Maluku Utara sebagai daerah kaya bahan mineral, menjadi incaran investor asing. Baru baru ini pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Sekretaris Daerah Provinsi (Sekprov) Samsudin Abd Kadir menyampaikan bahwa investasi asing masuk ke Maluku Utara yang mengelola tambang, sudah menginvestasikan modalnya di atas 100 triliun. Angka ini dianggap sebagai sebuah keberhasilan menggenjot perekonomian Maluku Utara. Termasuk membuka lebar lapangan pekerjaan bagi masyarakat Maluku Utara. Belum lagi beredar kabar daerah ini dilirik salah satu perusahaan tambang raksasa PT Freeport berencana membangun smelternya di Maluku Utara dengan nilai investasi prestisus Rp35. Triliuan.
Dilansir sejumlah media Jakarta, seperti dikutip dari (https://katadata.co.id/sortatobing/berita/601d72b94c425/freeport-hanya-tanggung-7-5-biaya-pembangunan-smelter-di-halmahera) pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga itu akan dibangun di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera. Investasi ini diperkirakan akan menguntungkan PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu hanya akan mengeluarkan biaya 7,5% dari total investasi yang mencapai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 35 triliun. Sisa dana akan ditanggung mitranya asal Tiongkok, Tsingshan Steel. Targetnya, kedua perusahaan akan mencapai kesepakatan pada akhir Maret tahun ini.
Akademisi Universitas Khairun Ternate Dr Asis Hasyim mengingatkan kepada pemerintah provinsi Malut untuk tidak jor-joran menerima investasi yang akhirnya menyengsarakan masyarakat dan merusak alam.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate doctor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan konsetrasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan itu, menganggap kebanggan atas investasi yang begitu besar masuk ke daerah ini, menunjukkan pemerintah daerah sama halnya merasa bangga melihat semakin cepatnya laju penurunan tutupan hutan. Tidak itu saja, ancaman teralineasi-nya masyarakat Halmahera dari ruang hidup, serta mendorong laju rusaknya ekosistem alam akibt ekstraksi sumberdaya alam secara massive.
Dia bilang, dari sisi ekonomi pasti ada efek kejut. Baik investasinya sendiri karena terdapat aliran sumberdaya finansial untuk pembangunan maupun reqruitment tenaga kerja yang dipandang pemerintah akan mengurangi pengangguran.
Dalam soal ini dia ingatkan bahwa beberapa kasus yang terjadi di wilayah tambang, bahkan di Malut sendiri, kesejahteraan tampak saat investasi berlangsung sangat luar biasa. Tetapi sesungguhnya yang didapat itu kesejahteraan semu. “Istilahnya pseudo walfare,” katanya.
Menurutnya, dampak eksternalitas yang ditimbulkan akibat ekstraksi sumberdaya alam secara massive akan memberi tekanan ekologi yang besar. Beberapa kasus tentang daerah dengan kekakayaan SDA justru terjerembab dalam kemiskinan pasca tambang. “Masyarakat hilang mata pencaharian akibat lahan dan laut pasca tambang diduga tidak lagi memberi kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati serta tumbuhan. Karenanya dibutuhkan perhatian serius pemerintah dalam memikirkan dan mengantisipasi pasca tambang.
“Tidak sekadar bangga dengan tingginya investasi di sektor tambang yang masuk ke Malut. Sebab, dikuatirkan terjadi resource curse atau kutukan sumberdaya alam. Banjir di Halteng beberapa waktu lalu itu tak sekadar dilihat sebagai bencana alam. Sebab, riset menunjukkan bahwa bencana yang terjadi 80 persen disebabkan oleh variable antropogenik, keserkahan atau ulah tangan manusia,” jelasnya.
Baginya Maluku Utara sebenarnya memiliki potensi perikanan kelautan yang berlimpah. Juga punya leading sector pertanian. Tetapi yang terjadi selalu menjadikan tambang sebagai salah satu andalan. Ini yang membingungkan. Ditambah lagi sistem pengawasan yang kurang maksimal dari instansi pemerintah seperti Dinas Lingkungan Hidup akibat anggaran pengawasan yang minim.
“Soal anggaran ini pernah disampaikan Kadis DLH beberapa waktu lalu. Maka sesungguhnya dengan secara sadar kita sama halnya telah membangun kesepakatan untuk memberi tekanan ekologi yang luar biasa kepada alam tapi tidak disertai pengawasan yang memadai. Ini sungguh sebuah keanehan,” cecarnya.
Perikanan Menjanjikan Belum Diseriusi
Apa yang disampaikan Asis soal potensi perikanan ini juga disampaikan Profesr Dr Irvan Koda Dosen Fakultas Perikanan dan Keluatan Universitas Khairun Ternate. Menurutnya, Maluku Utara kaya potensi perikanan dan kelautan. Tidak hanya perikanan tangkap dan potensi budidaya perikanan laut. Lahan budidaya perikanan air tawar, juga melimpah ruah. Besarnya potensi yang dimilki daerah yang lebih luas wilayah lautnya ini, ternyata miskin pemanfaatanya bagi kesejahteraan masyarakat.
Dia bilang potensi lestari perikanan Maluku Utara mencapai 517.000 ton/tahun. Pemanfaatannya baru mencapai 150.232 ton.
“Pemanfaatannya baru 29 persen sementara yang belum dimanfaatkan 71 persen,” terang Irvan.Saat menyampaikan materi dalam Seminar Nasional Perikanan Maluku Utara dan Tantangan Industri 4.0 di Ternate baru-baru ini, dia jelaskan bahwa untuk perikanan tangkap, Maluku Utara memiliki potensi Standing Stock mencapai 1.035.230 ton/tahun.
Sementara sumberdaya ikan yang tertangkap nelayan di Maluku Utara juga ada sekira 98 jenis, di mana 74 diantaranya bernilai ekonomis penting. Sementara 20 jenis merupakan komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi.
“Maluku Utara juga punya komoditi unggulan misalnya tuna, dan cakalang, rumput laut, kerapu, dan udang vannamei. Secara keseluruhan potensi sumberdaya (standing Stock) = 1.035.230 ton / tahun,” jelasnya.
Potensi lainnya jumlah nelayan di Maluku Utara mencapai 19056 orang dan pembudiddaya ikan 7439 dari total penduduk 1.25, 771 orang.
Potensi tidak hanya di laut dan air payau. Di wilayah darat juga memiliki potensi luar biasa untuk pengembangan terutama budidaya ikan air tawar.
Sayang hingga kini budidaya ikan air tawar belum diusahakan secara maksimal di Maluku Utara.
Dia berharap kekayaan luar biasa yang belum tergarap ini, ada keseriusan pemerintah Provinsi Maluku Utara dengan mengambil langkah-langkah strategis demi menyejahterakan masyarakat terutama nelayan.
“Perlu segera ada pembenahan sarana dan prasarana. Kapasitas SDM nelayan dan keluarga nelayan juga perlu diperhatikan. Inovasi teknologi juga ditingkatkan. Selain itu nelayan harus diberikan modal usaha dengan adanya dukungan dan kebijakan pemerintah Daerah,” katanya. (*)
CEO Kabar Pulau