Tambang PT MAI Beroperasi, Desa Sagea Kiya Makin Terancam
- account_circle
- calendar_month Sel, 14 Okt 2025
- visibility 117
Warga Desa Sagea-Kiya, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang tergabung dalam Koalisi Save Sagea kembali menggelar aksi protes Senin, 13 Oktober 2025. Aksi ini dilakukan berkaitan dengan aktivitas tambang PT Mining Abadi Indonesia (PT MAI), kontraktor dari perusahaan tambang nikel PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia dan PT First Pacific Mining.
Aktivitas penambangan ini bagi warga diduga dilakukan secara ilegal di atas tanah milik warga tanpa persetujuan atau pemberitahuan kepada pemiliknya. Aksi ini juga menjadi puncak akumulasi ketegangan yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan terakhir.
Beroperasinya perusahaan tersebut warga Desa Sagea-Kiya secara tegas menyatakan menolak adanya operasi tambang yang tidak hanya melanggar hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, tetapi juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan.
Koalisi Save Sagea mencatat insiden serius yang terjadi pada Minggu, 12 Oktober 2025. Sejumlah karyawan PT MAI, ditengarai menggunakan alat berat milik perusahaan, merusak dua unit kendaraan milik warga. Tindakan intimidatif ini memicu kemarahan warga dan memperburuk situasi yang sudah memanas.
Hingga hari ini, warga masih terus melakukan aksi blokade jalur operasional perusahaan sebagai bentuk perlawanan atas perlakuan semena-mena tersebut.
“Sejumlah karyawan PT MAI diduga telah merusak dua unit mobil milik warga dengan menggunakan alat berat milik perusahaan. Tindakan ini memicu kemarahan dan masih terus melakukan aksi hingga melakukan blockade jalan,” kata Mardani Legayelol, Juru Bicara Koalisi Save Sagea.
Ancaman Serius terhadap Ruang Hidup
Koalisi Save Sagea juga menyoroti dampak jangka panjang dari operasi tambangterhadap lingkungan hidup di kawasan Sagea-Kiya, khususnya terhadap ekosistemKarst Sagea dan Telaga Yonelo atau yang dikenal sebagai Talaga Lagaelol. Kedua ekosistem ini bukan hanya penting dari sisi ekologis, tetapi juga memiliki nilai kultural dan spiritual yang mendalam bagi warga Sagea-Kiya.
“Karst Sagea itu benteng kami, tempat hidup kami, dan sumber air kami. Kami tidak akan menerima jika tempat ini dirusak. Begitu juga dengan TalagaLagaelol yang tidak hanya menjadi sumber kehidupan warga, tetapi juga tempat yang menyimpan nilai budaya dan ritus-ritus leluhur kami yang masih kami jagahingga hari ini,” ujar Lada Ridwan, Warga Sagea-Kiya.
Perusahaan Tabrak Regulasi
Bagi Koalisi Save Sagea PT MAI diduga melanggar sejumlah regulasi seperti Perpres 12/2025 tentang RPJMN 2025 – 2029 (Lampiran IV) halaman 264 bahwa Kawasan Karst Bokimoruru (Sagea) merupakan 1 dari 3 kawasan prioritas
konservasi di Maluku Utara untuk perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan kawasan konservasi. Perda No. 3 Tahun 2024 tentang RTRW Kabupaten. Halmahera Tengah tahun 2024 – 2043, yang menetapkan wilayah Sagea sebagai zona Kawasan Karst kelas I dan diperuntukkan untuk konservasi dan penelitian. Wilayah operasi PT MAI berada di zona penyangga Kawasan Karst Sagea, sehingga keberadaannya sangat berpengaruh pada ekosistem karst.
PT MAI diduga tidak memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), bahkan ditengarai pembangunan Jetty PT MAI tidak mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Perusahaan juga diduga tidak
memiliki dokumen persetujuan lingkungan dari Pemerintah. Untuk itu Komunitas Save Sage menunutut segera dihentikan seluruh aktivitas tambang PT Mining Abadi Indonesia di wilayah Desa Sagea-Kiya.
Perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lahan warga dan dua unit
kendaraan yang dirusak pada 12 Oktober 2025. Mendesak Pemerintah Halmahera Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengeluarkan rekomendasi ke pemerintah pusat untuk
pencabutan izin operasi PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia dan PT First Pacific Mining di wilayah Sagea-Kiya.
Mendesak aparat penegak hukum untuk menindak kegiatan ilegal yang dilakukan oleh PT MAI
“Kami tegaskan bahwa perjuangan warga Desa Sagea-Kiya bukanlah sekadar soal tanah atau lahan. Ini perjuangan mempertahankan kehidupan, lingkungan, dan identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun,” ujar Mardani.
Dia menyatakan warga tidak akan diam menyaksikan tanah dirusak dan hak mereka diinjak-injak demi kepentingan perusahaan dan alibi kemajuan ekonomi.
- Penulis:
