Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Malut » Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Tak Berdasar Saintifik

Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Tak Berdasar Saintifik

  • account_circle
  • calendar_month Sel, 30 Jan 2024
  • visibility 223

Ini Masukan Masyarakat Sipil untuk Capres dan Cawapres  

Center of Maritim Reform for Humanity atau Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengingatkan semua pihak terutama para calon presiden dan wakil presiden  agar perlu memiliki ikhtiar yang kuat terhadap perbaikan bangsa terutama terkait isyu lingkungan hidup dan pertanahan dalam konteks pengelolaan perikanan dan sumberdaya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil di Indonesia.

Ikhtiar Perbaikan Bangsa ini merupakan Pandangan Kebangsaan Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan yang disampaikan kepada Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pemilihan Umum 2024 nanti.

Pernyataan ini juga sebagai upaya mendorong  pengelolaan sumber daya perikanan dengan mengacu pada hasil kajian stok ikan yang mesti dperbarui secara reguler sehingga diketahui jumlah tangkapan yang diperbolehkan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  

Abdul Halim   Founder and Executive Director at the Center of Maritime Reform for Humanity  dalam rilis resmi itu menyampaikan bahwa perlu dilakukan pengelolaan secara bertanggung jawab  sebagai upaya mengelola sumber daya perikanan dengan memperhatikan dimensi sosial yang berkaitan langsung dengan pemenuhan hak asasi manusia yang terlibat di dalamnya. Misalnya, awak kapal perikanan, tenaga kerja pengolahan ikan dan lain lain.

Menurut lembaga ini, sejak Oktober 2019, pengelolaan perikanan dan sumber daya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dijalankan tanpa pendekatan saintifik yang dikomandoi ilmu pengetahuan. Praktek ini ditandai dengan lahirnya sejumlah perubahan kebijakan krusial yang kontraproduktif terhadap ikhtiar untuk menghadirkan pengelolaan perikanan dan sumber daya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang berkelanjutan,  bertanggung jawab  dan berkeadilan. Banyak kebijakan  yang berdampak  terhadap lingkungan dan social itu misalnya,  dilegalkannya kembali pemakaian alat penangkapan ikan cantrang berukuran di atas 30 gros ton   beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara, melalui Pasal 23 Ayat 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas.

“Diberlakukannya kebijakan ini berimplikasi terhadap maraknya praktek eksploitasi sumber daya ikan, rusaknya ekosistem laut (terumbu karang dan padang lamun), dan merebaknya konflik horisontal antar-nelayan di laut,”kata Abdul Halim dalam rilisnya.

Selain itu dibukanya keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.

Perahu Nelayan dj Desa Lelilef Waibulen. Foto Sofyan A Togubu

Bagi lembaga ini  kebijakan ekspor pasir laut ini memicu hilangnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil dan nelayan tradisional. Rusaknya ekosistem laut, dan abrasi di wilayah pesisir. Ada juga dilonggarkannya keran ekspor benih lobster melalui perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

“Apabila perubahan kebijakan ini dilakukan, maka stok benih lobster di dalam negeri yang sudah berstatus over-exploited akan mengalami kelangkaan dikarenakan maraknya praktek eksploitasi penangkapan benih lobster secara besar-besaran di wilayah pengelolaan perikanan nasional,” katanya.

Di samping itu, kebijakan ini juga berdampak pada menurunnya potensi pendapatan pembudidaya lobster yang berfokus pada usaha pembenihan dan pembesaran di dalam negeri. Hal ini dipicu oleh adanya kelangkaan benih lobster.  

Dibukanya kembali akses penangkapan ikan bagi kapal asing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah saat ini, kebijakan penangkapan ikan terukur ditunda pelaksanaannya. Apabila kebijakan ini dilaksanakan, maka bisa dipastikan praktek eksploitasi sumber daya ikan.   Begitu juga  ikhtiar Perbaikan No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.  Pasal 19 ayat (3)  juga membolehkan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan Indonesia secara besar-besaran oleh investor asing dan ancaman pelanggaran hak asasi awak kapal perikanan besar kemungkinan bisa terulang kembali sebagaimana pernah terjadi antara tahun 2000-2014.

Di samping itu, dengan adanya pembolehan kapal pengangkut ikan asing melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan, maka dapat dipastikan hilirisasi sektor perikanan sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak akan pernah terjadi.

Hal lainnya  marak praktek perampasan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan pembangunan kota yang diskriminatif dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup melalui proyek reklamasi pantai yang diperuntukkan bagi pembangunan kawasan permukiman elit dan wisata bahari, perkebunan kelapa sawit, dan perluasan industri ekstraktif pertambangan. Imbas dari sejumlah kebijakan yang tidak berkeadilan ini menyebabkan tergusurnya masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) dari permukiman asalnya.  Berkurangnya luasan hutan mangrove akibat perluasan kebun kelapa sawit di wilayah pesisir dan  kian besarnya potensi bencana akibat hilangnya hutan mangrove sebagai sabuk hijau di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ikan sebagai salah satu hasil andalan dari Pulau Laigoma Maluku Utara juga butuh listrik untuk pengawetannya sebelum dibawa ke luar pulau foto M. Ichi

Pencemaran laut akibat pembuangan limbah tambang (tailing serta aih profesi nelayan secara besar-besaran dengan menjadi buruh kasar karena kehilangan wilayah tangkapan ikan (fishing ground) akibat pembangunan yang diskriminatif dan pencemaran laut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengusulkan sejumlah ikhtiar perbaikan bangsa sebagai berikut:  

Mendahulukan pendekatan saintifik di dalam pengelolaan perikanan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) melalui pembaruan data stok ikan dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan secara berkala sehingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan berkeadilan dapat dihadirkan;  

Kedua  melakukan penguatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum di laut, khususnya di sejumlah perairan yang kaya sumber daya ikan, seperti perairan Provinsi Maluku Utara yang menjadi bagian dari WPP-NRI 715 dan berbatasan langsung dengan Filipina, dengan membatalkan sejumlah kebijakan yang kontraproduksi terhadap ikhtiar menghadirkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan berkeadilan; Ketiga  mengutamakan pembangunan kota-kota pesisir yang memakmurkan hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) dan memprioritaskan daya dukung lingkungan hidup sebagai indikator utama pengambilan keputusan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

Keempat melakukan koreksi atas kebijakan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan perizinan usaha di dalamnya yang berorientasi pada perluasan kebun kelapa sawit dan industri pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan memberikan dampak negatif terhadap hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi;

Dampak hilirisasi Emas coklat mengalir sampai jauh ke laut: Kondisi-muara-sungai-dan-laut-di-kawasan-Sagea Halmahera Tengah-berwarna-emas-foto-Save-Sagea

Kelima mengarusutamakan pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis hukum adat dan kearifan tradisional yang telah berlangsung secara turun-temurun dan terbukti mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir di sekitarnya.

“Ke depan, sudah seyogianya pembangunan bangsa berbasis ekonomi hijau diorientasikan pada kegiatan ekspor produk olahan yang padat karya dan mengandalkan perdagangan antar-pulau yang didukung oleh ketersediaan armada pelayaran laut dan biaya logistik yang mudah, reguler, dan terjangkau,” kata Abdul Halim. (*)

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Kebun Sagu Dijual, Cadangan Pangan Warga Sagea Hilang (1)

    • calendar_month Ming, 7 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 328
    • 0Komentar

    Rintik hujan pada Minggu (26/11/2023) sekira pukul 17.00 WIT itu, tak menyurutkan semangat Abdurahman Jabir (50) dan Anwar Ismail (67). Keduanya bahu membahu dengan kedua tangan, mengangkat tepung sagu yang telah mengendap di dalam perahu–wadah penampung perasan pokok sagu.  Tepung terisi dalam tiga karung besar hasil perasan  empulur setengah batang pohon sagu, yang panjangnya kurang […]

  • Ternate Kaya Keanekaragaman Hayati Laut

    • calendar_month Ming, 28 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 313
    • 1Komentar

    Dari Terumbu Karang hingga Fauna Kharismatik   Laut Pulau Ternate memiliki kaneakaragaman hayati yang luar biasa. Tidak hanya  jenis terumbu karang dan ikan kecil, tetapi juga satwa laut kharismatik. Di kawasan laut ini juga ada  hewan laut endemic seperti  hiu berjalan. Di beberapa lokasi di laut pulau Ternate ditemukan beberapa jenis satwa kharismatik laut seperti […]

  • Hari Peduli Sampah Nasional Sepi Agenda  

    • calendar_month Sel, 21 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 168
    • 1Komentar

    KLHK: 2030 Tak Ada Lagi TPA Baru Pada 21 Februari setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Hari penting ini   bertujuan  mengingatkan semua pihak bahwa persoalan sampah harus menjadi perhatian utama. Upaya penanganan dan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh komponen masyarakat yang meliputi Pemerintah baik Pusat dan Daerah, akademisi, aktivis, komunitas, dunia usaha, […]

  • Stadion Gelora Kie Raha

    Stadion Gelora Kie Raha

    • calendar_month Sab, 4 Okt 2025
    • account_circle
    • visibility 96
    • 0Komentar

    Stadion Gelora Kie Raha yang telah direnovasi di Ternate, Maluku Utara, Minggu (24/11/2024).Stadion yang berkapasitas 15 ribu penonton itu sudah mulai digunakan Klub Malut United FC untuk latihan dan pertandingan liga satu, menyusul telah rampungnya renovasi stadion pada akhir Oktober 2024 oleh PT. Mineral Trobos.FOtO/ADEX  

  • Anak Muda Ternate akan Dapat Ilmu Gratis Soal Medsos

    • calendar_month Jum, 30 Nov 2018
    • account_circle
    • visibility 140
    • 0Komentar

    Kolaborasi  Greeneration- Kedubes Amerika dan  Kabarpulau    Sebuah kesempatan langka diperoleh anak muda Ternate dan sekitarnya. Di tengah perkembangan  internet yang luar biasa,  diikuti hadirnya media social  dalam keseharian hidup masyarakat,    sangat rugi jika  tidak menambah pengetahuan soal pemanfaatannya. Untuk menambah pengetahuan itu tiga lembaga berkolaborasi mendatangkan pemateri untuk kegiatan tersebut.  Kerjasama Greeneration Foundation  Kedutaan […]

  • Minim, Dana Desa Digunakan Kelola Sampah

    • calendar_month Sel, 14 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 183
    • 1Komentar

    Sampah yang dibuang warga ke tepi pantai di salah satu desa di Halmahera Selatan foto M Ichi

expand_less