Home / Kabar Malut

Rabu, 12 Agustus 2020 - 16:14 WIT

Maluku Utara Kaya Rempah, Minim Pangan Fungsional

Buah pala yang belum dipanen

Buah pala yang belum dipanen

Maluku Utara yang terhampar pulau-pulaunya,memiliki kekayaan pangan local dan rempah  Terutama  pala dan cengkih. Kekayaan ini bahkan tercatat dalam sejarah sebagai barang buruan bangsa Eropa di masa lalu.  Sejarawan Maluku Utara (alm) M Adnan Amal Tomagola dalam risetnya berjudul Portugis dan Spanyol di Maluku (2009) mengupas tentang kehadiran dua bangsa ini  berebut rempah. Mereka  datang silih berganti menancapkan kuasanya  ke negeri pulau ini. Portugis misalnya datang ke Ternate setelah menaklukan Malaka 1511. Malaka adalah markas besar armada  mengontrol perdagangan rempah di Nusantara termasuk dari Maluku. Selanjutnya 1521, dua kapal asal Spanyol tiba di Tidore dengan tujuan  sama, ingin menguasai perdagangan rempah di dua kerajaan pulau Ternate dan Tidore.  Terakhir Belanda.  Dalam berbagai literatur  ditulis pertama kali Belanda menginjakkan kakinya di Maluku  pada  1588.  Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Kedua kapal ini berada di Ternate dari akhir Mei hingga awal Juni 1588, juga punya tujuan yang sama mengeruk rempah.

Sejarah masa lalu ini  jadi bukti rempah begitu diburu. Artefak sejarah  juga  masih berdiri tegak di berbagai tempat di Ternate dan Tidore. Benteng tempat penyimpanan rempah, pusat pemerintahan, pertahanan perang hingga tanaman rempah pala dan cengkih ditanam menghiasi semua pulau besar dan kecil  negeri ini.

Sayang,  kejayaan rempah masa lalu itu  seiring waktu  ikut redup. “Emas coklat” itu tak lagi menjadi  buruan utama untuk bahan obat dan makanan   sehingga  dibeli dengan harga  tinggi.  Saat ini para petani yang menanam pala dan cengkih hanya mengandalkan perdagangan raw material. Akhirnya harga hanya ditentukan pembeli. Sementara produk lainya belum dimanfaatkan. Pala misalnya, petani di Maluku Utara hanya menjual biji dan fuly (mice). Sementara daging yang membungkus biji dan fuly belum dimanfaatkan maksimal. Kebanyakan petani masih membiarkan menjadi waste. Begitu juga cengkih. Belum banyak yang diolah menjadi bahan lain yang lebih berguna  sebagai pangan fungsional.   

Masalah ini dibahas dalam diskusi online Himpunan Alumni (HA) IPB Bogor Maluku Utara  bekerja sama dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) dan Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Balitbangtan Malut bertema Potret Kemandirian Pangan Lokal Maluku Utara.

Dr Muh. Assagaf peneliti ahli muda bidang pasca panen BPTP  berbicara tentang Potensi Produk Pangan Fungsional Berbasis Rempah Lokal Maluku Utara. Soal ini dia menjelaskan,  condong  bicara  pangan fungsional  karena bahan bakunya cukup banyak  dan kualitasnya  cukup baik. Untuk pagan fungsional di samping memiliki nilai gizi seperti protein, lemak dan lain, beberapa  punya bioaktif yang berhubungan dengan kesehatan. Dia lantas mencontohkan, di Indonesia pangan fungsional seperti jamu,  sudah  dikonsumsi  masyarakat   yang tentunya turut memberi   imun  dan bisa menyehatkan secara fisik. Dalam kondisi saat ini  dengan pandemi Covid-19 sangat layak  dipikirkan  rempah  dibuat menjadi pangan fungsional.

 Assagaf menyentil Hipocrates yang menyatakan “gunakanlah makanan sebagai obatmu dan obatmu sebagai makananmu. Dari sini katanya  dipahami bahwa dampak makanan  seharusnya  punya  manfaat untuk kesehatan. Dia juga mengutip  pakar   Jepang pada 1991 mendefinsikan  makanan fungsional yang memiliki efek spesifik terhadap kesehatan. Hal ini karena ada kandungan senyawa kimia  tertentu pada bahan makanan atau  mengandung bioaktif. Makanan ini jika dikonsumsi, secara tidak langsung memiliki dampak bagi kesehatan. Sementara menurut BPOM pangan fungsoional itu  secara alamiah maupun  melalui proses,  mengandung satu atau lebih senyawa.

Dia bilang, berdasarkan kajian-kajian ilmiah, pangan fungsional dianggap mempunyai fungsi -fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Jika dikaitkan pangan fungsional dengan  pandemic Covid-19 saat ini,  tentu makanan  itu akan memberi efek sekunder.  “Jadi dapat meningkatkan imun pada saat adanya wabah korona  dan  bisa jadi makanan sebagai pendukung. “Memang  paling  utama adalah psyikologis seseorang untuk meningkatkan imun.  Jika seseorang mengalami stress, makanan tidak banyak membantu mengkatkan imun,” jelasnya.  

Di bilang trend penggunaan pangan fungsional ada beberapa kecenderungan yang bisa dimanfaatkan. Misalnya makanan yang  mampu menurunkan berat badan, contohnya makanan rendah kalori, makanan yang meningktakan kesehatan otak  dan mental, contohnya omega 3 DHA. Makanan ringat sehat,  contohnya  berbasis sayuran dan kacang kacangan. Buah buahan sebagai pangan fungsional menjadi makanan untuk fungsi pencernaan contohnya sereal dan yoghurt  serta makanan untuk gizi balita,   makanan yang sehat alami.

Hubungannya dengan rempah, menurut Assagaf potensinya karena berfungsi sebagai anti oksidan dan mikroba  serta berbagai fungsi lainnya. “Kita sebenarnya punya kekayaan sangat besar. Mega biodiversity dan didukung  juga trend kebiasaan hidup sehat dan alami yang pasarnya semakin luas.  Didukung masyarakat kota  serta  hidup sehat menjadi dambaan semua orang sebenarnya menjadi potensi  luar biasa,” katanya.

Baca Juga  KKR-MU Desak Presiden Cabut Perppu Cipta Kerja

Kandungan bahan pangan rempah juga memiliki kemampuan pengendalian pertumbuhan mikroba,  melalui aplikasi senyawa anti mikroba  dalam proses pengolahan pangan. Caranya dengan fortifikasi atau pengayaan senyawa anti mikrobaa dalam pala atau cengkih. Rempah pala  misalnya memiliki  anti mikroba  yang mampu  memberikan stimuno/ kekebalan tubuh bagi  bagi manusia. Sifat anti mikroba rempah rempah itu juga bisa meningkatkan umur simpan pangan  dan memberikan rasa  aman bagi konsumen. Saat ini aplikasi senyawa anti mikroba dari rempah mengalami perkembangan yang sangat pesat karena negara negara industry kembali melakukan pendekatan secara tradisional untuk melindungi ternak dan makanannya dari penyakit, binatang perusak dan kebusukan. 

Selain pala dan cengkih, Maluku Utara juga punya potensi rempah yakni jahe merah dan kayu manis. Kayu manis adalah salah satu tanaman yang dimanfaatkan kulitnya.  Pemanfaatnya sudah cukup besar yaitu sebagai bumbu masak atau seasoning  maupun sebagai rempah yang bisa  fortifikasi  pada bahan pangan lain.

Di Maluku Utara pengembangan pangan fungsional  sebenarnya sudah ada tetapi belum banyak. Buah pala yang dijualbelikan adalah biji dan fuli. Sementara daging  menjadi limbah. Potensi daging buah pala ini sangat besar bisa ribuan ton  saying terbuang percuma. Pemanfaatan daging  pala di Malut diakui mulai  berkembang baik. “Sesuai  eksplorasi yang dilakukan BPTP  2017 2018  ditemukan 26 produk dari pala dan dagingya  telah dikembangkan. Kemudian  sudah diinisasiasi untuk menghaslkan  produk  sekunder berupa minyak atsiri. Hasilny  cukup besar   jika memanfaatkan biji pala.

Pangan fungsional yang coba digerakan di Maluku Utara saat ini misalnya  air guraka atau air jahe.   UMKM sudah  membuat  air guraka. Selain itu ada juga  minuman Sarabati  yang dibuat di Tidore. Minuman sarabati ini, adalah campuran pala, cengkeh, gula merah, kayu manis,  jeruk dan nenas. “Minuman ini memiliki potensi dikembangkan jadi pangan fungsional. Secara tradisional, sarabati   disajikan dalam acara ritual adat Tidore.  Sarabati  punya peluang dibuat  instan. Saat ini masih dalam bentuk cair yang umur simpannya  tidak terlalu lama,” jelas Assagaf.

Ada juga sari buah pala. Di Ternate  sudah dikembangkan sari buah pala berkarbonase.   Minum sari buah ini seperti sprite. Saat ini juga sudah dikembangkan BPTP yakni teh pala. “BPPT Maluku Utara  telah mengembangkan teh pala  dengan memasukkan beberapa komponen lain selain rempah, yaitu stevia/pemanis rendah kalori  dan teh  hijau.  Teh   pala  ini tidak perlu ditambahkan gula karena ada stevia sebagai gula berkalori rendah  yang memiliki manfat untuk penderita gula. Jadi memberikan rasa yang berbeda. Kita memanfaatkan daun pala ini terinspirasi dari Kopi Gayo yang memanfaatkan  daun kopi. Teh hijau  dan teh hitam. Selain itu dikembangkan juga selai pala  lembaran, selai kenari  rasa pala lembaran selai  kenari lembaran leder buah pala,” katanya..  

Soal potensi Maluku Utara sebenarnya punya potensi besar untuk produksi pangan fungsional karena memiliki kekayaan produk bio farmasi dari  rempah. Daerah ini juga punya keungggulan dibanding  daerah lain.  Potensi bahan bakunya cukup banyak   dan menjadi sumber pendapatan ekonomi petani.  

Dosen  Institut Pertanian Bogor Doktor Sony Trison yang juga berbicara dalam seminar online ini  berharap  masyarakat di sekitar hutan harus memanfaatkan hasil hutan ini. Masyarakat  yang potensi hutannya cukup besar potensi ini seebnarnya menjadi peluang. Potensi pangan dari hutan terutama dari hutan alam atau sumber pangan dari alam terutama akar dan umbi umbian kacang kacangan, minyak dan lemak  biji dan buah buahan sayur sayuran rempah rempah bumbu bumbuan maupun obat obatan sangat kaya dan ini harus dimanfaatkan termasuk yang berasal dari rempah rempah ini.

Potensi  Pala Dijadikan Pangan Fungsional   

Di  Provinsi  Maluku Utara terutama Halmahera, menjadi  sentra  tanaman rempah di Indonesia. Bahkan di Halmahera ada tanaman pala yang berasal dari hutan alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat.   Produksi rempah ini  juga masih berada pada keunggulan kompratif. Yaitu  masih mengandalkan luas areal, produksi dan keragaman  jenis.  Belum diolah untuk  produk tahap selanjutnya seperti pangan fungsional.  Memang sudah ada tapi belum secara maksimal  digarap. Masih mengandalkan menjual  produk rempah  dalam bentuk biji atau produk mentah   Baru sedikit, menyentuh produk sekunder dan tersier. Padahal kondisi saat ini dengan dukungan teknologi dan trend pasar itu sudah terbuka untuk  produk sekunder maupun tersier dari rempah.

Dari sisi teknologi pengolahan, sebenarnya industri atau hasil-hasil penelitian tentang pengolahan produk sudah cukup maju. Kemudian pasar makanan kesehatan juga  terbuka luas. Ini akibat meningkatnya pendapatan, orang tidak hanya mengkonsumsi untuk mengenyangkan. Tapi ada peningkatan pada aspek kesehatan. Jadi mengkonsumsi untuk memperkuat daya tahan tubuh atau menghasilkan kesehatan yang lebih baik.

Baca Juga  Morotai Dijadikan Rute Pelayaran Nasional

“Saat ini sudah life style  dan jadi pola pangan di abada 21.  Hal ini  juga  perlu ada dukungan lembaga penelitian dan perguruang tinggi.  Bagaimana bisa meningkatkan effort untuk menghasilkan produk yang fungsional.  Tak hanya mengandalkan nilai gizi tapi ada nilai plus  yang berdampak pada kesehatan,” jelas M Assagaf.  

Bicara  potensi pala yang cukup luar biasa itu berdasarkan data   dari  pemerintah  Maluku Utara,   produksi pala dari Maluku Utara adalah nomor dua di Indonesia. Kontribusi produksi mencapai 19,8 persen produksi pala nasional.  Yang menyumbang produksi tertinggi pala secara nasional adalah   Aceh, yang  menyumbang produksi nasional sebesar 25,46 persen. Sulawesi Utara 14,79, Maluku 14,65, Papua Barat 11,93 persen, Provinsi lainnya 13,29 persen.

Untuk  Maluku Utara sebaran  produksi pala ada di 10 kabupaten/ kota.  

Sesuai data dinas pertanian provinsi Maluku Utara  potensi rempah di Maluku Utara sudah dibuat pembagian kawasan   dalam lima koridor.

Kawasan komoditas I yakni kawasan Pulau  Halmahera, kawasan pulau Bacan dan Obi, Kawasan Pulau Morotai, kawasan pulau Sula  dan kawasan  pulau Ternate Tidore.   Lima kawasan ini sudah ditentukan komoditas unggulannya pala  dan komoditas penunjangnya cengkih, kelapa kakao dan tanaman tahunan lainnya. 

Contoh produksi rempah  yang dihasilkan, dari kabupaten Halmahera Selatan saja setahun ada  521 ton biji pala dan 56,8 ton fuli pala. Sementara  daging buah pala mencapai 3223,7 ton dan minyak atsiri 46,89 ton. Halmahera Utara 1824 ton biji pala, 202,67 ton fuli 11.484 ton daging pala dan 116,64 ton minyak atsiri,  Halmahera Tengah 1809 ton biji pala 201 ton fuli pala.

Sementara  itu ada komoditas pendukung lainnya untuk tanaman perkebunan yakni kelapa dan cengkeh.  Kawasan komoditas kedua yakni  cengkeh  yang  sebaranya di seluruh kabupaten kota. Memang untuk cengkih Maluku Utara  tidak masuk dalam lima besar luas areal dan produksi  secara nasional. “Kita  masih di bawah Maluku sebagai  provinsi  penghasil cengkeh terbesar.  Luas perkebunan  cengkih  di Maluku Utara adalah  18703 hektar   dan  pala  38509 hektar. Pala dan cengkeh  baru pada produk primer, harga jualnya masih ditentukan  pembeli. Padahal  jika sudah diolah  jadi pangan fungsional  baik produk sekunder maupun  tersier harga bisa ditentukan. Minusnya juga  sampai sekarang belum kontinyu  hasil rempah Maluku Utara  diekspor langsung dari Maluku Utara ke daerah  tujuan  tapi  melalui pelabuhan Bitung Sulawesi Utara  dan Surabaya Jawa Timur.

Kawasan integrasi IV (Capai) cengkeh ayam dan padi mengkombinasikan rempah ternak dan pangan  berpusat di Halmahera Utara yakni Teluk Kao, Halmahera Barat di Jailolo Selatan dan Halmahera Timur di  Wasile Selatan. Komiditi pendukungnya  pala dan kelapa. Kawasan ini diintegrasikan  ternak  dan pangan terutama padi dan jagung. Luas areal tanam cukup besar  namun ekspor rempah masih dalam bentuk primer. Akhirnya  harga jual kebanyakan ditentukan pembeli.

Padahal   mengolah produk sekunder dan tersier akan lebih baik.  Di sini butuh  sentuhan teknologi untuk meningkatkan niai tambah dan fungsinya. Dengan ada sentuhan teknologi maka tidak bulky, pengolahannya mudah,  harga lebih mahal penggunaanya lebih beragam misalnya flavor dan fragrant.  Bisa dibuat pasta, tidak bulky pengolahan mudah harga meningkat, penggunanya juga beragam sebagai bumbu, bisa dibuat juga bubuk yang dapat didipersikan  ke suatu bahan sebagai media.

Prinsipnya pengolahan rempah saat ini ada yang bisa dalam bentuk tradisonal maupun modern pengolahan. Saat ini pengolahan tradisonal hanya pada bumbu masak sementara secara modern  belum terlalu banyak. Padahal  sebenarnya bisa meghasilkan bahan instan herbal atau meningkatkan stamina.  Bisa menghasilkan powder untuk  obat herbal dan jelly candy (permen). Rempah  untuk medis katanya sudah dikembangkan secara luas misalnya di India pengobata arioveda juga memanfaatkan rempah sebagai salah satu komponen dalam pengobatan.  

DPD HA IPB Malut M. Hidayah Marasabessy menjelaskan  mewujudkan kemandirian pangan local sangat penting karena Maluku Utara memiliki keunggulan komparatif pada pangan lokal fungsional,   berbasis rempah yang bisa bermanfaat sebagai food for medicine. Dalam masalah ini selanjutnya butuh inisiasi teknologi pengelolaan Pangan  untuk menghasilkan produk pangan fungsional yg   kekinian.  Potensi pangan lokal Malut  berlimpah seperti Sagu, Pisang, Singkong, kelapa dan rempah. Keunggulan komperatif inilah  perlu  ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif  dengan sentuhan teknologi Pengelolaan Pangan. Begitu juga hutan  sebagai sumber penghasil pangan lokal perlu mendapat perhatian  banyak pihak. “Kontribusi Program Perhutanan Sosial dalam kemandirian pangan dapat diwujudkan melalui akses kelola kawasan, kelola usaha dan kelola kelembagaan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memiliki peran  strategis sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak yang secara langsung bersentuhan dengan petani sekitar  hutan,” katanya.(*)  

Share :

Baca Juga

Hutan di Pulau Obi yang dikelola HPH foto FWI

Kabar Malut

Malut Masuk 10 Provinsi yang Terus Alami Deforesfasi

Kabar Malut

Setahun Ribuan Kali Gempa Terjadi di Malut

Kabar Malut

Perempuan dan Kaum Disabilitas Berperan untuk Inklusivitas Ekonomi Biru

Kabar Malut

Senjakala Hutan dan Lahan di Maluku Utara

Kabar Malut

Harusnya Maluku Utara Miliki Balai KSDA
Pelabuhan Morotai

Kabar Malut

Morotai Dijadikan Rute Pelayaran Nasional

Kabar Malut

Temuan Ngengat Baru, Matikan Cengkih Petani

Kabar Malut

Halmahera Timur, Ayam Mati di Lumbung Padi?