Pulau Sumba Jadi Titik Nol Penetapan Hari Keadilan Ekologi Dunia
- account_circle
- calendar_month Sel, 23 Sep 2025
- visibility 201
Pulau Sumba yang dikenal dengan nama tanah humba atau tanah marapu, menjadi titik nol ditetapkannya, hari Keadilan Ekologi dunia atau World EcologicaJustce Day.
Hari penting ini digagas oleh Wahana Ligkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada Sabtu 20 September 2025 bertepatan dengan kegiatan pertemuan nasional lingkungan hidup (PNLH) WALHI ke XIV yang dipusatkan di Kota Waingapu Sumba Timur Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ni melibatkan 529 organisasi lingkungan di Indonesia.Deklarasi dan peresmian tugu keadilan ekologi itu dipusatkan di Taman Sandelwood Kota Waingapu.
Dalam acara ini di gelar juga penanaman pohon dan karnaval lingkungan yang diikuti siswa, mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat di Waingapu bersama para peserta PNLH. Proses penanaman pohon secara simbolis dilakukan oleh Ketua DPD,Bupati Sumba Barat Daya dan anggota DPD yang lain.

Deklarasi ini dirangkai dengan peresmian tugu keadilan dan penanaman pohon serta karnaval lingkungan hidup yang dihadiri Ketua DPD RI Sultan Najamudin bersama Anggota DPD dari NTT serta pemerintah daerah 4 kabupaten yang ada di Pulau Sumba.Karnaval ekologi itu diikuti siswa mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, berharap, deklarasi Hari Keadilan Ekologis di Indonesia ini akan menjadi bola es ke negara-negara lain hingga tergugah untuk sama-sama memulai cara hidup baru. “Bumi ini hancur lebur satu abad terakhir ini, maka kita mendeklarasikan Hari Keadilan Ekologis,” katanya. Aspek keadilan ekologis, katanya, masih terabaikan. Padahal, kelestarian atau keberlanjutan tak lepas dari aspek keadilan.
Dalam proses transisi energi, misal, tidak mungkin berjalan jika ada perampasan lahan dan hak-hak masyarakat. Menurutnya adaptasi manusia dengan alam membangun sebuah peradaban, hingga haruslah menjaga dua subjek itu. Tidak boleh mengorbankan satu untuk yang lain.
“Jadi manusia menempatkan diri menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri. Manusia mempunyai haknya, lingkungan juga.”
Menurut Zenzi, keadilan ekologis juga mesti menempatkan negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, hutan, dan laut sebagai pemeran utama dalam perundingan dan kebijakan global. Ketika keseimbangan alam terganggu, bencana akan terjadi dan mengancam kehidupan masyarakat di kawasan yang rawan. ”Akan tetapi, sayangnya, hukum alam itu tidak punya mata. Yang melakukan eksploitasi tambang, yang membabat hutan, bisa jadi tinggal di Singapura sana. Namun, yang menerima banjir, menerima kekeringan, banjir bandang, masyarakat di sekitarnya,” ucapnya.

Ketua DPD RI Sultan Najamudin melakukan proses penanaman pohon didampingi Direktur Eksekutif WALHI Zensi Suhadi Bupati Sumba Barat Daya Umbu Lili Pekuali, bersama para undangan dan tamu yang hadir dalam deklarasi penetapan Hari Keadilan Ekologis Dunia pada Sabtu (20/9/2025)
Ketua DPD Sultan B Zulkarnain usai penanaman pohon secara simbolis menyamampaikan bahwa DPD telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim dan RUU Perlindungan Masyarakat Adat sebagai RUU prioritas kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 9 September lalu. RUU ini menjadi langkah penting agar negara memiliki kerangka hukum yang kuat dalam menghadapi perubahan iklim, melindungi ruang hidup rakyat, serta menjamin partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan lingkungan.
”Pembangunan masa depan harus berdasarkan green policy (kebijakan hijau atau ramah lingkungan), termasuk green economy atau ekonomi hijau. Artinya, ekonomi harus tumbuh dengan tetap menjaga kelestarian alam, memperkuat kesejahteraan rakyat, dan menyiapkan masa depan generasi mendatang,” jelasnya.
Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekuwali menuturkan, perubahan iklim bukanlah isu yang hanya dicermati oleh aktivis lingkungan. Sebab, masyarakat, termasuk di kabupaten itu, sudah merasakan dampaknya.
Ia mencontohkan, peningkatan suhu telah menaikkan permukaan air laut. Hal ini mempercepat erosi garis pantai. ”Ada satu wilayah yang pergeseran garis pantainya mencapai 100 meter dari posisi semula. Ini terjadi dalam usia kami. Saat masih kecil, posisi air laut masih 100 meter dari posisi saat ini,” ujarnya.
Dampak perubahan iklim lainnya membuat petani semakin kesulitan menentukan musim tanam. Kemarau berkepanjangan menyebabkan kekeringan dan gagal panen. Sementara hujan lebat memicu banjir sehingga merusak tanaman.

Cristine salah satu peserta karnaval keadilan ekologi yang menggunakan baju dari kulit jagung yang dijahitnya sendiri. Baju ini menjadi gambaran jagung sebagai salah sat u makanan pokok dari Nusa Teggara Timur. Foto M Ichi
”Sekarang, dengan tenggat hujan yang pendek dan intensitasnya tidak seperti dulu, saat selesai menanam, kemudian seminggu tidak hujan, sudah dirasakan tanaman tidak akan menghasilkan,” ucapnya.
Bupati Sumba Barat Daya Ratu Ngadu Bonu Wulla menyampaikan, tantangan krisis iklim sangat dirasakan di Pulau Sumba, mulai dari keterbatasan air, degradasi hutan, hingga ancaman perubahan iklim. Menurut dia, isu lingkungan bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan masa depan generasi muda.
”Tugu ini bukan hanya simbol, melainkan juga pengingat abadi bagi kita semua tentang komitmen menjaga Bumi, menjaga kehidupan, dan mewariskan kepada generasi mendatang,” katanya.
Walhi menginisiasi deklarasi Hari Keadilan Ekologis pada 20 September 2025 ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran untuk lebih peduli terhadap masa depan Bumi yang saat ini mengalami berbagai krisis.
”Hari Keadilan Ekologis harus kita tempatkan sebagai momentum titik balik. Kita mengoreksi diri kita, mengoreksi peradaban kita, mengoreksi ekonomi kita. Bumi hancur lebur di seluruh benua,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi.
Saat peresmian itu juga sekaligus diresmikannya Tugu Keadilan Ekologis yang dibangun di Taman Sandelwood, Waingapu, Sumba Timur. Di bagian atas tugu itu terdapat bola beton berwarna biru yang melambangkan Bumi. Di atasnya hinggap patung burung kakaktua jambul jingga yang merupakan burung endemik Pulau Sumba.
”Burung itu selalu menyebarkan bibit-bibit (tanaman). Kita berharap dia akan terbang ke mana saja untuk menyebarkan bibit-bibit kebaikan di berbagai negeri, di Indonesia ataupun di luar negeri,” ujar Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi.
Selain peresmian Tugu Keadilan Ekologis, digelar juga karnaval Festival Bumi Nusantara. Festival ini diikuti berbagai komunitas masyarakat di Sumba. Setelah itu diadakan lomba permainan tradisional Sumba, kuadja manula. Dalam perlombaan tersebut, penunggang kuda melempar lembing ke sasaran yang terbuat dari kulit sapi.
Pemilihan Sumba sebagai tempat deklarasi lantaran pulau ini masih mempertahankan tujuh sendi peradaban Nusantara. Dari bahasa, tenun, arsitektur rumah, sistem pangan, pengobatan tradisional, perkakas, hingga bela diri.
Menurut Zenzi, Sumba bisa menjadi referensi daerah lain untuk mempertahankan dan memulihkan sendi-sendi peradaban mereka.
“Jadi tidak hanya memulihkan ekologinya, tetapi memulihkan peradaban dan membangun sistem ekonomi,” katanya.

Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT sekaligus Ketua Pelaksana PNLH, mengatakan, jejak-jejak peradaban ekologis di Sumba masih terlihat hingga kini. Masyarakat, terutama di pedesaan, sangat menempatkan ekosistem sebagai teman hidup.
Sumba juga merupakan wilayah dengan luasan savana terbesar di Indonesia. Dia berharap PNLH dan deklarasi Hari Keadilan Ekologis ini bisa mendorong timbulnya kesadaran dari pemerintah untuk melindungi hamparan savana.
Umbu ingin savana masuk kategori ekosistem esensial yang negara lindungi laiknya ekosistem gambut, padang lamun, karst, dan mangrove.
“Bukan hanya konteks Sumba-nya, tapi juga konteks savana pada umumnya di Indonesia. Representasinya adalah Sumba.”
Ini merupakan kali pertama pagelaran PNLH di pulau kecil. Harapannya, pemerintah juga memperhatikan ancaman-ancaman yang ada di pulau kecil seperti Sumba, dari krisis iklim hingga investasi.
Saat ini, katanya, Sumba dalam ancaman pabrik tebu yang memiliki konsesi hingga 52.000 hektar di savana atau sekitar 5% dari luas pulau. Karena itu, alasan menjadikan savana ekosistem esensial pun makin mendesak.(*)
- Penulis:
