juta bahkan sampai Rp 2juta. Dulu sehari memancing sudah bisa balik. Sekarang kadang sampai 3 hari di laut, jika hasil tangkapan belum bisa menutupi ongkos yang kita keluarkan,”keluhnya. Karena itu katanya masalah global ini berdampak luar biasa bagi nelayan. Tidak hanya ancaman keselamatan di laut tetapi juga ancaman ekonomi nelayan.
Terkait apa yang sedang dihadapi nelayan saat ini, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Perikanan (KIARA) Susan Herawaty Selasa, (3/12/2025), menjelaskan, fenomena peningkatan hujan dan banjir, pulau yang semakin tenggelam, nelayan yang semakin sulit melaut karena cuaca buruk, perlu dipahami bahwa itu dampak perubahan iklim. Hal ini terjadi, sebenarnya karena aktivitas manusia itu sendiri. Paling berdampak itu misalnya industry ekstraktif dan kegiatan eksploitatif yang tersebar di pesisir laut dan pulau- pulau kecil. Menurut dia, pemerintah juga harusnya melihat bencana yang terjadi terutama di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat dari dampak perubahan iklim.
“Ada satu fenomena yang diabaikan pemerintah seperti bencana banjir rob. Tidak pernah ditetapkan sebagai sebuah kasus bencana nasional. Tidak menganggapnya sebagai sebuah dampak perubahan iklim, pemerintah tidak mau bicara perubahan iklim. Ini yang mengubah bobot bencana yang terjadi meskipun berdampak serius bagi masyarakat di wilayah pesisir. Padahal itu juga kewajiban yang harus dilakukan Negara. Jika ditetapkan sebagai bencana nasional, pemerintah wajib bertanggung jawab mengurusnya,”katanya.
Paling nyata kasus banjir sebesar kejadian di Sumatera, pemerintah lamban menetapkan peristiwa itu menjadi bencana nasional. Sama seperti kasus-kasus banjir rob yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Dia bilang, harunya melihat krisis iklim ini tidak dalam konteks hanya seperti pemadam kabakaran. Misalnya bicara dampak yang ditimbulkan kenaikan muka air laut, tidak sekadar bangun tanggul atau menanam mangrove. Tetapi mitigasnya harus dilakukan secara holistic. Contoh riilnya bagaimana negara dan pemerintah membagi pengelolaan ruang darat dan laut di Indonesia. Ruang terbuka hijau, hutan termasuk hutan mangrovenya hilang. Bahkan laut ikut dikapling.

Proses evakuasi dua orang nelayan asal Tidore yang jatuh dari perahunya mancing karena dihantam gelombang pada 3 Desember 2025, foto Basarnas
“Menurut saya kita bicara mitigasi iklim ini sulit karena semua sudah hancur dirusak investasi, yang urusannya bicara lebih pada Pendapatan Negara bukan Pajak. Tidak bisa kita mau lakukan mitigasi perubahan iklim secara parsial,” jelasnya .
Mitigasi perubahan iklim dengan melakukan marine prtocted area, menanam mangrove dan lain-lain tetapi di lain sisi, izin-izin tambang diberikan secara massive lalu juga diminta membangun pelabuhan secara besar-besaran. Ini menunjukan kekacauan berpikir. Hal ini tidak sejalan dengan semangat semua orang bicara mitigasi perubahan iklim. Yang terjadi malah menjadikan krisis iklim sebagai proyek. Hal ini yang membuat berat Indonesia hari ini. Tidak heran ketika pemerintah membangun solusi palsu perubahan iklim akhirnya dimana- mana masyarakat termasuk di pulau-pulau kecil teriak-teriak karena merasakan dampak yang luar biasa.
“Coba dicek berapa banyak masyarakat di pulau-pulau kecil alih profesi karena dampak perubahan iklim yang dirasakan. Belum lagi bicara dampaknya bagi anak-anak maupun perempuan bisa hidup sehat. Semua sudah tercerabut,”tutupnya. (*)
Penulis:Mahmud Ici
Tulisan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan (SIEJ) dalam fellowship Road to COP 30. Liputan ini focus menulis tentang dampak-dampak perubahan iklim yang dirasakan public di tingkat tapak
- Penulis: Redaksi
