Maluku Utara yang terhampar pulau-pulaunya,memiliki kekayaan pangan local dan rempah Terutama pala dan cengkih. Kekayaan ini bahkan tercatat dalam sejarah sebagai barang buruan bangsa Eropa di masa lalu. Sejarawan Maluku Utara (alm) M Adnan Amal Tomagola dalam risetnya berjudul Portugis dan Spanyol di Maluku (2009) mengupas tentang kehadiran dua bangsa ini berebut rempah. Mereka datang silih berganti menancapkan kuasanya ke negeri pulau ini. Portugis misalnya datang ke Ternate setelah menaklukan Malaka 1511. Malaka adalah markas besar armada mengontrol perdagangan rempah di Nusantara termasuk dari Maluku. Selanjutnya 1521, dua kapal asal Spanyol tiba di Tidore dengan tujuan sama, ingin menguasai perdagangan rempah di dua kerajaan pulau Ternate dan Tidore. Terakhir Belanda. Dalam berbagai literatur ditulis pertama kali Belanda menginjakkan kakinya di Maluku pada 1588. Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Kedua kapal ini berada di Ternate dari akhir Mei hingga awal Juni 1588, juga punya tujuan yang sama mengeruk rempah.
Sejarah masa lalu ini jadi bukti rempah begitu diburu. Artefak sejarah juga masih berdiri tegak di berbagai tempat di Ternate dan Tidore. Benteng tempat penyimpanan rempah, pusat pemerintahan, pertahanan perang hingga tanaman rempah pala dan cengkih ditanam menghiasi semua pulau besar dan kecil negeri ini.
Sayang, kejayaan rempah masa lalu itu seiring waktu ikut redup. “Emas coklat” itu tak lagi menjadi buruan utama untuk bahan obat dan makanan sehingga dibeli dengan harga tinggi. Saat ini para petani yang menanam pala dan cengkih hanya mengandalkan perdagangan raw material. Akhirnya harga hanya ditentukan pembeli. Sementara produk lainya belum dimanfaatkan. Pala misalnya, petani di Maluku Utara hanya menjual biji dan fuly (mice). Sementara daging yang membungkus biji dan fuly belum dimanfaatkan maksimal. Kebanyakan petani masih membiarkan menjadi waste. Begitu juga cengkih. Belum banyak yang diolah menjadi bahan lain yang lebih berguna sebagai pangan fungsional.
Masalah ini dibahas dalam diskusi online Himpunan Alumni (HA) IPB Bogor Maluku Utara bekerja sama dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) dan Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Balitbangtan Malut bertema Potret Kemandirian Pangan Lokal Maluku Utara.
Dr Muh. Assagaf peneliti ahli muda bidang pasca panen BPTP berbicara tentang Potensi Produk Pangan Fungsional Berbasis Rempah Lokal Maluku Utara. Soal ini dia menjelaskan, condong bicara pangan fungsional karena bahan bakunya cukup banyak dan kualitasnya cukup baik. Untuk pagan fungsional di samping memiliki nilai gizi seperti protein, lemak dan lain, beberapa punya bioaktif yang berhubungan dengan kesehatan. Dia lantas mencontohkan, di Indonesia pangan fungsional seperti jamu, sudah dikonsumsi masyarakat yang tentunya turut memberi imun dan bisa menyehatkan secara fisik. Dalam kondisi saat ini dengan pandemi Covid-19 sangat layak dipikirkan rempah dibuat menjadi pangan fungsional.
Assagaf menyentil Hipocrates yang menyatakan “gunakanlah makanan sebagai obatmu dan obatmu sebagai makananmu. Dari sini katanya dipahami bahwa dampak makanan seharusnya punya manfaat untuk kesehatan. Dia juga mengutip pakar Jepang pada 1991 mendefinsikan makanan fungsional yang memiliki efek spesifik terhadap kesehatan. Hal ini karena ada kandungan senyawa kimia tertentu pada bahan makanan atau mengandung bioaktif. Makanan ini jika dikonsumsi, secara tidak langsung memiliki dampak bagi kesehatan. Sementara menurut BPOM pangan fungsoional itu secara alamiah maupun melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa.
Dia bilang, berdasarkan kajian-kajian ilmiah, pangan fungsional dianggap mempunyai fungsi -fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Jika dikaitkan pangan fungsional dengan pandemic Covid-19 saat ini, tentu makanan itu akan memberi efek sekunder. “Jadi dapat meningkatkan imun pada saat adanya wabah korona dan bisa jadi makanan sebagai pendukung. “Memang paling utama adalah psyikologis seseorang untuk meningkatkan imun. Jika seseorang mengalami stress, makanan tidak banyak membantu mengkatkan imun,” jelasnya.
Di bilang trend penggunaan pangan fungsional ada beberapa kecenderungan yang bisa dimanfaatkan. Misalnya makanan yang mampu menurunkan berat badan, contohnya makanan rendah kalori, makanan yang meningktakan kesehatan otak dan mental, contohnya omega 3 DHA. Makanan ringat sehat, contohnya berbasis sayuran dan kacang kacangan. Buah buahan sebagai pangan fungsional menjadi makanan untuk fungsi pencernaan contohnya sereal dan yoghurt serta makanan untuk gizi balita, makanan yang sehat alami.
Hubungannya dengan rempah, menurut Assagaf potensinya karena berfungsi sebagai anti oksidan dan mikroba serta berbagai fungsi lainnya. “Kita sebenarnya punya kekayaan sangat besar. Mega biodiversity dan didukung juga trend kebiasaan hidup sehat dan alami yang pasarnya semakin luas. Didukung masyarakat kota serta hidup sehat menjadi dambaan semua orang sebenarnya menjadi potensi luar biasa,” katanya.
Kandungan bahan pangan rempah juga memiliki kemampuan pengendalian pertumbuhan mikroba, melalui aplikasi senyawa anti mikroba dalam proses pengolahan pangan. Caranya dengan fortifikasi atau pengayaan senyawa anti mikrobaa dalam pala atau cengkih. Rempah pala misalnya memiliki anti mikroba yang mampu memberikan stimuno/ kekebalan tubuh bagi bagi manusia. Sifat anti mikroba rempah rempah itu juga bisa meningkatkan umur simpan pangan dan memberikan rasa aman bagi konsumen. Saat ini aplikasi senyawa anti mikroba dari rempah mengalami perkembangan yang sangat pesat karena negara negara industry kembali melakukan pendekatan secara tradisional untuk melindungi ternak dan makanannya dari penyakit, binatang perusak dan kebusukan.
Selain pala dan cengkih, Maluku Utara juga punya potensi rempah yakni jahe merah dan kayu manis. Kayu manis adalah salah satu tanaman yang dimanfaatkan kulitnya. Pemanfaatnya sudah cukup besar yaitu sebagai bumbu masak atau seasoning maupun sebagai rempah yang bisa fortifikasi pada bahan pangan lain.
Di Maluku Utara pengembangan pangan fungsional sebenarnya sudah ada tetapi belum banyak. Buah pala yang dijualbelikan adalah biji dan fuli. Sementara daging menjadi limbah. Potensi daging buah pala ini sangat besar bisa ribuan ton saying terbuang percuma. Pemanfaatan daging pala di Malut diakui mulai berkembang baik. “Sesuai eksplorasi yang dilakukan BPTP 2017 2018 ditemukan 26 produk dari pala dan dagingya telah dikembangkan. Kemudian sudah diinisasiasi untuk menghaslkan produk sekunder berupa minyak atsiri. Hasilny cukup besar jika memanfaatkan biji pala.
Pangan fungsional yang coba digerakan di Maluku Utara saat ini misalnya air guraka atau air jahe. UMKM sudah membuat air guraka. Selain itu ada juga minuman Sarabati yang dibuat di Tidore. Minuman sarabati ini, adalah campuran pala, cengkeh, gula merah, kayu manis, jeruk dan nenas. “Minuman ini memiliki potensi dikembangkan jadi pangan fungsional. Secara tradisional, sarabati disajikan dalam acara ritual adat Tidore. Sarabati punya peluang dibuat instan. Saat ini masih dalam bentuk cair yang umur simpannya tidak terlalu lama,” jelas Assagaf.
Ada juga sari buah pala. Di Ternate sudah dikembangkan sari buah pala berkarbonase. Minum sari buah ini seperti sprite. Saat ini juga sudah dikembangkan BPTP yakni teh pala. “BPPT Maluku Utara telah mengembangkan teh pala dengan memasukkan beberapa komponen lain selain rempah, yaitu stevia/pemanis rendah kalori dan teh hijau. Teh pala ini tidak perlu ditambahkan gula karena ada stevia sebagai gula berkalori rendah yang memiliki manfat untuk penderita gula. Jadi memberikan rasa yang berbeda. Kita memanfaatkan daun pala ini terinspirasi dari Kopi Gayo yang memanfaatkan daun kopi. Teh hijau dan teh hitam. Selain itu dikembangkan juga selai pala lembaran, selai kenari rasa pala lembaran selai kenari lembaran leder buah pala,” katanya..
Soal potensi Maluku Utara sebenarnya punya potensi besar untuk produksi pangan fungsional karena memiliki kekayaan produk bio farmasi dari rempah. Daerah ini juga punya keungggulan dibanding daerah lain. Potensi bahan bakunya cukup banyak dan menjadi sumber pendapatan ekonomi petani.
Dosen Institut Pertanian Bogor Doktor Sony Trison yang juga berbicara dalam seminar online ini berharap masyarakat di sekitar hutan harus memanfaatkan hasil hutan ini. Masyarakat yang potensi hutannya cukup besar potensi ini seebnarnya menjadi peluang. Potensi pangan dari hutan terutama dari hutan alam atau sumber pangan dari alam terutama akar dan umbi umbian kacang kacangan, minyak dan lemak biji dan buah buahan sayur sayuran rempah rempah bumbu bumbuan maupun obat obatan sangat kaya dan ini harus dimanfaatkan termasuk yang berasal dari rempah rempah ini.
Potensi Pala Dijadikan Pangan Fungsional
Di Provinsi Maluku Utara terutama Halmahera, menjadi sentra tanaman rempah di Indonesia. Bahkan di Halmahera ada tanaman pala yang berasal dari hutan alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Produksi rempah ini juga masih berada pada keunggulan kompratif. Yaitu masih mengandalkan luas areal, produksi dan keragaman jenis. Belum diolah untuk produk tahap selanjutnya seperti pangan fungsional. Memang sudah ada tapi belum secara maksimal digarap. Masih mengandalkan menjual produk rempah dalam bentuk biji atau produk mentah Baru sedikit, menyentuh produk sekunder dan tersier. Padahal kondisi saat ini dengan dukungan teknologi dan trend pasar itu sudah terbuka untuk produk sekunder maupun tersier dari rempah.
Dari sisi teknologi pengolahan, sebenarnya industri atau hasil-hasil penelitian tentang pengolahan produk sudah cukup maju. Kemudian pasar makanan kesehatan juga terbuka luas. Ini akibat meningkatnya pendapatan, orang tidak hanya mengkonsumsi untuk mengenyangkan. Tapi ada peningkatan pada aspek kesehatan. Jadi mengkonsumsi untuk memperkuat daya tahan tubuh atau menghasilkan kesehatan yang lebih baik.
“Saat ini sudah life style dan jadi pola pangan di abada 21. Hal ini juga perlu ada dukungan lembaga penelitian dan perguruang tinggi. Bagaimana bisa meningkatkan effort untuk menghasilkan produk yang fungsional. Tak hanya mengandalkan nilai gizi tapi ada nilai plus yang berdampak pada kesehatan,” jelas M Assagaf.
Bicara potensi pala yang cukup luar biasa itu berdasarkan data dari pemerintah Maluku Utara, produksi pala dari Maluku Utara adalah nomor dua di Indonesia. Kontribusi produksi mencapai 19,8 persen produksi pala nasional. Yang menyumbang produksi tertinggi pala secara nasional adalah Aceh, yang menyumbang produksi nasional sebesar 25,46 persen. Sulawesi Utara 14,79, Maluku 14,65, Papua Barat 11,93 persen, Provinsi lainnya 13,29 persen.
Untuk Maluku Utara sebaran produksi pala ada di 10 kabupaten/ kota.
Sesuai data dinas pertanian provinsi Maluku Utara potensi rempah di Maluku Utara sudah dibuat pembagian kawasan dalam lima koridor.
Kawasan komoditas I yakni kawasan Pulau Halmahera, kawasan pulau Bacan dan Obi, Kawasan Pulau Morotai, kawasan pulau Sula dan kawasan pulau Ternate Tidore. Lima kawasan ini sudah ditentukan komoditas unggulannya pala dan komoditas penunjangnya cengkih, kelapa kakao dan tanaman tahunan lainnya.
Contoh produksi rempah yang dihasilkan, dari kabupaten Halmahera Selatan saja setahun ada 521 ton biji pala dan 56,8 ton fuli pala. Sementara daging buah pala mencapai 3223,7 ton dan minyak atsiri 46,89 ton. Halmahera Utara 1824 ton biji pala, 202,67 ton fuli 11.484 ton daging pala dan 116,64 ton minyak atsiri, Halmahera Tengah 1809 ton biji pala 201 ton fuli pala.
Sementara itu ada komoditas pendukung lainnya untuk tanaman perkebunan yakni kelapa dan cengkeh. Kawasan komoditas kedua yakni cengkeh yang sebaranya di seluruh kabupaten kota. Memang untuk cengkih Maluku Utara tidak masuk dalam lima besar luas areal dan produksi secara nasional. “Kita masih di bawah Maluku sebagai provinsi penghasil cengkeh terbesar. Luas perkebunan cengkih di Maluku Utara adalah 18703 hektar dan pala 38509 hektar. Pala dan cengkeh baru pada produk primer, harga jualnya masih ditentukan pembeli. Padahal jika sudah diolah jadi pangan fungsional baik produk sekunder maupun tersier harga bisa ditentukan. Minusnya juga sampai sekarang belum kontinyu hasil rempah Maluku Utara diekspor langsung dari Maluku Utara ke daerah tujuan tapi melalui pelabuhan Bitung Sulawesi Utara dan Surabaya Jawa Timur.
Kawasan integrasi IV (Capai) cengkeh ayam dan padi mengkombinasikan rempah ternak dan pangan berpusat di Halmahera Utara yakni Teluk Kao, Halmahera Barat di Jailolo Selatan dan Halmahera Timur di Wasile Selatan. Komiditi pendukungnya pala dan kelapa. Kawasan ini diintegrasikan ternak dan pangan terutama padi dan jagung. Luas areal tanam cukup besar namun ekspor rempah masih dalam bentuk primer. Akhirnya harga jual kebanyakan ditentukan pembeli.
Padahal mengolah produk sekunder dan tersier akan lebih baik. Di sini butuh sentuhan teknologi untuk meningkatkan niai tambah dan fungsinya. Dengan ada sentuhan teknologi maka tidak bulky, pengolahannya mudah, harga lebih mahal penggunaanya lebih beragam misalnya flavor dan fragrant. Bisa dibuat pasta, tidak bulky pengolahan mudah harga meningkat, penggunanya juga beragam sebagai bumbu, bisa dibuat juga bubuk yang dapat didipersikan ke suatu bahan sebagai media.
Prinsipnya pengolahan rempah saat ini ada yang bisa dalam bentuk tradisonal maupun modern pengolahan. Saat ini pengolahan tradisonal hanya pada bumbu masak sementara secara modern belum terlalu banyak. Padahal sebenarnya bisa meghasilkan bahan instan herbal atau meningkatkan stamina. Bisa menghasilkan powder untuk obat herbal dan jelly candy (permen). Rempah untuk medis katanya sudah dikembangkan secara luas misalnya di India pengobata arioveda juga memanfaatkan rempah sebagai salah satu komponen dalam pengobatan.
DPD HA IPB Malut M. Hidayah Marasabessy menjelaskan mewujudkan kemandirian pangan local sangat penting karena Maluku Utara memiliki keunggulan komparatif pada pangan lokal fungsional, berbasis rempah yang bisa bermanfaat sebagai food for medicine. Dalam masalah ini selanjutnya butuh inisiasi teknologi pengelolaan Pangan untuk menghasilkan produk pangan fungsional yg kekinian. Potensi pangan lokal Malut berlimpah seperti Sagu, Pisang, Singkong, kelapa dan rempah. Keunggulan komperatif inilah perlu ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif dengan sentuhan teknologi Pengelolaan Pangan. Begitu juga hutan sebagai sumber penghasil pangan lokal perlu mendapat perhatian banyak pihak. “Kontribusi Program Perhutanan Sosial dalam kemandirian pangan dapat diwujudkan melalui akses kelola kawasan, kelola usaha dan kelola kelembagaan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memiliki peran strategis sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak yang secara langsung bersentuhan dengan petani sekitar hutan,” katanya.(*)
CEO Kabar Pulau