Dampak Perubahan Iklim di Ternate, Kota Pesisir dan Pulau Kecil (Habis)
- account_circle Redaksi
- calendar_month 1 jam yang lalu
- visibility 6

Baniir-yang tiba tiba turun dari daerah puncak Kelurahan Rua meski tidak terjadi hujan di Kelurahan Rua September-2025 lalu,foto Rifandi
Dampak Langsung Perubahan Iklim di Kota Ternate
Dampak perubahan iklim yang mengancam kehidupan manusia saat ini nyata adanya. Kondisi itu dirasakan tidak hanya oleh mereka di pulau besar. Di pulau kecil seperti Ternate juga sama. Pulau kecil memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi dan dampaknya pun berlapis. Ancaman perubahan iklim dalam 10 tahun terakhir tidak hanya berdampak pada kerugian material tetapi juga adanya korban yang tidak sedikit.
Jika di Kelurahan Rua, dampak perubahan iklim berupa hujan dengan intensitas hujan tinggi setiap saat menyebabkan banjir bandang berulang, kurang lebih 2 kilometer dari situ yakni di Kelurahan Jambula Kota Ternate Selatan juga menerima dampak yang sama. Dua kelurahan yang sebagian warganya nelayan itu ketika terjadi hujan angin dan gelombang sangat merasakan dampaknya.
Data yang dirilis dalam dokumen Laporan Rencana Aksi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kota Ternate tahun 2025 yang dikutip dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, menyebutkan ada 9 jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Ternate. Yakni gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, gelombang ekstrem dan abrasi, serta konflik sosial. Namun ada tiga jenis bencana selama tahun 2020 – 2023 yang paling menonjol. Terbanyak adalah banjir dan tanah longsor. Bencana akibat perubahan iklim itu, dialami berulangkali oleh warga di Kota Ternate bahkan sudah menyebabkan puluhan jiwa menjadi korban.

Kondisi rumah di bantaran sungai di Rua yang diterjang banjir bandang Agustus 2024 dan mengalami rusak berat.-foto-Andi-
Mei 2012 banjir lahar dingin karena hujan dengan intensitas tinggi melanda Kota Ternate. Dalam kejadian banjir tersebut mengakibatkan 5 orang warga tewas dan 4 orang hilang. Selain itu banjir lahar dingin itu juga menyebabkan rumah warga rusak berat. Warga yang tewas akibat banjir lahar dingin itu ada di Kelurahan Maliaro, Dufa Dufa, dan Kelurahan Tubo. Agustus 2024 peristiwa banjir terjadi di Kelurahan Rua Kota Ternate menyebabkan 19 warga tewas tertimbun material tanah, pasir dan batu yang terbawa dalam banjir itu. Banjir bandang juga berulang terjadi di Pulau Moti dan Pulau Hiri yang masuk wilayah Kota Ternate.
Selain banjir, warga masih menghadapi banjir rob dan gelombang pasang menghantam kawasan pantai. Warga kota Ternate yang tempat tinggalnya dekat kawasan pantai merasakan dampak serius gelombang pasang dan abrasi pantai. Desember 2021 gelombang pasang melanda Ternate membuat, 46 rumah warga di Kelurahan Sangaji hancur disapu ombak. Tidak itu saja akibat adanya gelombang pasang menyebaban abrasi pantai di Pulau Ternate yang mengurangi bibir pantai hingga puluhan meter.
Pantai di Kelurahan Sulamadaha Kota Ternate mengalami abrasi dan pengurangan bibir pantai hingga puluhan meter. Di Pantai Masirete di wilayah Kelurahan Sulamadaha alami pengurangan bibir pantai hingga 25 meter.
Dampak bencana iklim yang lain kenaikan air laut hingga terjadi intrusi air laut di beberapa tempat hingga mencemari sumber air warga. Peristiwa ini terjadi di Ternate pada 2015 di Kelurahan Sangaji Kota Ternate Utara. Akibat kenaikan permukaan air laut dan abrasi parah, sumur yang selama ini digunakan untuk kebutuhan air menjadi tercemar. Bahkan dampaknya, air yang disuplai Perusahaan Daerah (PDAM) Kota Ternate juga tercemar hingga 2020 lalu.

Kerusakan rumah akibat-banjir-rob di Ternate awal 2022 -foto warga Sangaji
Di dalam RPJMD Kota Ternate 2021- 2026 mengidentifikasi kawasan rawan bencana berdasarkan jenis bencana terkait bencana hidrometeorologi yakni kawasan rawan tanah longsor terdapat di hampir seluruh wilayah Kota Ternate, terutama di kawasan dengan tingkat kemiringan lereng di atas 40%. Sedangkan kawasan rawan banjir terdapat di Kota Ternate terdiri dari banjir genangan, banjir rob dan banjir bandang/kiriman.
Untuk banjir genangan terjadi di beberapa kelurahan, antara lain, Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Mangga Dua Utara, Kelurahan Bastiong Talangame, Kelurahan Bastiong Karance, Kelurahan Gamalama, Kelurahan Jati, Kelurahan Santiong, Kelurahan Salero dan Kelurahan Akehuda. Untuk banjir rob terjadi di beberapa kelurahan di wilayah pesisir pantai. Sedangkan banjir bandang terjadi akibat meluapnya air dari beberapa sungai/kalimati/barangka di Kota Ternate, antara lain : Kelurahan Tubo, Kelurahan Dufa- Dufa, Kelurahan Rua, Togafo, Kelurahan Loto, Kelurahan Marikurubu, Kelurahan Kampung Pisang, Kelurahan Takoma, Kelurahan Tanah Tinggi.
Data BPBD Kota Ternate tahun 2020- 2023 menunjukan kejadian bencana hidrometeorologi sebanyak 40 kejadian dengan uraian banjir 9 kali, tanah longsor 7 kali, abrasi 8 kali dan puting beliung 6 kali.
Sebagai kota pulau Ternate turut terdampak bencana Banjir Rob. Ketika gelombang pasang ditambah curah hujan tinggi mengakibatkan banjir rob di kelurahan di pesisir. Analisis tingkat urgensi banjir rob didapatkan terjadi di 54 kelurahan dari 78 kelurahan di Kota Ternate.
12 kelurahan memiliki tingkat urgensi banjir rob sangat tinggi yakni Kota Baru, Gamalama, Makassar Timur, Sasa, Fitu, Kalumata, Kayu Merah, Bastiong Talangame, Bastiong Karance, Sangaji, Dufa-Dufa, dan Jambula. Terdapat 6 kelurahan yang masuk ketegori tinggi yakni Kelurahan Gambesi, Toboko, Ngade, Kasturia, Kulaba dan Rua. 13 Kelurahan masuk kategori cukup tinggi yakni Kelurahan Muhajirin, Mangga Dua, Salero, Tafure, Bula, Tobololo, Sulamadaha, Takome, Kastela, Mayau, Takofi, Kota Moti, dan Tafamutu.
“Dari identifikasi dokumen RPJMD dan data kejadian bencana, Ternate merupakan Kota rentan bencana hidrometeorologi. Karena itu diperlukan tindakan kesiapsiagaan bencana baik kesiapan pemerintah kota, masyarakat, maupun sistem peringatan dini,” demikian isi salah sau poin dalam dokumen laporan rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kota Ternate tahun 2025.
Hasil riset Abdul Muthalin Angkotasan dan kawan kawan dari Universitas Khairun Ternate pada 2016 menunjukan pengikisan akibat abrasi cukup serius. Dalam 30 tahun terakhir kawasan pantai di Ternate mengalami pengikisan hingga 15 meter. Melalui riset berjudul Analisis Perubaha Garis Pantai di Pantai Barat Daya Pulau Ternate provinsi Maluku Utara. Dalam riset ini mereka menganalisis laju perubahan garis pantai akibat adanya abrasi dan sedimentasi yang terjadi di kawasan tersebut.

Pohon ketapang di tepi parntai Masirete Kelurahan Sulamadaha Ternte tumbang disapu gelombang foto-m-ichi.jpeg
Menurut Angkotasan fenomena abrasi pantai biasa dipicu berbagai faktor. Pertama, energi gelombang besar dengan intensitas tinggi menghantam pesisir pantai setiap tahun. Kedua, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, volume air laut bertambah turut berpengaruh tak langsung dalam proses abrasi pantai. Ketiga, ada penambangan pasir pantai oleh masyarakat yang menyebabkan fungsi alami pantai menurun dalam menghadapi hantaman enegi gelombang.
Keempat, eksploitasi vegetasi pelindung pantai seperti mangrove dan vegetasi Pescaprea (kayu baru, ketapang dan lain-lain). Kelima, kerusakan ekosistem terumbu karang dan lamun yang menyebabkan fungsi peredam energi gelombang dari kedua ekosistem itu.(*)
Penulis:Mahmud Ici
Tulisan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan (SIEJ) dalam fellowship Road to COP 30 2025 di Belem Brazil. Liputan ini fokus menulis tentang dampak-dampak perubahan iklim yang dirasakan public di tingkat tapak
- Penulis: Redaksi
