Home / Lingkungan Hidup

Selasa, 7 Maret 2023 - 11:41 WIT

KLHK Diminta Seriusi Dugaan Cemaran Nikel di Halmahera 

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)  mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  bertindak terkait pencemaran air oleh limbah industri nikel di sejumlah wilayah di Indonesia termasuk yang terjadi di Halmahera dan Obi Maluku Utara saat ini.

AEER dalam rilis resminya (6/3/2023) menyoroti beberapa daerah seperti di Weda Halmahera Tengah dan Morowali Sulawesi Tengah, terancam pencemaran akibat operasi tambang smelter nikel.

“Program pemantauan KLHK atas kualitas air laut terdampak industri nikel sangat minim. Pemantauan laut dilakukan pada  perusahaan  baik di air, sedimen, dan biota laut karena pencemar yang masuk ke air laut sebagian besar akan menempel pada partikel di air laut yang akhirnya mengendap di sedimen laut,” kata Koordinator AEER, Pius Ginting, Senin (6/3/2023).

Hasil penelitian AEER menunjukkan, limbah industri yang dihasilkan mencemari perairan sekitar, baik itu sungai maupun laut, mengkontaminasi air yang tadinya dipakai warga untuk kegiatan sehari-hari, serta membunuh dan mengkontaminasi ekosistem laut, yang berdampak pada pekerjaan tradisional seperti nelayan.

Baca Juga  KLHK dan Warga Tanam Mangrove di Desa Toseho Tidore Kepulauan

Salah satu senyawa berbahaya yang terkandung dalam limbah industri nikel, yakni Kromium Heksavalen, dapat menyebabkan iritasi dan radang pada hidung dan saluran pernapasan atas, iritasi kulit, luka bakar pada kulit dan mungkin menyebabkan bisul, dan kerusakan mata akibat percikan.

Selain itu, Kromium Heksavalen merupakan salah satu logam paling beracun untuk hewan air, karena mudah menembus membran sel.

Diprediksi industri nikel akan semakin ekspansif di Indonesia.Menurut AEER, potensi ekonomi yang tinggi dihasilkan dari industri nikel ini tidak lepas dari risiko kerusakan lingkungan.

“Pertama, tentu ada dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dari hilangnya lahan produktif. Kedua, adalah dampak lingkungan yang akan melebar ke dampak kesehatan serta perekonomian masyarakat,” ujarnya.

Direktur Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, Moh Taufik menilai, pemantauan KLHK atas dampak industri tambang belum optimal dan spesifik menjadi perhatian kementerian di bawah Siti Nurbaya Bakar itu.

Baca Juga  WALHI Malut Kirim Pesan untuk Sidang COP
kawasan tambang PT IWIP di Halmahera Tengah

Padahal potensi pencemaran sudah berlangsung bertahun-tahun dan seharusnya sudah terdeteksi oleh pemerintah.

“Dampak kualitas air laut dari industri pengolahan nikel secara spesifik belum masuk ke program pemantauan KLHK. Padahal, potensi pencemaran ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan seharusnya sudah terdeteksi oleh sistem yang dimiliki oleh pemerintah. Meskipun, program pemantauan kualitas air laut harus dibarengi dengan program pengawasan lingkungan lain yang sudah dijalankan,” kata Taufik.

Sekadar diketahui di sejumlah tempat di Maluku Utara yang ada aktivitas tambang nikel., masuknya sisa kerukan tambang ke badan air badan air, baik sungai maupun laut pesisir pantai, namun demikian tidak mendapat perhatian serius. Kasus di Sungai Wale Halmahera Tengah dan laut yang terjadi sejak 2019 lalu hingga kini juga tidak diketahui prosesnya seperti apa. Begitu juga yang terjadi di perairan laut dan sungai di Kawasai Obi Halmahera Selatan (*)

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

Kayu Besi di Hutan Halmahera yang Terancam  

Lingkungan Hidup

Air Sungai Sagea Tercemar Kerukan Tambang?

Kabar Kampung

KTH Woda Oba Tidore Kepulauan Kirim Damar ke Surabaya

Baronda

Menguak Kekayaan Tersembunyi dari Ternate (1)

Lingkungan Hidup

Mangrove Makin Terancam, Butuh Pelibatan Masyarakat

Lingkungan Hidup

Mangrove di Maluku Utara Makin Terdesak

Kabar Kampung

Tambang Hadir, Kebun Hilang, Pangan Sulit 

LAUT dan Pesisir

MK Tolak Gugatan Anak Usaha PT Harita