Home / Lingkungan Hidup

Senin, 2 Juli 2018 - 02:39 WIT

Kerusakan Hutan di Obi Cukup Serius

Temuan FWI 90 Persen Lahan Dikuasai Perusahaan

Suara Muhammad  Risman terdengar lantang di pagi  menjelang siang pada Kamis (20/4) lalu. Dia bersuara  memprotes penderitaan  warga Pulau Obi yang hingga kini tak mendapatkan perhatian. Protes  ini cukup  beralasan karena  di Obi  saat ini  sedang terjadi eksploitasi  besaran- besaran oleh perusahaan tambang dan HPH. Sementara kondisi warganya miris.         

Sejumlah  Pemuda  yang menamakan dirinya Barisan Pemuda Pelopor (BAPPOR) Kepulauan Obi itu,  bersama mahasiswa menggelar aksi di depan kantor perusahan  tambang  PT Harita Group  di Jalan Kantor Camat Ternate Selatan. Aksi ini sebagai ungkapan protes karena selama ini perusahaan banyak mengeksploitasi hutan dan tambang  di pulau ini tetapi  bagi mereka,  masyarakat tidak mendapatkan  apa-apa. Dalam orasi dan pernyataan sikap, meminta perusahaan dan  pemerintah  bertanganggung jawab  akibat rusaknya lingkungan dan  warga yang menderita.

  “Saudara-saudara tercinta, tidak ada yang paling terhormat, hanyalah harga diri. Jika harga diri kita  diinjak-injak maka lebih baik mati sebelum  kita lahir ke bumi ini,” teriak Risman pagi itu.

Menurutnya, sudah jelang lebih dua tahun ini saudara- saudara mereka di  Kepulauan Obi ditimpa bencana banjir dahsyat, bahkan hingga kini warga beberapa desa masih terpuruk secara ekonomi dan sosial. Sayangnya, tidak ada perhatian.  “Ada dugaan  kejahatan lingkungan oleh perusahan kayu bernama  PT. Poleko Yubarson, yang beroperasi di wilayah Obi. Tepatnya di puncak gunung Desa Jikotamu, Desa Buton, Desa Akegula, Desa Laiwui, Desa Kampong Baru. Perusahaan ini mengantongi  Izin No. 962/KPTS-II/99 tgl. 14 Oktiber  1999 dengan luas wilayah kerja 86.599 hektar,” katanya. 

Perusahaan  menurut mereka, menebang kayu secara serampangan menyebabkan  banjir besar dan meluluhlantakan beberapa desa di Obi dua tahun lalu. Perusahaan kayu juga menurut  para  peserta aksi,  menebang  kayu hingga ke bibir sungai. Akibatnya  banjir  bandang terjadi  5 Desember 2016 membuat tiga desa yakni Laiwui, Desa Buton dan Desa Akegula tenggelam.   Begitu juga tempat ibadah, sarana pendidikan, hingga sarana pelayanan kesehatan,  perkantoran, pasar  dan harta benda  hilang  dibawa banjir.  

Dalam orasi itu mereka juga menyinggung bahwa  Obi dieksploitasi dari  zaman Orde Baru  dan menyumbang untuk pembangunan Kabupaten Maluku Utara waktu itu. Mereka  menyebut Bandara Babullah di Ternate kantor bupati  Maluku Utara (dulu) adalah bagian dari eksploitasi kayu di Obi. Karena Obi juga  hadir Bank Indonesia di Ternate zaman itu.

Tokoh Pemuda Obi Rustam Ode Nuru secara terpisah bilang,   kekayaan alam  yang dieksploitasi dari Obi begitu besar seharusnya sebanding dengan pembangunan nya. Tetapi  faktanya bisa dilihat   kondisi pulau Obi  hari ini.    

Dia lantas mempertanyakan keseriusan perusahaan dan pemerintah membangun dan membuka isolasi   di Pulau Obi. Apalagi katanya   hamper semua lahan sudah dikapling oleh korporasi tambang dan IUPHK. Akhirnya membatasi ruang hidup masyarakat local.  “Ini menjadi persoalan serius. Lihat saja saat ini berapa perusahaan tambang dan kayu  beroperasi dan menguasai   lahan di Obi. Sementara fakta  pembangunannya jauh dari harapan masyarakat,” cecarnya .

Dia menambahkan, yang beroperasi  di Obi  ada PT Telaga Bakti, PT Poleko Group . di Obi sampai Obi Selatan di   ada perusahaan tambang PT ANTAM  PT Harita dan beberapa lainnya.   Beroperasinya perusahaan ini katanya berdampak  langsung terhadap lingkungan. Dalam tiga tahun berturut turut 2016,2017 dan 2018 Pulau Obi selalu dilanda banjir besar dan menyebabkan  sarana prasarana mengalami kerusakan. Sudah begitu,  pasca banjir tidak ada perhatian terhadap  kerusakan yang ditimbulkan.

“Lebih miris lagi pasca kejadian sampai saat ini belum ada bantuan bagi warga yang dilanda banjir. Mereka hanya didata tetapi tak ada realisasi bantuan,” katanya.  Dia bilang lagi  pulau Obi yang kaya ditandai dengan eksploitasi massive tambang  dan hasil kayu,  tetapi jalan keliling  saja belum ada.  Akses antardesa juga sebagian masih terisolasi. “Belum ada jalan keliling pulau Obi. Belum lagi infrastruktur lainnya,” katanya.

Eksploitasi masiive dan  bencana yang terulang  tidak membuat semua pihak memberi perhatian terhadap kondisi Obi.  Risman bilang, kasus banjir  susulan  17 Oktober  2017  ­lalu yang mengakibatkan jembatan penghubung desa Jikotamu dan Desa Buton  roboh. Tapi sampai saat ini belum mendapatkan perhatian pemerintah Halmahera Selatan dan  Provinsi Maluku Utara. Pemerintah daerah hanya beralasan defisit anggaran lalu dijanjikan  dibangun  di 2018 ini. Meski  sudah dijanjikan,   belum ada  realisasinya.

“Dampak  rusaknya jembatan  penghubung, baru-baru ini ada warga yang tewas setelah jatuh dengan kendaraanya pada 18 Maret 2018 lalu,”jelasnya. Bahkan karena terputusnya jembatan ada pasien atau warga yang sakit berat dan hendak dibawa ke Puskesmas harus diseberangkan menggunakan rakit. 
Risman menceritakan, setelah banjir  kedua  sempat dibangun jembatan  darurat menggunakan  kayu. Jembatan ini  dibangun  siswa- siswa SMA, dengan   tujuan bisa menjadi  sarana  penghubung  bisa ke sekolah.

Hal yang sama juga terjadi  saat banjir  ketiga  8 Maret  lalu.  Banjir  kembali merusak jembatan  darurat  yang ada  dan hingga kini belum ada perbaikan 

Baca Juga  Bina Desa di Pulau Laigoma, FPK Unkhair Turut Lepas Tukik

Atas kondisi yang miris itu, dia  berharap   Pemerintah Provinsi Maluku Utara   dan beberapa perusahaan di Pulau Obi   tidak menutup mata dengan masalah ini. 
“Kami meminta aparat penegak mengecek lebih lanjut dan memporses  pelanggar  hukum. Terutama   yang merusak lingkungan,” desak Muhammad Risman. Mereka  juga mendesak   baik perusahaan tambang maupun HPH   keluar dari pulau Obi  karena menjadi  biang rusaknya lingkungan.  “Dugaan kami PT.Poleko Yubarson  telah mencaplok  hutan Pulau Obi.   

Begitu  juga permasalahan  perusahaan  pertambangan  di Kawasi  Pulau Obi  juga menyimpan masalah.  Saat ini  pulau Obi  semua sudah dikapling. Sementara masyarakat  lingkar perusahaan  tidak mendapatkan sesuatu,” katanya.  Karena itu perlu ada ketegasan  pihak berwenang jika hak masyarakat diabaikan  seperti itu.   Masyarakat  sekitar perusahaan banyak  berprofesi sebagai petani dan nelayan tetapi  jika tanah  berkebun dan laut  sebagai tempat mencari hasil laut  tercermar akibat limbah perusahaan  pertambangan   tentu  menjadi masalah baru dan  ancaman    kelangsungan  kehidupan mereka.

Menilik kondisi kerusakan  lingkungan akibat eksploitasi  hutan dan tambang di Obi bisa  dilihat dari data riset  Forest Watch Indonesia (FWI)  yang dirilis  awal 2018 lalu. Hasil riset  berjudul  Deforestasi Tanpa Henti itu, menggambarkan bahwa kondisi deforestasi  dan perusakan lingkungan di Obi  cukup serius.  Riset di tiga provinsi  masing-masing Sumatera Utara Kalimantan Timur dan Maluku Utara di mana  menjadikan Obi sebagai pusat pengamatan,  ditemukan adanya aktivitas perusahaan yang menimbulkan kerusakan cukup serius dengan  sejumlah pelanggaran. 

Mufti Barri, Program Manager  FWI menjelaskan,  berdasarkan status Kawasan Hutan di Obi  dapat diduga bahwa daratan  di Pulau Obi sebagian besar   diperuntukkan untuk dieksploitasi. Khususnya  pemanfaatan kayu-kayu yang berasal  dari hutan alam.  Penelusuran FWI menemukan bahwa 70 persen daratan pulau ini berstatus hutan produksi  dan 13 persen berupa hutan produksi yang dapat di konversi. Selain itu, ditemukan juga wilayah pertambangan yang mencapai 49 persen dari luas daratan pulau ini.  Tingginya penguasaan lahan  oleh korporasi di Pulau Obi  akan menjadi bom waktu konflik sosial, khususnya konflik antara masyarakat dan perusahaan industri ekstraktif (pertambangan dan HPH).  “Untuk total luas izin pertambangan di Pulau Obi mencapai 126 ribu hektare  atau 49 persen dari luas pulau.  Sementara itu izin HPH mencapai 145 ribu hektare atau 56 persen dari luas pulau,” tambahnya.

Analisis tutupan lahan tahun 2017 yang dilakukan FWI menemukan bahwa dari 186 ribu hektare luas wilayah yang telah dikuasai perusahaan ada sekitar 19 ribu hektare, atau hanya sekitar 10 persen , adalah perkebunan yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat. Selanjutnya, 48 ribu hektare atau 26 persen berupa semak belukar yang kemungkinan besar adalah lokasi ladang-ladang masyarakat, dan 421 hektare wilayah pemukiman, termasuk di dalamnya berbagai fasilitas umum dan gedung-gedung pemerintahan.

Pada sisi bencana lingkungan, sampai  2016 lalu saat dilakukan riset di setiap hulu sungai di Pulau Obi telah dan masih terjadi eksploitasi sumberdaya alam baik berupa pemanenan kayu (HPH) ataupun pertambangan. Pulau yang kecil ini hutannya sudah gundul sehingga terjadilah bencana tahunan yang merusak sumber- sumber kehidupan ini. Akibatnya adalah banjir yang sudah menjadi makanan rutin  tahunan bagi masyarakat Pulau Obi.   Desember 2016 banjir yang terjadi di Pulau Obi telah merusak lebih dari 1.400 bangunan dengan nilai kerugian mencapai ratusan miliar.

Masih menurut riset FWI, salah satu perusahaan yang memiliki andil mengelola hutan di Obi adalah Poleko Yubarsons. Perusahaan  ini memegang izin pengelolaan hutan IUPHHKHA dengan SK No. 962/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas izin  mencapai 86.599 hektare.  Lokasi izin perusahaan ini adalah di utara dan selatan Pulau Obi. Dengan izin  itu maka dapat dibilang bahwa PT Poleko Yubarsons  menguasai 32 persen wilayah daratan Pulau Obi.  PT Poleko Yubarsons telah memiliki sertifikat legalitas kayu atau SVLK. Penilikan sertifikasi  legalitas kayu sudah 3 kali dilakukan, yaitu pada tahun 2015, 2016, dan 2017. Penilikan dan penerbitan sertifikat dilakukan  lembaga sertifikasi PT Lambodja Sertifikasi. Sertifikat terakhir  dikantongi PT Poleko Yubarsons bertanggal 12 Mei 2017.

Proses penilikan dan penerbitan sertifikat VLK untuk PT Poleka Yubarsons  menurut Barri, mengandung kejanggalan. Penilikan  20-25 Maret 2017 menghasilkan keputusan  pembekuan sertifikat karena adanya 6 verifier yang secara kategoris tidak terpenuhi. Pengumuman pembekuan dilakukan pada  18 April 2017. “Anehnya tidak sampai satu bulan kemudian, tepatnya  12 Mei 2017 keluarlah pengumuman penerbitan sertifikat dari  lembaga sertifikasi yang sama, PT Lambodja Sertifikasi,”ujarya.

Pemantauan  FWI pada   Mei 2017 di lokasi perusahaan PT Poleko Yubarsons  menemukan 3 indikasi pelanggaran oleh perusahaan  terhadap Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No. P.14/VIBPPHH/2014 jo P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian.

Pemantauan FWI juga menemukan ada ketidaksesuaian  area  konsesi  dengan  kawasan  hutan  produksi. Pasalnya pada kriteria Poin 1.1 Perdirjen No. P.14/PHPL/ SET/4/2016 jo P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) dijelaskan bahwa  areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi. Hasil penilikan lembaga sertifikasi menyatakan  areal PT Poleko Yubarsons  telah sesuai   peruntukannya. Ini berbeda dengan temuan FWI Mei 2017 yang berdasarkan analisis data spasial dan pengecekan langsung  melalui kunjungan lapangan  terdapat sekitar 9.992 hektare area konsesi  berada di luar kawasan hutan fungsi produksi. Sebagaian besar atau sekitar 9.300 hektare di Area Penggunaan Lain (APL), 585 hektare di Hutan Lindung (HL) dan sisanya sekitar 74 hektare di Hutan Suaka Alam (HSA).

Baca Juga  KLHK Diminta Seriusi Dugaan Cemaran Nikel di Halmahera 

FWI   menemukan  pemukiman penduduk, fasilitas umum, dan kantor pemerintah (di antaranya adalah Rumah Sakit, Kantor Camat, Kantor Desa, Kantor Polisi, Bank, Sekolah) berada di dalam Area Penggunaan Lain (APL) yang masuk sebagai wilayah izin  PT Poleko Yubarsons.

 Sementara soal perusahaan yang beroperasi di pulau Obi   data  Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara  menunjukan, industry tambang di daerah ini  terbilang sangat massive.  Daerah yang terletak di antara 1260 45’ – 1290 30’ Bujur Timur dan antara 00 30’ Lintang Utara – 20 00’ Lintang Selatan  ini memiliki luas  wilayah sekira 40.263,72 km2,   terdiri dari daratan 8.779,32 km2 (22 persen) dan  lautan 31.484,40 km2 (78 persen).

Direktur WALHI Malut Ismet Soleman menjelaskan, pada  2015, kawasan hutan alam di Halmahera Selatan  tercatat  seluas 810.455,17 hektar, terdiri dari 131.034,54 hektar Hutan Lindung (HL); 178.134,63 hektar Hutan Produksi Terbatas (HPK); 185.404,54 hektar Hutan Produksi tetap (HP); 127.415,52 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK); 42.327,23 hektar Suaka Alam (SA) dan konversi alam, sisanya seluas 142.621,17 hektar digunakan sebagai areal penggunaan lain (APL) dan sebanyak 3.517,55 hektar merupakan perairan. Produksi hasil hutan pada 2015 menghasilkan kayu bulat 63.444 m3.  

Dikatakan,  data   Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Halmahera Selatan, pada 2011  terdaftar 58 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), baik tahapan eksplorasi  maupun eksploitasi. Namun pada pengumuman Clear and Clean (CNC) mencatat jumlah  IUP di Halmahera Selatan berjumlah 55 dimana 35 IUP telah clean and clear.

 Dari data perusahaan tambang yang banyak di Halsel ,   Pulau Obi memiliki daya tarik tersendiri.  Pulau yang  terbagi dalam 5 Kecamatan  yakni Obi;  Obi Utara,  Obi Selatan,  Obi Timur dan Kecamatan Obi Barat memiliki   luas wilayah administrasi masing-masing  Pulau Obi   1.73,02  km2 beribukota  di Laiwui. Kecamatan Obi  terdiri dari 9 desa, yakni  Desa Anggai terdapat konsesi tambang),  Sambiki,   Jikotamo,  Laiwui. Daerah ini  pernah dilanda bencana banjir di Desa  Buton juga  pernah Bencana Banjir,  Baru –  Akegula  Bencana Banjir .

Kecamatan Obi Utara  memiliki  luas 160,70 km2  dengan desa  Pasir Putih,   Cap,   Galala,  Madapolo Barat,  Madapolo,  Madapolo Timur, Waringi.  Selanjutnya  kecamatan Obi Selatan dengan luas  51,1  km2 dengan Desa masing-masing,  Loleo,  Mano,   Soligi,   Wayaloar,  Fluk,  Bobo, Ocimaloleo dan Desa Gambaru. Kecamatan Obi Timur memiliki luas 636,2 km2  dengan  Desa Sum,   Kelo, Sosepe dan Desa Wooi. Kecamatan Obi Barat memiliki luas 106,8 km2  dengan  Desa Manatahan, Jikohay, Alam Kananga,  Soa Sangaji,  Alam Pelita  dan Desa Tapa.

                Dengan  luas wilayah ini  Obi    memiliki  5 Izin Usaha Pertambangan (IUP)  yakn   PT.Wanatiara Persada  yang masuk Harita Group dengan luas konsesi 1.725,54 hektar. PT. Gane Permai Sentosa  masuk  Harita Group dengan daerah konsesi Blok I (1.7775,40) Blok II (148,16), Blok III (484,78), Blok IV (1.128,83), Blok V (1.400,06) semuanya  eksplorasi  nikel.   PT. Trimega Persada masuk  Group dengan luas konsesi 4.247,00 hektar.  PT. Gane Tambang Sentosa masuk Harita Group dengan luas konsesi 2.325,00 hektar. Eksplorasi nikel PT. Obi Prima Nikel  dengan luas konsesi 2.357,00 hektar. Ada juga PT. Mega Surya Pertiwi yang masuk Harita Group.  

Selain tambang,  ada juga  izin IUPHHK- HA   masing-masing  PT. Bela Berkat Anugerah masuk Bela Group dengan luas konsesi 33.880,00 hektar PT.Poleko Yubarsons  masuk  Poleko Group dengan luas konsesi 86.599,00  hektar.  PT. Surya Kirana Dutamas dengan luas konsesi 66.230,00 hektar.  PT Telaga Bakti Persada dengan luas  konsesi 63.405,00 hektar.

PT Harita Group lewat anak perusahaanya  PT.Mega Surya Pertiwi telah melakukan uji coba  (commissioning) pengoperasian pabrik pengolahan dan pemurnian nikel Pulau Obi, Halmahera Selatan pada Oktober 2016  dengan biaya  investasi sebesar 350 juta US Dolar.

Untuk merealisasikan proyek smelter nikel, Harita Group menggandeng perusahaan dari China yakni korporasi Xinxing Ductile Iron Pipes Co.Ltd. dan perusahaan  dari Singapura bernama Qiyun Investment Holdings Pty.Ltd dan Corsa Investment Pte,Ltd.

“Suplai bahan baku mineralnya berasal dari PT.Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT.Gane Permai Sentosa, yang merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Nikel yang terafiliasi dengan Harita Group di Pulau Obi,” jelas Ismet.(*)

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

Hari Peduli Sampah Nasional Sepi Agenda  

LAUT dan Pesisir

MK Tolak Gugatan Anak Usaha PT Harita

Kabar Malut

Kepastian Ake Sagea “Tercemar” Tunggu GAKKUM KLHK

Lingkungan Hidup

Nasib Miris PLTS di Halmahera Selatan (2) Habis

Lingkungan Hidup

Jaga Pantai dan Laut Ternate dengan Mangrove

Lingkungan Hidup

Kelola Sampah untuk Kesejahteraan

Lingkungan Hidup

7 Tahun Gerakkan Panen Air Hujan, Dapat Kalpataru

Kabar Kampung

KTH Woda Oba Tidore Kepulauan Kirim Damar ke Surabaya