Dulu Kaya dari Perkebunan, Kini Lahannya Lenyap (2)
- account_circle
- calendar_month Sab, 31 Mei 2025
- visibility 526
Kabupaten Halmahera Tengah sebelum massivenya tambang nikel seperti sekarang, dikenal sebagai salah satu daerah pertanian dan perkebunan, kelapa, pala, cengkih dan kakao. Daerah ini juga memiliki beberapa kawasan transmigrasi sebagai lumbung pangan Halmahera Tengah.
Luas Kabupaten Halmahera Tengah mencapai 227.683 hektar. Namun dari luasan daratan itu saat ini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Artinya sekitar 60% sudah masuk industri tambang.
Ada WBN dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan ini adalah patungan tiga investor asal Tiongkok Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Kawasan IWIP merupakan perusahaan besar yang menguasai lahan di Weda Utara dan Weda Tengah. Selain itu ada juga PT Takindo Energi, PT First Pasific Mining, PT Zong Hai, PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).
Data BPS Halmahera Tengah 2015 menunjukan, luas perkebunan pala ada 11. 098,50 hektar. Kelapa 10.246,00 hektar, cengkih, 1.490,00 hektar, dan kakao 3.436,00 hektar. Di Weda Tengah yang sekarang menjadi pusat industry nikel, luas lahan pala mencapai 253,00 hektar. Kelapa 830,00 hektar, cengkih 70,00 hektar kakao 361,00 hektar.
Sementara jumlah produksi perkebunan kelapa dan pala lima tahunan sejak 2018 hingga 2022 berdasarkan data BPS menunjukan trend penurunan. 2018 Kelapa : 10.321 ton, pala 13.312. Pada 2019 kelapa ada 8.765,2 sementara pala tidak terdeteksi. Pada 2020 produksi kelapa : 8.097 ton dan pala 1.807,3.
Produksi perkebunan pada 2021 kelapa : 7.874,0 ton dan pala : 1.828,71 pada 2022 produksi kelapa : 1.835,0 ton dan pala 1.485,0 ton. Pada 2020, Dinas Pertanian Halmahera Tengah merilis panen padi di Desa Woejerana Weda Tengah salah satu desa lumbung pangan di Weda Tengah mencapai 147,28 ton. Pada 2021, panen petani turun drastis jadi 81 ton. Penurunan ini terjadi karena banjir yang merusak tanaman petani.
Desa yang berada 38 kilometer dari Kota Weda ini sebelumnya jadi penyokong pangan Halmahera Tengah dan beberapa kabupaten di Maluku Utara. Kini, kondisinya berubah, sejak banjir bandang besar menerjang desa ini 2020 dan 2021 lahan pertanian rusak tertimbun lumpur. Sejak terdampak banjir sawah jadi semak. Ada dugaan warga banjir terjadi karena hutan di hulu sudah jadi areal tambang nikel. Desa berpenduduk 256 keluarga yang berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat itu masuk Halteng sejak 1991 lalu. Desa ini dulunya lumbung pangan. Tapi kini jadi wilayah pelepasan lahan untuk PT IWIP.

Dulu petani kelapa di kawasan Weda Utara setiap 4 bulan mengolah kelapanya menjadi kopra dan dijual secara lokal maupun antarpulau. Kini seiring masuknya industri tambang, kebun kelapa juga hilang warga kini beralih aktifitas, foto ini adalah aktifitas warga Wale mengolah kelapa menjadi kopra, foto M Ichi
Ketika Kebun dan Lahan “Diambil” Ini Para Pemainnya
Kawasan industry IWIP diberi ruang kelola mencapai 4.027,67 hektar. Meski begitu di lapangan muncul konflik lahan dan hilangnya ruang hidup petani. Luasannya diakomodir dalam RTRW naik menjadi 13,784 hektar. Hal ini memunculkan kekuatiran dari warga.
Masry Santuli tokoh pemuda Sagea yang bersama orang tuanya Anwar Ismail, masih pertahankan tanah kebunnya. Mereka kuatir penambahan luasan kawasan industry PT IWIP itu berdampak terhadap lahan lahan kebun mereka. “Ini ancaman sangat serius kepada kami. Ancaman kehilangan ruang hidup secara massive,” katanya.
Saat ini saja lahan lahan sudah nyaris habis. Apalagi jika ada pengembangan kawasan industry ke bagian utara Weda termasuk desa Sagea dan sekitarnya. Di Sagea saat ini nyaris sudah tidak ada kebun. Semua lahan di tepi jalan raya antara Desa Sagea dan Desa Waleh semua sudah habis. Bahkan kawasan hutan mangrove saja dijual ke perusahaan tambang.
Tim penulis menemukan urusan ruang hidup dan lahan di kawasan PSN Weda Halmahera Tengah muncul masalah cukup pelik. Terutama saat negosiasi pembebasan dan pembelian lahan petani.
Dalam prosesnya ada keterlibatan banyak pihak. Selain perusahaan, pemerintah desa, makelar tanah tiap desa juga ikut bermain. Para makelar bekerja sama perusahaan, mendekati petani agar menjual tanah mereka.
Di momen penting seperti jelang hari raya keagamaan. Natal Desember atau jelang puasa Ramadhan dan hari raya idul fitri, mereka memanfaatkan kebutuhan mendesak dari warga. Akhirnya banyak yang tergiur dan menjual lahan mereka. Tidak hanya makelar, staf dan aparat desa juga ikut terlibat praktik ini.
Max Sigoro (65), warga Gemaf, termasuk di antara segelintir orang yang menolak menjual lahanya kepada perusahaan. Salah satu alasan dia, karena perusahaan belum memenuhi kewajibannya membayar lahan yang mereka tawar sebelumnya.
Dia cerita, jelang Natal tahun lalu, pihak perusahaan mengajukan tawaran sebesar Rp2 miliar. Mereka paham waktu seperti itu masyarakat butuh uang lebih, sehingga tawaran ini dianggap menggiurkan. Lahan milik Maks Sigoro luasnya hampir 2 hektar dilengkapi sertifikat, namun pihak perusahaan tidak mencantumkan harga per meternya.
Mereka membuat penawaran suka suka saja. Jika sertifikat tidak ada, harga akan ditentukan sepihak. Meskipun ada sertifikat, pihak perusahaan menawarkan harga rendah.
Dia mengaku lahan di sekitar kebun miliknya sudah banyak digusur, saat ini tersisa lahan miliknya. Pihak perusahaan bahkan telah melakukan pengukuran lahan tanpa sepengetahuannya, dan ketika mereka menunjukkan peta hasil pengukuran, ada selisih 3. 000 meter. Sebab ukuran yang dicantumkan perusahaan hanya 11. 110 meter. Padahal luas lahan sebenarnya adalah 14. 955 meter.

Kawasan Perkebunan kelapa yang berada di ujung desa Gamaf ini kini telah hilang tak berbekas digantikan oleh rumah dan aktivitas industri tambang. foto ini diambil pada 2020, foto M Ichi
Dia tidak setuju pengukuran yang mereka lakukan. Ada pengurangan yang dianggap merugikan. Dia curiga ada permainan. Tujuannya selisih luasan itu bisa dijual kembali mereka yang lakukan pengukuran.
“Saya belum bisa menyerahkan kebun saya kepada pihak perusahaan karena masih mengandalkan hasil kebun. Sampai masyarakat Desa Gemaf sudah menyerahkan semua kebun mereka ke perusahaan, barulah saya mempertimbangkan menjual atau tidak,” ujarnya.
Petugas pengukuran itu merupakan orang perusahaan yang harusnya bekerja jujur, namun yang terjadi mereka manfaatkan untuk meraih keuntungan dengan mengalihkan selisih luas lahan yang telah diukur dengan nama pihak lain sebelum dijual ke perusahaan.
Senada dengan Max, Abner Dowongi (50 ), warga Kobe Kulo mengungkapkan pada Januari 2024, Pemerintah Desa Kulo Jaya mengadakan rapat dengan masyarakat. Mereka membahas rencana pelepasan lahan desa yang akan disewa PT IWIP seluas 7 hektar. Dalam kesepakatan rapat, perusahaan mencairkan anggaran sewa lahan yang nanti dimanfaatkan untuk bangun masjid dan gereja. Sisanya dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk tali asih. Warga sendiri sudah tahu jika pihak perusahaan telah membayar lahan ke pemerintah desa sebesar Rp 1,5 miliar, tetapi hingga kini anggaran itu tak kunjung direalisasikan sesuai peruntukannya. “Karena itu, masyarakat bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendatangi rumah Kepala Desa Kulo Jaya, Fadli Sirajuddin, mempertanyakan pencairan anggaran itu dan kesepakatan pembagian dana seperti disepakati melalui rapat sebelumnya,” katanya. Karena tidak ada kejelasan warga kemudian datang ke kantor desa dan melakukan pemalangan.
Terkait proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di Desa-desa ring 1 PSN seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf warga tidak punya dasar harga jual tanah dalam bentuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Karena itu ketika warga melepaskan hak lahan mereka kepada perusahaan, seringkali tidak diketahui secara detail luas lahan yang mereka jual, termasuk standar harganya. Informasi tersebut lebih jelas berada di Kepala Desa dan jajarannya, yang bertanggung jawab mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Akhirnya warga menjual lahan kepada perusahaan, dengan harga sangat rendah, berkisar antara Rp8. 000 hingga Rp9. 000 per meter. Harga tanah ini ditetapkan oleh pemerintah daerah. Mantan Bupati Halmahera Tengah, Edy Langkara, saat menjabat Bupati periode 2017- 2022 menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp 9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih Rp 2. 500 per meter.
Hernemus Takuling, salah satu warga yang masih memiliki lahan kebun, mengungkapkan, bahwa lahan kebunnya itu adalah satu-satunya yang tersisa.
“Saya lebih memilih hidup sebagai petani dari pada bekerja di tambang. Banyak warga di sini tergiur menjual lahan karena iming-iming uang dari perusahaan. Dulu, perusahaan menawarkan harga Rp8 000 per meter untuk lahan saya, namun saya tolak dan meminta mereka membayar Rp7 miliar. Akhirnya, mereka mundur,” kisahnya.
Sekarang, lahan seluas 8 hektar tersebut merupakan satu-satunya kebun yang masih ada di sekitar desa Lelilef Sawai. Sementara sebagian besar lahan warga telah terjual atau digusur perusahaan.
Hernemus mengungkapkan keprihatinannya terkait penetapan harga lahan yang dilakukan secara sepihak, bukan melalui kesepakatan bersama. “Harga tanah dilapangan bervariasi, rata-rata antara Rp 8. 000-9. 000 per meter, bahkan ada yang dihargai Rp. 6. 000 per meter.
“Contoh sederhana, saat kita beli baju. Tentu menanyakan harga kepada penjual. Di situ ada tawar menawar. Semua tergantung pemilik barang, bukan pembeli seenaknya menentukan harga dan mengambil barang. Ini yang terjadi kawasan perusahaan tambang saat ini,”ujarnya.
Hernemus bilang lahan yang diolah dan ditempati sudah ratusan tahun. Jika perusahaan tiba- tiba datang merampas, jelas harus dipertahankan. Dengan alasan memiliki izin tambang mereka berani mau menentukan harga sendiri. Dia juga cerita perjuangannya mempertahankan tanah dari kriminalisasi dan intimidasi pihak perusahaan kala itu. Akhirnya dia mendekam di penjara setahun dengan tuduhan membawa senjata tajam saat memblokade jalan menuju PT Weda Bay Nickel (WBN) 2013 lalu. Saya blokir jalan menuju perusahaan kala itu karena belum ada pembayaran atas pelepasan lahan. Aksi itu kami lakukan bersama 66 keluarga di desa Lelilef. Masalah lahan itu berlarut-larutsejak 2009 hingga 2013,” katanya.
Selain konflik lahan masyarakat lokal dan perusahaan makin intensif, harga tanah juga sangat rendah dari perusahaan, berkisar antara Rp. 8000 hingga Rp 9. 000 per meter. Perusahaan mengklaim harga itu sesuai peraturan yang berlaku. Lebih aneh negosiasi jual beli lahan justru terjadi antara perusahaan dan pemerintah daerah, bukan dengan wargalokal.
Masyarakat yang menjual lahan juga tidak menggunakan referensi nilai jual objek pajak (NJOP), melainkan berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang mematok harga tanah sebesar Rp. 9. 000 per meter. Bagi mereka yang memiliki lahan di kawasan hutan, perusahaan tambang cenderung menghindari pembayaran ganti rugi.
Sementara, untuk nilai jual objek pajak (NJOP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, hanya berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang menetapkan harga Rp 9. 000/per meter. Di sisi lain, lahan milik warga di kawasan hutan, oleh pihak perusahaan tambang enggan memberikan ganti rugi. Hal ini karena dianggap berada di area hutan produksi. Pemerintah daerah berusaha melakukan mediasi dengan perusahaan memberikan pembayaran tali asih Rp 2. 500/meter.
Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke lahan yang telah dikelola turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan. Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.(*) Bersambung
Seri Liputan Investigasi Mengawal PSN di Maluku Utara ini dilakukan oleh Lima Jurnalis yaitu Suryani S Tawary Harian Pagi Malut Post, Sahrul Jabid Suara Ternate.com, Fadli Kayoa, Malut Post.com, Mario Panggabean RRI Ternate, Mahmud Ichi, kabarpulau.co.id/. Liputan ini merupakan Fellowship AJI-KURAWAL
- Penulis:
