Temuan FWI 90 Persen Lahan Dikuasai Perusahaan
Suara Muhammad Risman terdengar lantang di pagi menjelang siang pada Kamis (20/4) lalu. Dia bersuara memprotes penderitaan warga Pulau Obi yang hingga kini tak mendapatkan perhatian. Protes ini cukup beralasan karena di Obi saat ini sedang terjadi eksploitasi besaran- besaran oleh perusahaan tambang dan HPH. Sementara kondisi warganya miris.
Sejumlah Pemuda yang menamakan dirinya Barisan Pemuda Pelopor (BAPPOR) Kepulauan Obi itu, bersama mahasiswa menggelar aksi di depan kantor perusahan tambang PT Harita Group di Jalan Kantor Camat Ternate Selatan. Aksi ini sebagai ungkapan protes karena selama ini perusahaan banyak mengeksploitasi hutan dan tambang di pulau ini tetapi bagi mereka, masyarakat tidak mendapatkan apa-apa. Dalam orasi dan pernyataan sikap, meminta perusahaan dan pemerintah bertanganggung jawab akibat rusaknya lingkungan dan warga yang menderita.
“Saudara-saudara tercinta, tidak ada yang paling terhormat, hanyalah harga diri. Jika harga diri kita diinjak-injak maka lebih baik mati sebelum kita lahir ke bumi ini,” teriak Risman pagi itu.
Menurutnya, sudah jelang lebih dua tahun ini saudara- saudara mereka di Kepulauan Obi ditimpa bencana banjir dahsyat, bahkan hingga kini warga beberapa desa masih terpuruk secara ekonomi dan sosial. Sayangnya, tidak ada perhatian. “Ada dugaan kejahatan lingkungan oleh perusahan kayu bernama PT. Poleko Yubarson, yang beroperasi di wilayah Obi. Tepatnya di puncak gunung Desa Jikotamu, Desa Buton, Desa Akegula, Desa Laiwui, Desa Kampong Baru. Perusahaan ini mengantongi Izin No. 962/KPTS-II/99 tgl. 14 Oktiber 1999 dengan luas wilayah kerja 86.599 hektar,” katanya.
Perusahaan menurut mereka, menebang kayu secara serampangan menyebabkan banjir besar dan meluluhlantakan beberapa desa di Obi dua tahun lalu. Perusahaan kayu juga menurut para peserta aksi, menebang kayu hingga ke bibir sungai. Akibatnya banjir bandang terjadi 5 Desember 2016 membuat tiga desa yakni Laiwui, Desa Buton dan Desa Akegula tenggelam. Begitu juga tempat ibadah, sarana pendidikan, hingga sarana pelayanan kesehatan, perkantoran, pasar dan harta benda hilang dibawa banjir.
Dalam orasi itu mereka juga menyinggung bahwa Obi dieksploitasi dari zaman Orde Baru dan menyumbang untuk pembangunan Kabupaten Maluku Utara waktu itu. Mereka menyebut Bandara Babullah di Ternate kantor bupati Maluku Utara (dulu) adalah bagian dari eksploitasi kayu di Obi. Karena Obi juga hadir Bank Indonesia di Ternate zaman itu.
Tokoh Pemuda Obi Rustam Ode Nuru secara terpisah bilang, kekayaan alam yang dieksploitasi dari Obi begitu besar seharusnya sebanding dengan pembangunan nya. Tetapi faktanya bisa dilihat kondisi pulau Obi hari ini.
Dia lantas mempertanyakan keseriusan perusahaan dan pemerintah membangun dan membuka isolasi di Pulau Obi. Apalagi katanya hamper semua lahan sudah dikapling oleh korporasi tambang dan IUPHK. Akhirnya membatasi ruang hidup masyarakat local. “Ini menjadi persoalan serius. Lihat saja saat ini berapa perusahaan tambang dan kayu beroperasi dan menguasai lahan di Obi. Sementara fakta pembangunannya jauh dari harapan masyarakat,” cecarnya .
Dia menambahkan, yang beroperasi di Obi ada PT Telaga Bakti, PT Poleko Group . di Obi sampai Obi Selatan di ada perusahaan tambang PT ANTAM PT Harita dan beberapa lainnya. Beroperasinya perusahaan ini katanya berdampak langsung terhadap lingkungan. Dalam tiga tahun berturut turut 2016,2017 dan 2018 Pulau Obi selalu dilanda banjir besar dan menyebabkan sarana prasarana mengalami kerusakan. Sudah begitu, pasca banjir tidak ada perhatian terhadap kerusakan yang ditimbulkan.
“Lebih miris lagi pasca kejadian sampai saat ini belum ada bantuan bagi warga yang dilanda banjir. Mereka hanya didata tetapi tak ada realisasi bantuan,” katanya. Dia bilang lagi pulau Obi yang kaya ditandai dengan eksploitasi massive tambang dan hasil kayu, tetapi jalan keliling saja belum ada. Akses antardesa juga sebagian masih terisolasi. “Belum ada jalan keliling pulau Obi. Belum lagi infrastruktur lainnya,” katanya.
Eksploitasi masiive dan bencana yang terulang tidak membuat semua pihak memberi perhatian terhadap kondisi Obi. Risman bilang, kasus banjir susulan 17 Oktober 2017 lalu yang mengakibatkan jembatan penghubung desa Jikotamu dan Desa Buton roboh. Tapi sampai saat ini belum mendapatkan perhatian pemerintah Halmahera Selatan dan Provinsi Maluku Utara. Pemerintah daerah hanya beralasan defisit anggaran lalu dijanjikan dibangun di 2018 ini. Meski sudah dijanjikan, belum ada realisasinya.
“Dampak rusaknya jembatan penghubung, baru-baru ini ada warga yang tewas setelah jatuh dengan kendaraanya pada 18 Maret 2018 lalu,”jelasnya. Bahkan karena terputusnya jembatan ada pasien atau warga yang sakit berat dan hendak dibawa ke Puskesmas harus diseberangkan menggunakan rakit.
Risman menceritakan, setelah banjir kedua sempat dibangun jembatan darurat menggunakan kayu. Jembatan ini dibangun siswa- siswa SMA, dengan tujuan bisa menjadi sarana penghubung bisa ke sekolah.
Hal yang sama juga terjadi saat banjir ketiga 8 Maret lalu. Banjir kembali merusak jembatan darurat yang ada dan hingga kini belum ada perbaikan
Atas kondisi yang miris itu, dia berharap Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan beberapa perusahaan di Pulau Obi tidak menutup mata dengan masalah ini.
“Kami meminta aparat penegak mengecek lebih lanjut dan memporses pelanggar hukum. Terutama yang merusak lingkungan,” desak Muhammad Risman. Mereka juga mendesak baik perusahaan tambang maupun HPH keluar dari pulau Obi karena menjadi biang rusaknya lingkungan. “Dugaan kami PT.Poleko Yubarson telah mencaplok hutan Pulau Obi.
Begitu juga permasalahan perusahaan pertambangan di Kawasi Pulau Obi juga menyimpan masalah. Saat ini pulau Obi semua sudah dikapling. Sementara masyarakat lingkar perusahaan tidak mendapatkan sesuatu,” katanya. Karena itu perlu ada ketegasan pihak berwenang jika hak masyarakat diabaikan seperti itu. Masyarakat sekitar perusahaan banyak berprofesi sebagai petani dan nelayan tetapi jika tanah berkebun dan laut sebagai tempat mencari hasil laut tercermar akibat limbah perusahaan pertambangan tentu menjadi masalah baru dan ancaman kelangsungan kehidupan mereka.
Menilik kondisi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi hutan dan tambang di Obi bisa dilihat dari data riset Forest Watch Indonesia (FWI) yang dirilis awal 2018 lalu. Hasil riset berjudul Deforestasi Tanpa Henti itu, menggambarkan bahwa kondisi deforestasi dan perusakan lingkungan di Obi cukup serius. Riset di tiga provinsi masing-masing Sumatera Utara Kalimantan Timur dan Maluku Utara di mana menjadikan Obi sebagai pusat pengamatan, ditemukan adanya aktivitas perusahaan yang menimbulkan kerusakan cukup serius dengan sejumlah pelanggaran.
Mufti Barri, Program Manager FWI menjelaskan, berdasarkan status Kawasan Hutan di Obi dapat diduga bahwa daratan di Pulau Obi sebagian besar diperuntukkan untuk dieksploitasi. Khususnya pemanfaatan kayu-kayu yang berasal dari hutan alam. Penelusuran FWI menemukan bahwa 70 persen daratan pulau ini berstatus hutan produksi dan 13 persen berupa hutan produksi yang dapat di konversi. Selain itu, ditemukan juga wilayah pertambangan yang mencapai 49 persen dari luas daratan pulau ini. Tingginya penguasaan lahan oleh korporasi di Pulau Obi akan menjadi bom waktu konflik sosial, khususnya konflik antara masyarakat dan perusahaan industri ekstraktif (pertambangan dan HPH). “Untuk total luas izin pertambangan di Pulau Obi mencapai 126 ribu hektare atau 49 persen dari luas pulau. Sementara itu izin HPH mencapai 145 ribu hektare atau 56 persen dari luas pulau,” tambahnya.
Analisis tutupan lahan tahun 2017 yang dilakukan FWI menemukan bahwa dari 186 ribu hektare luas wilayah yang telah dikuasai perusahaan ada sekitar 19 ribu hektare, atau hanya sekitar 10 persen , adalah perkebunan yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat. Selanjutnya, 48 ribu hektare atau 26 persen berupa semak belukar yang kemungkinan besar adalah lokasi ladang-ladang masyarakat, dan 421 hektare wilayah pemukiman, termasuk di dalamnya berbagai fasilitas umum dan gedung-gedung pemerintahan.
Pada sisi bencana lingkungan, sampai 2016 lalu saat dilakukan riset di setiap hulu sungai di Pulau Obi telah dan masih terjadi eksploitasi sumberdaya alam baik berupa pemanenan kayu (HPH) ataupun pertambangan. Pulau yang kecil ini hutannya sudah gundul sehingga terjadilah bencana tahunan yang merusak sumber- sumber kehidupan ini. Akibatnya adalah banjir yang sudah menjadi makanan rutin tahunan bagi masyarakat Pulau Obi. Desember 2016 banjir yang terjadi di Pulau Obi telah merusak lebih dari 1.400 bangunan dengan nilai kerugian mencapai ratusan miliar.
Masih menurut riset FWI, salah satu perusahaan yang memiliki andil mengelola hutan di Obi adalah Poleko Yubarsons. Perusahaan ini memegang izin pengelolaan hutan IUPHHKHA dengan SK No. 962/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas izin mencapai 86.599 hektare. Lokasi izin perusahaan ini adalah di utara dan selatan Pulau Obi. Dengan izin itu maka dapat dibilang bahwa PT Poleko Yubarsons menguasai 32 persen wilayah daratan Pulau Obi. PT Poleko Yubarsons telah memiliki sertifikat legalitas kayu atau SVLK. Penilikan sertifikasi legalitas kayu sudah 3 kali dilakukan, yaitu pada tahun 2015, 2016, dan 2017. Penilikan dan penerbitan sertifikat dilakukan lembaga sertifikasi PT Lambodja Sertifikasi. Sertifikat terakhir dikantongi PT Poleko Yubarsons bertanggal 12 Mei 2017.
Proses penilikan dan penerbitan sertifikat VLK untuk PT Poleka Yubarsons menurut Barri, mengandung kejanggalan. Penilikan 20-25 Maret 2017 menghasilkan keputusan pembekuan sertifikat karena adanya 6 verifier yang secara kategoris tidak terpenuhi. Pengumuman pembekuan dilakukan pada 18 April 2017. “Anehnya tidak sampai satu bulan kemudian, tepatnya 12 Mei 2017 keluarlah pengumuman penerbitan sertifikat dari lembaga sertifikasi yang sama, PT Lambodja Sertifikasi,”ujarya.
Pemantauan FWI pada Mei 2017 di lokasi perusahaan PT Poleko Yubarsons menemukan 3 indikasi pelanggaran oleh perusahaan terhadap Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No. P.14/VIBPPHH/2014 jo P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian.
Pemantauan FWI juga menemukan ada ketidaksesuaian area konsesi dengan kawasan hutan produksi. Pasalnya pada kriteria Poin 1.1 Perdirjen No. P.14/PHPL/ SET/4/2016 jo P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) dijelaskan bahwa areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi. Hasil penilikan lembaga sertifikasi menyatakan areal PT Poleko Yubarsons telah sesuai peruntukannya. Ini berbeda dengan temuan FWI Mei 2017 yang berdasarkan analisis data spasial dan pengecekan langsung melalui kunjungan lapangan terdapat sekitar 9.992 hektare area konsesi berada di luar kawasan hutan fungsi produksi. Sebagaian besar atau sekitar 9.300 hektare di Area Penggunaan Lain (APL), 585 hektare di Hutan Lindung (HL) dan sisanya sekitar 74 hektare di Hutan Suaka Alam (HSA).
FWI menemukan pemukiman penduduk, fasilitas umum, dan kantor pemerintah (di antaranya adalah Rumah Sakit, Kantor Camat, Kantor Desa, Kantor Polisi, Bank, Sekolah) berada di dalam Area Penggunaan Lain (APL) yang masuk sebagai wilayah izin PT Poleko Yubarsons.
Sementara soal perusahaan yang beroperasi di pulau Obi data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara menunjukan, industry tambang di daerah ini terbilang sangat massive. Daerah yang terletak di antara 1260 45’ – 1290 30’ Bujur Timur dan antara 00 30’ Lintang Utara – 20 00’ Lintang Selatan ini memiliki luas wilayah sekira 40.263,72 km2, terdiri dari daratan 8.779,32 km2 (22 persen) dan lautan 31.484,40 km2 (78 persen).
Direktur WALHI Malut Ismet Soleman menjelaskan, pada 2015, kawasan hutan alam di Halmahera Selatan tercatat seluas 810.455,17 hektar, terdiri dari 131.034,54 hektar Hutan Lindung (HL); 178.134,63 hektar Hutan Produksi Terbatas (HPK); 185.404,54 hektar Hutan Produksi tetap (HP); 127.415,52 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK); 42.327,23 hektar Suaka Alam (SA) dan konversi alam, sisanya seluas 142.621,17 hektar digunakan sebagai areal penggunaan lain (APL) dan sebanyak 3.517,55 hektar merupakan perairan. Produksi hasil hutan pada 2015 menghasilkan kayu bulat 63.444 m3.
Dikatakan, data Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Halmahera Selatan, pada 2011 terdaftar 58 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), baik tahapan eksplorasi maupun eksploitasi. Namun pada pengumuman Clear and Clean (CNC) mencatat jumlah IUP di Halmahera Selatan berjumlah 55 dimana 35 IUP telah clean and clear.
Dari data perusahaan tambang yang banyak di Halsel , Pulau Obi memiliki daya tarik tersendiri. Pulau yang terbagi dalam 5 Kecamatan yakni Obi; Obi Utara, Obi Selatan, Obi Timur dan Kecamatan Obi Barat memiliki luas wilayah administrasi masing-masing Pulau Obi 1.73,02 km2 beribukota di Laiwui. Kecamatan Obi terdiri dari 9 desa, yakni Desa Anggai terdapat konsesi tambang), Sambiki, Jikotamo, Laiwui. Daerah ini pernah dilanda bencana banjir di Desa Buton juga pernah Bencana Banjir, Baru – Akegula Bencana Banjir .
Kecamatan Obi Utara memiliki luas 160,70 km2 dengan desa Pasir Putih, Cap, Galala, Madapolo Barat, Madapolo, Madapolo Timur, Waringi. Selanjutnya kecamatan Obi Selatan dengan luas 51,1 km2 dengan Desa masing-masing, Loleo, Mano, Soligi, Wayaloar, Fluk, Bobo, Ocimaloleo dan Desa Gambaru. Kecamatan Obi Timur memiliki luas 636,2 km2 dengan Desa Sum, Kelo, Sosepe dan Desa Wooi. Kecamatan Obi Barat memiliki luas 106,8 km2 dengan Desa Manatahan, Jikohay, Alam Kananga, Soa Sangaji, Alam Pelita dan Desa Tapa.
Dengan luas wilayah ini Obi memiliki 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakn PT.Wanatiara Persada yang masuk Harita Group dengan luas konsesi 1.725,54 hektar. PT. Gane Permai Sentosa masuk Harita Group dengan daerah konsesi Blok I (1.7775,40) Blok II (148,16), Blok III (484,78), Blok IV (1.128,83), Blok V (1.400,06) semuanya eksplorasi nikel. PT. Trimega Persada masuk Group dengan luas konsesi 4.247,00 hektar. PT. Gane Tambang Sentosa masuk Harita Group dengan luas konsesi 2.325,00 hektar. Eksplorasi nikel PT. Obi Prima Nikel dengan luas konsesi 2.357,00 hektar. Ada juga PT. Mega Surya Pertiwi yang masuk Harita Group.
Selain tambang, ada juga izin IUPHHK- HA masing-masing PT. Bela Berkat Anugerah masuk Bela Group dengan luas konsesi 33.880,00 hektar PT.Poleko Yubarsons masuk Poleko Group dengan luas konsesi 86.599,00 hektar. PT. Surya Kirana Dutamas dengan luas konsesi 66.230,00 hektar. PT Telaga Bakti Persada dengan luas konsesi 63.405,00 hektar.
PT Harita Group lewat anak perusahaanya PT.Mega Surya Pertiwi telah melakukan uji coba (commissioning) pengoperasian pabrik pengolahan dan pemurnian nikel Pulau Obi, Halmahera Selatan pada Oktober 2016 dengan biaya investasi sebesar 350 juta US Dolar.
Untuk merealisasikan proyek smelter nikel, Harita Group menggandeng perusahaan dari China yakni korporasi Xinxing Ductile Iron Pipes Co.Ltd. dan perusahaan dari Singapura bernama Qiyun Investment Holdings Pty.Ltd dan Corsa Investment Pte,Ltd.
“Suplai bahan baku mineralnya berasal dari PT.Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT.Gane Permai Sentosa, yang merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Nikel yang terafiliasi dengan Harita Group di Pulau Obi,” jelas Ismet.(*)
CEO Kabar Pulau