Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Kampung » Kebun Sagu Dijual, Cadangan Pangan Warga Sagea Hilang (1)

Kebun Sagu Dijual, Cadangan Pangan Warga Sagea Hilang (1)

  • account_circle
  • calendar_month Ming, 7 Jan 2024
  • visibility 328

Rintik hujan pada Minggu (26/11/2023) sekira pukul 17.00 WIT itu, tak menyurutkan semangat Abdurahman Jabir (50) dan Anwar Ismail (67). Keduanya bahu membahu dengan kedua tangan, mengangkat tepung sagu yang telah mengendap di dalam perahu–wadah penampung perasan pokok sagu. 

Tepung terisi dalam tiga karung besar hasil perasan  empulur setengah batang pohon sagu, yang panjangnya kurang lebih 15 meter. Diambil dari bagian pangkal dan ujung pohon. Dipotong pendek  ukuran sehasta kurang lebih 20 potong setelah itu dibelah dan dibersihkan, lalu digiling menggunakan mesin parut. Mereka memerasnya menggunakan sumber air dari Sungai Sagea tak jauh dari kampung.

Batang pohon sagunyasendiriberada agak jauh dari tempat mesin parut dan perasan sagu. Untuk mencapainya menggunakan perahu menyusuri kali Sagea dan melawan arus sekira 500 meter. Begitu tiba,  lalu jalan kaki 30 menit.  

Pohon sagu yang diolah ini ada di lahan milik keluarga Abdurahman berbatasan langsung dengan dua kawasan konsesi tambang di wilayah itu. “Pohon sagu yang diolah ini ditanam orang tua kami. Lahan kebun sagu ini  tidak jual karena ini sumber makanan kami,” jelas Mano begitu Abdurahman biasa disapa.

Mano adalah salah satu warga Sagea tersisa yang masih konsisten mengolah sagu, memenuhi pangan keluarganya. Sagu yang dia olah juga menjadi  sumber uang pendidikan anak anak, biaya kesehatan dan simpanan.Tak itu saja dia ikut membantu mempertahakan sagu tetap bisa dikonsumsi warganya.

“Hasil olahan ini langsung habis diborong warga karena mereka sudah pesan duluan,” kata Abdurahman Jabir. 

Dia cerita, setiap hari warga cari sagu untuk dimakan. Sayangnya di Desa Sagea  dan Kiya  dua desa berdekatan, nyaris sudah tidak ada lagi orang mengolah pohon sagu. Karena itu juga, tepung sagu mentah maupun yang telah dibakar dalam bentuk lempengan mesti didatangkan dari Kecamatan Patani di Halmahera Tengah maupun dari Maba Kabupaten Halmahera Timur. 

Kebun sagu di desa Sagea yang kini telah dijual ke perusahaan tambang nikel PT Song Hai telah dibangun mess karyawan-perusahaan tersebut. foto-M-Ichi

Kurangnya stok sagu, membuat hasil olahannya laris manis. Ukuran satu karung yang beratnya 40 kilogram bisa dihargai Rp300 ribu. “Mengolah pohon sagu ini tidak lama. Satu hari kerja sudah bisa dapatkan dua karung sagu. Jika jadi tepung sagu dan sudah dikarungkan, pembeli langsung datang dan bayar,” katanya.

Apalagi jika diolah atau dimasak dalam bentuk lempeng atau dikenal dengan sagu lempeng, keuntungannya berlipat. Satu karung tepung sagu yang dibeli dengan harga Rp300 ribu menghasilkan Rp700 ribu sampai Rp750 ribu.

Minimnya hasil olahan sagu, untuk memenuhi kebutuhan dia sendiri  tidak mampu melayani kebutuhan masyarakat. Karena olah sagu punya prospek menjanjikan dia mengaku tidak tertarik lagi bekerja di tambang. Apalagi sampai  menjual lahan sagu memenuhi kebutuhan. Tidak akan dilakukan.

“Kebun masyarakat hampir semua sudah dijual.  Tetapi punya orang tua kami tidak dijual sehingga saya bisa olah sagu seperti sekarang. Kalau kita jual nanti tidak bisa olah sagu lagi.  Ini sumber hidup kami. Dari dulu orang Sagea ini olah  dan makan sagu.,” katanya.     

Dia bilang, lahan sagu ini menjadi harapan hidup mereka di tengah maraknya penjualan lahan sejak 2017 hingga kini.

Penjualan lahan itu termasuk kebun sagu di kampung Sagea yang dikenal dengan sebutan aha sagu. Aha sagu adalah satu hamparan lahan kebun sagu yang sangat luas dan dimiliki  secara komunal. Atau juga milik keluarga tertentu di Sagea.  

“Aha sagu itu semua sudah dijual,” kata Ibrahim Sigoro tokoh masyarakat Sagea. Ibrahim yang juga mantan camat Weda Utara 6 tahun lalu itu bercerita, penjualan  tanah termasuk lahan sagu, dimulai sejak 2017 lalu.  Kala itu  dia masih menjabat sebagai camat. Waktu itu perusahaan tambang akan membeli lahan maka warga ramai ramai menjual lahan. Alasan mereka karena desakan kebutuhan. Selain itu jika tidak dijual akan kesulitan akses dan mengambil hasilnya jika perusahaan sudah beroperasi.   

Lahan sagu  yang telah dijual salah satunya ke perusahaan tambang bernama PT Song Hai yang berada tidak jauh dari desa Sagea. Luas lahan aha di desa ini mencapai 50  hektar. 

Akibat kebun sagu telah dijual ketika ada warga mau  mengolah sagu, harus meminta kembali kepada pihak perusahaan. Saat ini kebun sagu yang sudah dibeli itu  karena belum digusur perusahaan, maka masih bisa dimanfaatkan.

“Pihak perusahaan juga persilakan jika mau ambil hasilnya,” kata Abdurahman.

Dia bilang pihak perusahaan mempersilakan warga diolah dan ambil hasilnya. Jika sudah digusur lalu dijadikan wilayah konsesi tambang,  sumber pangan itu akan lenyap. Jika sudah begitu warga akan semakin kesulitan mendapatkan sagu.

Pohon sagu tersisa tak jauh dari Kampung Sagea yang siap dipanen. Foto M Ichi

“Saat ini saja sudah sangat sulit apalagi kebun kebun sagu yang  ada ini digusur,” katanya. 

Dia bilang, di daerah lingkar tambang ini tidak hanya kebun sagu yang dijual, hutan mangrove, kebun kelapa pala dan cengkih serta lahan lahan kosong hampir semua dilego ke perusahaan.     

Kepala Desa Sagea Arif Thaib tidak menampik masifnya penjualan lahan termasuk kebun sagu di kampungnya. Sagu menjadi salah satu sumber pangan lokal penting, namun  kebun sagu  dijual ke perusahaan  sehingga terancam habis. 

Pihaknya mengaku tidak bisa membatasi masyarakat menjual lahan terutama kebun sagu karena itu milik masyarakat dan menjadi kemauan secara sadar. Pihaknya hanya mampu memberikan pertimbangan. Selanjutnya menjadi hak warga mau jual atau tidak.

Terkait kebun yang dijual ke perusahaan termasuk kebun sagu  dia terkesan menyalahkan warga yang makin malas  mengolah sagu. “Lahan sagu nyaris habis karena warga sudah tidak mau lagi mengolah sagu. Di Desa Sagea ini  tersisa dua orang aktif mengolah sagu. 

“Warga sebenarnya merindukan makan sagu tiap saat. Tetapi semakin jarang orang mengolah sagu. Akhirnya harus beli dari daerah lain,” katanya.

Warga di Sagea dan desa di daerah lingkar tambang Halmahera Tengah kebanyakan mendapat pasokan sagu  dari Kecamatan Patani Halmahera Tengah dan Maba di Halmahera Timur.Dia bilang lagi, ini ancaman serius karena sumber pangan ini tidak bisa diharapkan lagi diolah warganya.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah Yusmar Ohorela dikonfirmasi menjelaskan wilayah Kecamatan Weda Utara, masuk delineasi kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Meski kawasan lahan bekelanjutan namun penjualan lahan sulit terbendung.    Pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi membatasi warga. Hal ini karena ada kebutuhan masyarakat yang juga mendesak.

“Saya sudah coba lakukan pendekatan dengan memberikan penjelasan terkait lahan. Misalnya lahan pertanian selain untuk kegiatan pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman sayuran, juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tempat tinggal bagi anak cucu. Tapi karena alasan kebutuhan mendesak sehingga kebun juga dijual,” jelasnya.

Dia contohkan, temuannya di lapangan, ada sepuluh petani punya lahan berdekatan. Lahan milik tujuh petani telah dijual kepada perusahan tambang. Sementara tigaorang tidak menjualnya. Nanti lahan yang sudah terjual akan digunakan perusahaan, karena dikhawatirkan berdampak terhadap lahan mereka, akhirnya tiga orang ini berpikir dari pada terkena dampak, mereka jual lagi. (bersambung)

Tulisan ini merupakan liputan fellowship kerja sama AJI Indonesia Kurawal Foundation dan Independen.id

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Pohon di Tepi Jalan Ternate Jadi Korban Pemilu

    • calendar_month Kam, 18 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 281
    • 2Komentar

    Bawaslu Lalai APK Dipaku dan Diikat Kawat di Batang Pohon?    Pohon dengan ragam tinggi dan diameter berderet di sepanjang jalan kota Ternate dari Utara sampai ke selatan di sepanjang jalan protokol. Batang pohon  angsana atau  nama ilmiahnya Pterocarpus indicus Willd dan  pohon trembesi atau  samanea saman terlihat ditempeli  spanduk kampanye partai maupun calon kontestan pemilihan […]

  • Malut Segera Miliki Dewan Kebudayaan Daerah

    • calendar_month Sel, 2 Feb 2021
    • account_circle
    • visibility 242
    • 1Komentar

    Ronggeng Togal sebagai sebagai sebuah tradisi dan kebudayaan orang Makeang perlahan mulai tegeerus kebudayaan pop/foto PakaTiva

  • Belantara Fondation Bahas Nilai Ekonomi dan Pendugaan Karbon Hutan

    • calendar_month Kam, 17 Mar 2022
    • account_circle
    • visibility 213
    • 0Komentar

    Hutan di kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata Halamhaera

  • Obi Kaya Keanekaragaman Hayati

    • calendar_month Sen, 7 Mar 2022
    • account_circle
    • visibility 208
    • 0Komentar

    Ditemukan Cecak Jarilengkung  Jenis  Baru  Diberi Nama Papeda Pulau-pulau di Maluku Utara ternyata kaya berbagai  keanekaragaman hayati. Di hutan- hutan pulau tersebut ditemukan beragam jenis flora dan fauna. Terbaru  ditemukannya cicak jarilengkung yang diberi nama cicak papeda. Cecak ini ditemukan di Pulau Obi  di  daerah Kawasi yang saat ini hutannya gencar dieksploitasi  tambang nikel. Cerita […]

  • Cadangan Nikel Habis 6 Tahun Lagi  

    • calendar_month Rab, 8 Nov 2023
    • account_circle
    • visibility 266
    • 0Komentar

    Asosiasi Penambang Nikel Indonesia menuturkan bahwa cadangan bijih nikel bermutu tinggi di Indonesia, selaku negara produsen utama, mungkin akan habis dalam waktu sekitar 6 tahun.  Bijih Nikel Indonesia yang memiliki kadar tinggi sebesar 1,7% terutama digunakan untuk produksi nickel pig iron (NPI), yakni bahan baku baja tahan karat berisiko mengalami kekurangan bahan.  Adapun, bijih nikel […]

  • KLHK Diminta Seriusi Dugaan Cemaran Nikel di Halmahera 

    • calendar_month Sel, 7 Mar 2023
    • account_circle
    • visibility 208
    • 1Komentar

    Kondisi sungai Wale yang tercemar kerukan tambang pada 2019 lalu foto M Ichi

expand_less