Save The Children-KLHK-AJI Usung Aksi Generasi Iklim
Laporan global Save the Children “Born into the Climate Crisis” dan dirilis September 2021 menjelaskan, krisis iklim di Indonesia membawa dampak nyata dan dirasakan oleh anak-anak saat ini. Anak-anak di Indonesia yang lahir tahun 2020 berisiko menghadapi 3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, 2 kali lebih banyak mengalami kekeringan serta 3 kali lebih banyak gagal panen. Lebih buruk lagi, dampak krisis iklim ini membuat jutaan anak dan keluarga jatuh dalam kemiskinan jangka panjang di Indonesia.
“Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak menanggung beban berat karena tumbuh
dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan
secara fisik, sosial, dan ekonomi,” jelas Selina Patta Sumbung Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia melalui rilis resmi yang disampaikan ke media Jumat 22 April 2022 baru baru ini. Rilis ini dikeluarkan bertepatan dengan Hari Bumi yang diperingati seluruh warga dunia.
Save the Children di Indonesia terdaftar dengan nama entitas Yayasan Save the Children Indonesia berdasarkan SK Kemenkumham No. AHU-0001042.AH.01.05 Tahun 2021. Save the Children Indonesia merupakan bagian dari gerakan global Save the Children Internasional yang bekerja memperjuangkan hak-hak anak di lebih dari 120 negara di dunia. Di Indonesia, misi Save the Children dilakukan sejak tahun 1976.
Dijelaskan, krisis iklim juga mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak dalam berbagai bentuk. Tinjauan literatur yang dilakukan oleh Save the Children Indonesia pada 2022, menemukan sejumlah fakta sebagai berikut:
Secara nasional, hasil prediksi iklim sepuluh tahunan menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan jumlah curah hujan selama El Nino. Berdasarkan prediksi peluang terjadinya peristiwa cuaca kering
ekstrim pada 2020-2025. Beberapa wilayah diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrim di atas normal (BAPPENAS 2018). Pada 2020, Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kejadian bencana menyebutkan terdapat sebanyak 4.650 total kejadian bencana alam dan 99,2% merupakan kejadian bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.
Di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, jumlah pengungsi akibat kekeringan bertambah secara signifikan dari 21.688 jiwa tahun 2018 menjadi 6 kali lebih besar pada 2019 hingga mencapai 139.746 jiwa, termasuk anak-anak.
Di Sulawesi Selatan, jumlah populasi terpapar gelombang tinggi dan abrasi diperkirakan mencapai
265.307 jiwa. Dari angka tersebut, 40.508 jiwa merupakan kelompok rentan termasuk anak-anak.
Anak-anak yang berada di wilayah Kepulauan Selayar, Takalar, Pangkajene Kepulauan dan Makassar memiliki risiko tinggi abrasi.
Di Jawa Barat, catatan statistik tahun 2022 menyebutkan jumlah kejadian banjir mencapai 247 pada tahun 2021. Dari kejadian tersebut, korban meninggal dunia 20 orang, 282 mengalami luka dan
1.440.252 orang terdampak dan mengungsi termasuk anak-anak. Jumlah kelurahan/desa terdampak
banjir dari seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat bertambah secara signifikan sejak 2019 hingga 2021.
Save the Children menekankan masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram ini. Jika
kenaikan suhu dijaga tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, dampak dari ancaman iklim pada generasi mendatang dapat berkurang, seperti: kekeringan sebesar 39%, 38% untuk banjir sungai, 28% untuk gagal panen, dan sebesar 10% untuk kebakaran hutan.
“Investasi pada penurunan emisi seharusnya berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan upaya penurunan risiko dan meningkatkan kapasitas adaptasi pada anak. Untuk itu, Save the Children
Indonesia menggandeng berbagai pihak, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk bersama-sama melakukan aksi adaptasi melalui Aksi Generasi Iklim,” jelas Selina.
Aksi Generasi Iklim merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi dan dipimpin oleh anak-anak dan orang muda dengan tujuan untuk memastikan anak-anak dan keluarga terutama mereka yang terdampak
secara langsung dari krisis iklim dapat melakukan upaya-upaya bertahan hidup dan beradaptasi, serta
memperkuat sistem terkait penanganan perubahan iklim yang lebih berpihak pada anak. “Setelah mendapatkan penjelasan mengenai dampak krisis iklim, saya lebih sadar bahaya perubahan iklim yang kita rasakan hari ini. Sudah saatnya anak-anak ikut bergerak dan dilibatkan, karena kami yang akan merasakan dampak terburuk dari krisis iklim saat ini dan pada masa mendatang,” jelas Ranti, Perwakilan Child Campaigner Jawa Barat Save the Children Indonesia.
Menurut Ranti, pemerintah harus melibatkan anak-anak dalam membangun kesadaran dampak krisis
iklim dan menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk anak-anak berpendapat.
“Harusnya, semua anak bisa mulai berpartisipasi. Tapi sayangnya masih banyak anak-anak belum tahu
tentang krisis iklim dan bagaimana mereka bisa berperan untuk membuat perubahan. Sebagai Child
Campaigner, saya ingin mengajak semua anak bergerak dan tidak takut untuk bersuara.” ujar Ranti.
Aksi Generasi Iklim diprakarsai oleh anak-anak Indonesia terutama mereka yang berhadapan dan
terdampak langsung dari krisis iklim, anak-anak tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat, Sulawesi
Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
“Inisiasi Aksi Generasi Iklim yang dilakukan oleh anak-anak dan orang muda berkontribusi pada
program adaptasi perubahan iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hal ini juga sejalan dengan berbagai rekomendasi internasional tentang pentingnya melibatkan anak dan orang muda dalam upaya adaptasi,” jelas Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim – KLHK.
CEO Kabar Pulau