Suara Kaum Disabilitas dari Ternate untuk Keadilan Iklim Dunia
- account_circle
- calendar_month Ming, 31 Agu 2025
- visibility 510
Dampak perubahan iklim bisa menghantam berbagai kelompok. Tidak hanya petani, nelayan, kaum buruh, perempuan dan anak-anak. Salah satu yang turut merasakan hasil dari proses industrialisasi itu adalah kaum difabel/disabilitas. Sebagai kelompok yang memiliki kebutuhan khusus mereka sangat terdampak dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Apalagi untuk mereka yang berada di pesisir dan pulau-pulau seperti Maluku Utara. Dampak itu begitu nyata dirasakan. Hal ini kemudian mendorong Risal Assor Ketua Kelompok Difabel Maku Gawene Kota Ternate datang dalam kegiatan Indonesia Climate Justice Sumit (ICJS) atau Forum Temu Rakyat yang berlangsung di Jakarta Selasa (26/8/2025) hingga Kamis (29/8/2025) lalu.
Risal Assor (47 tahun) memakai kursi roda akibat jatuh sejak usia 3 tahun. Saat ini dia adalah pemusik, yang sehari- hari bekerja di Red Corner Restauran sebuah restauran di Ternate sebagai pemain saxophone.
Risal sehari – hari di Ternate bersama istrinya Nurjannah yang juga seorang difabel membangun usaha kerajinan Eco Print. Yakni teknik mencetak pola pada kain dengan memanfaatkan pigmen alami dari bagian tumbuhan seperti daun, bunga, batang, serta ranting, yang kemudian diolah menjadi motif unik dan otentik melalui proses seperti pengukusan atau pemukulan. Meski dengan dibantu kursi roda otomat dia ikut hadir dalam forum ini sekaligus menyampaikan aspirasinya dalam bentuk aksi ke kawasan Monas Jakarta.
Risal hadir di panggung utama gedung Seraba guna Senayan Jakarta bersama berbagai kelompok masyarakat yang menjadi korban dampak iklim yang menghantam kehidupan umat manusia saat ini. Kehadiran Risal membacakan sikap politik tidak hanya atas nama dirinya tetapi dari kaum disabilitas di Indonesia dan dunia. Tak hanya mengikuti pertemuan yang dilaksanakan selama 6 hari yakni 23 hingga 29 Agustus yang diakhiri dengan aksi Justice Climate ke kawasan Monas Jakarta pada pada Kamis (29/8/2025). Bersama kelompok disabilitas dari seluruh Indonesia bergabung bersama kelompok masyarakat, petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota dan kelompok anak muda menyuarakan dampak perubahan iklim yang turut membuat orang seperti dirinya ikut terpapar.

Risal Assor (47 tahun) saat membacakan sikap kaum disabilitas terkait iklim di gedung Serba Guna Senayan Jakarta, foto Ichi
Dalam aksi itu, Risal ikut serta membawa pamflet berisi pesan pesan keadilan iklim yang diperjuangkan. Tidak itu saja melalui aksi ini mereka menyuarakan dan mendesak pemerintah agar mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang Perubahan Iklim yang saat ini telah masuk ke dalam Badan Legislasi DPR.
Kegiatan yang diinisiasi Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI)sejak 23 hingga 28 September lalu itu, menghadirkan berbagai kelompok masyarakat yang kurang lebih 1500 orang. Mereka ini yang menerima dampak langsung dari perubahan iklim karena adanya berbagai aktivitas industri yang berlangsung di darat dan laut. Saat pembukaan acara Rizal diutus menyampaikan pernyataan politik difabel. Dia merupakan perwakilan difabel yang menyampaikan sikap terkait kondisi yang dialami akibat dampak perubahan iklim.
Berikut pernyataan politik disabilitas. “Nama saya Rizal. Saya penyandang disabilitas dari Ternate Maluku Utara. Dulu saya masih bisa beraktivitas dengan lebih mudah. Lingkungan sekitar saya mendukung. Cuaca lebih bisa diprediksi. Saat menyeberang antarpulau di sekitar tempat tinggal saya laut lebih tenang angin tidak sekencang sekarang. Ombak masih bisa diprediksi. Meski menghadap hambatan sebagai penyandang disabilitas, saya bisa bepergian, bekerja terlibat dalam kegiatan masyarakat tanpa rasa takut tiba tiba terjebak badai angin kencang atau gelombang tinggi.
Saya merasakan sendiri bagaimana krisis iklim memperparah hambatan yang sudah ada. Tinggal di pesisir pulau pulau kecil membuat saya harus menghadapi hujan deras, banjir rob, ombak tinggi, dan kekeringan panjang. Yang menyulitkan akses transportasi air bersih dan bahkan evakuasi. Semua ini membuat saya cemas lelah secara fisik maupun mental. Hal ini menambah stigma diskriminasi yang selama ini kami alami. Padahal kami penyandang disabilitas sangat sedikit berkontibusi terhadap perubahan iklim, tetapi menanggung dampak lebih berat yakni kehilangan rumah, mata pencaharian bahkan keselamatan jiwa.
Sementara perlindungan yang ada seringkali tidak berpihak pada kami. Bantuan pemerintah saat bencana masih belum ramah disabilitas. Akses informasi terbatas, tempat evakuasi tidak bisa dijangkau dan bantuan pangan tidak sesuai kebutuhan. Padahal kami seharusnya mendapat perlindungan sosial yang memperhitungkan ekstra cost of disabilty dan kerentanan yang lebih tinggi. Kesempatan kerja makin sedikit sementara bagi kami sangat sulit mengganti pekerjaan seperti orang tanpa disabilitas. Karena itu jaminan pekerjaan layak dan perlindungan sosial yang inklusif harus menjadi prioritas negara terutama di tengah krisis iklim.
Kami penyandang disabilitas bukan penyebab krisis iklim tetapi justru menanggung dampak paling berat. Kami menghadapi hambatan berlapis akses terbatas diskriminasi dan kini ancaman iklim. Meski begitu kami tetap berkontribusi menjaga keidupan dan komunitas. Kami menolak dipandang sebagai objek belas kasihan. Kami adalah warga negara setara dan bagian penting dari solusi. Mengabaikan kami berarti mengabaikan keadilan. Kami menuntut akses perlindungan sosial yang adil dan inklusif khususnya dalam situasi krisis iklim. Kami menuntut layanan evakuasi, bantuan pangan dan fasilitas publik yang aksesibel bagi semua jenis disabilitas.
Kami menuntut dukungan nyata dari negara dalam menghadapi krisis air kesehatan dan kehilangan mata pencaharian akibat dari cuaca ekstrem. Kami mendesak agar penyandang disabilitas dilibatkan secara langsung dalam perumusan kebijakan iklim, bencana dan pembangunan. Kami menuntut keadilan iklim yang menghentikan ketidakadilan struktural dan memastikan tidak ada kelompok rentan yang ditinggalkan. Tanpa Keadilan iklim,penyandang disabilitas akan selalu terpinggirkan. Tanpa aksesibilitas tidak ada keselamatan. Ini soal hidup dan mati kami. Kami tidak minta dikasihani. Kami menuntut pengakuan dan keadilan. Keadilan iklim adalah untuk semua.Termasuk kami penyandang disabilitas.
“Bersama Kita Lebih Kuat”
- Penulis:
