Sejumlah kawasan laut di Maluku Utara menjadi tempat hidup ikan hiu berjalan (Hemiscyllium Halmahera) atau walking shark. Di laut Ternate misalnya, biota nocturnal atau hewan yang mencari makan di malam hari ini, paling banyak ditemukan di laut bagian timur pulau. Sementara laut bagian barat sangat jarang ditemukan.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate Dr Adityawan Ahmad kepada Kabarpulau.co,id baru baru ini menjelaskan, di laut Ternate dari hasil penyeleman dan identifikasi yang dilakukan terbanyak ditemukan di sekitar laut depan kelurahan Fitu. Sementara di kawasan laut seputaran pusat kota hanya satu dua ekor yang ditemukan keluar di malam hari untuk mencari makan. Di laut depan Kelurahan Fitu dalam sekali penyelaman ditemukan hingga 8 ekor. Sementara di kawasan laut depan Taman Nukila dan Falajawa dan pusat kota Ternate hanya satu dua ekor yang ditemukan,” jelasnya. Semakin ke bagian barat pulau hamper tidak ditemukan. “Di kawasan pantai Jiko malamo dari penyelaman yang kami lakukan tidak ditemukan ada walking shark,” jelasnya.
Dia bilang lagi, biota laut ini hidup di daerah peralihan karang dan padang lamun karena itu adanya aktivitas reklamasi kawasan pulau Ternate yang masisive saat ini ikut berpengaruh pada keberadaannya. “Aktivitas reklamasi itu sangat mengancam walking shark,”jelasnya.
Senada soal ini, dosen FPIK Unkhair lainya Dr Nurkhalis Wahidin menjelaskan, pesies hiu berjalan atau walking shark di perairan Ternate, terutama di area di sekitar daerah Pasar Higienas Gamalama sampai Taman Nukila dan pesisir kota yang berupa padang lamun (seagrass) merupakan salah satu tempat yang terancam kehidupan satwa air dan terumbu karangnya.
“Dampak fisik terhadap terumbu karang adalah sedimentasi yang akan mengancam kelangsungan terumbu karang di bagian depannya,” ungkapnya. Hiu berjalan atau Hemiscyllium halmahera merupakan hewan yang aktif di malam hari dan hidup di balik terumbu karang. Terumbu karang jenis Genus Porites, Montipora, Acropora, Hydnopora, Echinopora, Styllopora, Seriatopora, Leptastrea, dan Lobiphyllia banyak ditemukan di kawasan timur Ternate kerap menjadi habitat hiu berjalan.Ketika ada reklamasi dan tertimbun akibat sedimentasi ikut mengancam secara langsung biota ini. (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180815160534-199-322490/walking-shark-terumbu-karang-di-tengah-ancaman-reklamasi).
Hasil penelitian Conservation International (CI) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Western Australian Museum, dan California Acukaademy of Science pada 2017 lima dari sembilan spesies Hiu Berjalan sudah berhasil ditemukan dan diidentifikasi berada di perairan Indonesia.
Empat spesies endemik Hiu Berjalan atau hanya ada di Indonesia antara lain adalah Hiu Berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), Hiu Berjalan Teluk Cendrawasih (Hemiscyllium galei), Hiu Berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera) dan Hiu Berjalan Teluk Triton Kaimana (Hemiscyllium henryi). Satu spesies lainnya yaitu Hemiscyllium trispeculare ditemukan di perairan Aru Maluku. Namun spesies ini hidup juga di pantai utara dan barat benua Australia.
Namun, menurut Conservation International Indonesia, dari hasil monitoring berkala yang mereka lakukan di perairan Papua Barat disimpulkan bahwa populasi Hiu Berjalan berada dalam ancaman karena daerah sebaran yang terbatas daripada perkiraan sebelumnya.
Akibatnya, spesies unik ini lebih mungkin terpapar terhadap ancaman setempat seperti penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak, peningkatan suhu, bencana seperti angin siklon dan tsunami, kerusakan pantai, pembangunan wilayah pesisir dengan cara reklamasi, serta perkembangan industri pariwisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw mengungkapkan, selain hiu konvensional dan Hiu Paus yang menjadi daya tarik pariwisata, Hiu Berjalan adalah daya tarik lainnya.
“Dengan melakukan snorkling atau berperahu di perairan dangkal, Hiu Berjalan akan mudah dijumpai. Namun karena spesies ini mudah ditemukan, ancaman keberlanjutannya juga semakin besar. Karena itu, sebaiknya spesies ini tidak diganggu ketika kita sedang berwisata di pesisir, dan kita jangan merusak terumbu karang serta padang lamun yang merupakan habitat serta tempat mereka memijah (melepaskan telur dan sperma untuk pembuahan).
Kerusakan habitat dapat mengancam kelestariannya, sedangkan bila dikonservasi dengan baik maka kehadiran spesies ini akan menjadi pesona pariwisata yang unik dan meningkatkan nilai pariwisata,” katanya.
Victor Nikijuluw menyampaikan bahwa CI akan terus bekerjasama dengan penduduk lokal, pemerintah daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam melakukan penelitian dan upaya-upaya konservasi spesies-spesies ini. Rencana Aksi Nasional (RAN) yang sudah dirumuskan terhadap spesies hiu akan diperluas cakupannya, termasuk Hiu Berjalan.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, menjelaskan sebaran Hiu Berjalan yang terbatas antara lain disebabkan karena memiliki sifat biologi yang unik, tidak seperti spesies ikan terumbu karang lain. Kelompok ikan hiu ini memiliki kemampuan berenang yang terbatas dan amat tergantung pada habitat dan kedalaman tertentu sehingga tidak sanggup bergerak jarak jauh dan tidak memiliki potensi sebaran yang tinggi.
Selain itu, tipe reproduksi dari kelompok hiu ini adalah dengan meletakkan telurnya pada substrat tertentu untuk kemudian menetas dan berkembang menjadi menjadi individu dewasa pada habitat yang sama.
Fahmi menambahkan bahwa hasil temuan ini akan dikomunikasikan kepada pemerintah daerah sebagai pengelola kawasan pesisir untuk mendorong perlindungan bagi spesies hiu berjalan di Indonesia. “Sejauh ini, baru spesies Hemiscyllium freycineti yang ada di Raja Ampat yang dilindungi oleh Perda Raja Ampat Nomor 9 Tahun 2012 mengenai Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat.
Menanggapi ancaman yang dihadapi spesies hiu berjalan, perlu ada perlindungan yang menyeluruh terhadap semua spesies Hiu Berjalan di Indonesia. Saat ini kelompok Hiu Berjalan merupakan kelompok ikan hiu yang sering dijadikan ikan hias dan memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional.
“Beberapa negara maju bahkan sudah melakukan upaya budidaya spesies hiu berjalan uuntuk kepentingan komersial. Perlunya upaya pengelolaan terhadap jenis hiu ini dan habitatnya amat diperlukan, agar jangan sampai jenis hiu tersebut banyak ditemukan di akuarium-akuarium ikan hias namun sulit ditemukan di habitat aslinya,” ujar Fahmi.(http://lipi.go.id/lipimedia/populasi-hiu-berjalan-terancam/17388).
Soal rencana perlindungan walking shark Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginisiasi perlindungan ikan hiu berjalan guna mencegah kepunahannya di alam. Hal ini menjadi rekomendasi dalam temu pakar yang bertajuk “Temu Pakar untuk Usulan Inisiatif Perlindungan Hiu Berjalan (Hemiscyllium spp.)” yang diselenggarakan oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit. KKHL), Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) beberapa waktu lalu di Jakarta. Rilis resmi KKP menjelaskan, berdasarkan penilaian pada tahun 2020, seluruh spesies hiu berjalan telah masuk dalam daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengingat kerentanan dan kelangkaannya. Bahkan, dua spesies ikan hiu berjalan masuk ke dalam kategori hampir terancam (near threatened), tiga spesies dikategorikan rentan (vulnerable), dan satu spesies memiliki kategori sedikit perhatian (least concern).
Direktur KKHL Andi Rusandi menjelaskan, ikan ini cenderung mendapat tekanan yang berasal dari faktor antropogenik. Di samping itu, ikan hiu berjalan memiliki pergerakan yang lamban dan tidak berbahaya sehingga mudah untuk ditangkap.
“Meskipun jenis ikan hiu ini bukan merupakan target sebagai ikan konsumsi, tapi pemanfaatannya diduga semakin meningkat untuk keperluan ikan hias sehubungan dengan karakter dan morfologinya yang unik. Padahal, ikan ini memiliki potensi yang tinggi dari sisi pariwisata, yaitu sebagai salah satu jenis ikan yang memiliki daya tarik bagi para penyelam,” imbuhnya.
Selain itu, Andi juga menambahkan bahwa ikan hiu berjalan dari genus Hemiscyllium merupakan spesies endemik yang ditemukan di perairan Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Nugini dan Australia. Terdapat sembilan spesies hiu berjalan hingga saat ini di dunia, enam di antaranya ditemukan di perairan Indonesia.
Salah satu upaya untuk menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan ikan hiu berjalan adalah dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Karenanya, perlu dilakukan langkah-langkah pengelolaan.
“Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah penetapan status perlindungan hiu berjalan melalui sejumlah tahapan, mulai dari usulan inisiatif, verifikasi usulan, konsultasi publik, analisis kebijakan, rekomendasi ilmiah, dan selanjutnya penetapan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan,” jelas Andi.
Kegiatan temu pakar itu sendiri bertujuan untuk menjaring masukan dan merupakan bagian dari tahapan penetapan status perlindungan hiu berjalan. Kegiatan ini turut dihadiri sejumlah pakar yang berasal dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Universitas Halmahera, Universitas Khairun, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Morotai, Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia, Elasmobranch Project Indonesia dan mitra. (https://kkp.go.id/djprl/kkhl/artikel/41257-kkp-inisiasi-pelindungan-ikan-hiu-berjalan)
#Makin Tahu Indonesia
CEO Kabar Pulau